XVIII. How Relationship Is

13.3K 1.3K 34
                                    


"Cut!" Suara tinggi Kira menggaung di seluruh lokasi syuting, membuat para pemain lantas berhamburan keluar dari tangkapan kamera dan bersiap menyudahi hari mereka. Untuk hari ini sudah selesai.

Kira merenggangkan tangannya ke atas lelah lalu tersenyum kecut melihat tidak ada pesan masuk di ponselnya. Ia seperti remaja sedang jatuh cinta saja, menunggu kabar dari kekasih baru yang hari ini hilang entah kemana.

"Sampai besok Mbak Kira..."

Kira mengangguk ramah seraya mengembalikan senyum setiap pemain yang berjalan menuju pintu keluar gedung olahraga tersebut. Kira menepuk punggungnya yang pegal, sekalian membubuhkan tepukan bangga untuk dirinya sendiri yang berhasil menyelesaikan adegan paling krusial dalam filmnya dan masih seratus persen waras.

Adegan pernyataan cinta di gedung olahraga setelah pertandingan basket, dengan pemeran utama pria bersimbah keringat dan sahabatnya yang menonton di baris paling depan. Kira sampai harus menggeleng berkali-kali memerhatikan tiap kata yang keluar dari mulut pemainnya. Saat pemutaran pertama nanti sepertinya Kira harus mengajak adiknya yang juga sedang di mabuk cinta dengan pacarnya untuk menonton film ini, agar mereka tahu bagaimana sudut pandang Kira melihat mereka.

Sebenarnya, setelah ini, Kira ingin berhenti dulu menyutradai film bertema romansa seperti yang selalu ia lakukan. Alasan pertamanya adalah karena tentu ingin mencoba ranah lainnya. Alasan keduanya jelas karena lama-lama ia tidak sanggup sendiri melihat kisah indah orang lain. Namun berdasarkan keadaannya sekarang, alasan kedua sudah tidak menjadi masalah lagi. Belum lagi, jika tawaran film yang berikutnya adalah film dari buku milik sahabatnya.

Kira selalu lebih menyukai film yang dibuat berdasarkan buku. Menurutnya, mengubah pandangan seseorang tentang bagaimana film yang diadaptasi dari buku tak akan sebaik bukunya adalah sebuah tantangan. Kira ingin mencoba mengubah perspektif itu. Memang, tidak semua kata-kata dalam buku bisa masuk dalam dua jam penayangan, namun menjadikan dua jam penayangan cukup untuk membuat seseorang merasa sedang membaca bukunya ada di daftar paling atas tugasnya. Ini akan jadi kali yang pertama, buku Ara difilmkan, dan Kira berjanji untuk menggarap buku itu lebih baik dari apapun dan dari siapapun, meski lagi-lagi, ia harus berkutat dengan drama romansa.

Jesse menyaksikan kerutan dahi Kira dari pintu masuk gedung olahraga yang pagi itu digunakan sebagai lokasi syuting. Beberapa kru menghadangnya di depan tadi, bertanya ada keperluan apa ia datang. Setelah menjelaskan siapa dirinya, hampir semua yang mendengar menjatuhkan rahangnya mengira mereka salah dengar. Berita bahwa sutradara keras kepala mereka itu punya kekasih rasanya sulit sekali dipercaya. Jesse jadi menerawang, sedingin apa Kira pada semua orang yang berusaha mendekatinya hingga predikat susah didekati melekat kuat.

Jesse membawa kakinya mendekat, berdiri di belakang Kira lalu mengusak rambutnya pelan.

"Udahan?" tanyanya.

Kira terperanjat mendengar suara Jesse. Matanya yang sedang terpaku menunggu telepon dari Jesse diangkatnya hingga menemui kepingan mata bulatnya. Setelah tidak bisa dihubungi dan tidak menghubungi, ia muncul tanpa undangan di sini.

"Kamu kok di sini?" Kira membereskan barang-barangnya cepat lalu mengucapkan selamat tinggal pada beberapa orang yang tersenyum padanya. Ia kemudian berbalik pada Jesse yang tersenyum simpul.

"Jemput," jawabnya singkat.

Kira seperti dipaksa bernostalgia mendengar jawaban Jesse. Bayangan Jesse menawarinya tebengan pulang dan jasa antar-jemput Bintaro-Senayan-Kemang kembali lagi mendatanginya. Kalau dipikir-pikir pria itu nekat juga, bersedia muncul di rumah Kira saat matahari belum terbit hanya agar Kira tidak terlambat, dan mengantarnya pulang bahkan ketika matahari sudah terbenam hanya untuk memastikan Kira sampai di rumah dengan selamat. Kira juga gila sekali, menolak semua tawaran itu kecuali jika benar-benar terpaksa.

LINGER (Completed) Where stories live. Discover now