V. The Epitome of Encounterance

15.3K 1.7K 52
                                    


Dari semua dilema, setelah semua bimbang, Jesse berdiri di sini. Di tanah yang belum diinjaknya selama 7 tahun, di bandara yang jelas tidak sama dengan terakhir kali pesawatnya berangkat meninggalkan Jakarta. Bandara ini tidak seperti bandara yang ditinggalkannya, dengan berbagai tempat makan baru dan keramaian yang dulu tidak separah ini. 7 tahun benar-benar tidak sebentar.

Jesse menarik kopernya cepat, mencoba tidak menghalangi orang di belakangnya. Di balik rindu yang tak kuasa ditahannya untuk rumahnya, hatinya masih tidak tenang. Ia masih tidak tahu harus bereaksi seperti apa jika bertemu dengan Kira. Apalagi membantunya membangun rumah. Ia yang berencana tidak akan banyak bicara dan menghabiskan banyak waktu dengan Kira di Jakarta, malah berakhir memperpanjang kepulangannya ke Amerika selama seminggu hanya untuk membantu Kira membangun rumahnya.

Kira sendiri belum menghubunginya. Mungkin takut. Jesse tidak mau banyak menduga. Terakhir kali ia menduga Kira mulai membuka hatinya, ia melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Lucu, karena setelah beribu kesalahan lain yang dibuatnya, Kira masih menjadi salah satu kesalahannya yang paling besar. Jesse realistis. Ia tidak akan berkata bahwa meski Kira menyakitinya, ia tidak menyesal betemu dan jatuh cinta pada wanita itu. Jesse tidak merasa kalah dan lemah untuk mengakui bahwa ia menyesal pernah mencintai atau mungkin masih mencintai Kira.

Jesse menaikkan kopernya ke dalam bagasi taksi yang akan membawanya pulang ke rumah. Ia tersenyum, membayangkan reaksi mamanya. Mamanya sudah histeris dari kemarin atau bahkan dari seminggu yang lalu saat mendengar berita anak tunggalnya itu akan pulang.

Jakarta pagi itu terlalu ramai, dengan gedung-gedung pencakar langitnya, coretan di dinding jalan yang mulai pudar, puluhan mobil yang mengantri di jalur yang seharusnya bukan untuk mereka dan pengamen jalanan yang nyaman menyanyikan lagu yang sudah tidak familiar lagi bagi Jesse melalui jendela mobil. Supir taksi yang kelewat ramah, bertanya darimana Jesse datang, apakah untuk liburan, apakah kembali dari liburan, Jesse menjawab semuanya. Sudah lama rasanya tidak merasakan aura hangat Ibu Kota.

Jesse mengabari Vio dan Ren mengenai kedatangannya, disambut dengan kehebohan, dan paksaan mau menjemput sahabatnya itu, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Jesse. Kalau mereka yang menjemputnya, Jesse harus menghabiskan perjalanan pulangnya dengan pertanyaan tanpa ujung. Supir taksi merupakan teman bicara yang lebih baik untuk sekarang dibandingkan kedua manusia itu.

Di mana ada Ren dan Vio, pasti yang lainnya juga akan muncul. Mirei yang sudah heboh bukan main, Vey dengan tumpukkan titipannya, Tisha dengan puluhan pesan tak percaya dan Ara yang menanyakan kabarnya apa ia akan baik-baik saja bertemu dengan Kira. Kira yang belum ada kabar hingga sekarang. Jesse tidak ada niat menghubungi Kira lebih dulu. Apapun yang ingin Kira lakukan, biar saja ia lakukan.

Jesse sedang dalam usaha meyakini dirinya sendiri bahwa rasa 9 tahun lalu, ya tinggal rasa 9 tahun lalu.

Sedan biru muda itu berhenti di depan rumah berwarna putih dengan pagar hitam berdiri gagah. Menyerahkan 2 lembar uang seratus ribu, Jesse keluar dari mobil itu dan mengambil barangnya. Ia menekan bel di tembok depan pagar, menjadikannya tamu di rumah sendiri.

Wanita paruh baya lari tergopoh dengan kunci pagar dalam genggamannya. Jesse bahkan tidak mengenal lagi siapa wanita paruh baya ini. Mungkin Asisten Rumah Tangganya yang baru.

Jesse tersenyum ramah.

"Mas Jesse ya?"

Jesse mengangguk, pagar terbuka.

"Masuk mas, udah ditunggu Ibu."

"Mama dimana bi?"

"Di dapur, mas."

Jesse kemudian menarik kopernya semangat menuju pintu rumahnya. Jesse masuk perlahan, meninggalkan kopernya di ruang tamu menuju dapur. Rumah ini tak banyak berubah. Susunannya, aromanya, suasananya masih sama.

LINGER (Completed) Where stories live. Discover now