XXVII. Healthy Relationship

9K 1.1K 25
                                    


Kira duduk di dekat jendela kamarnya, menatap bunga matahari pemberian Jesse yang masih terlihat segar dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya.

Setelah Jesse mengangkat teleponnya di nada dering yang ketiga, keduanya larut dalam hening. Kira belum berkata apapun, dan Jesse belum bertanya apapun. Yang bisa mereka dengar hanyalah deru napas satu sama lain. Kira tahu ingin bicara apa, namun tidak tahu harus mulai dari mana.

"Kok diam?" Kira bertanya pada Jesse meskipun seharusnya pria itulah yang bertanya.

"Kamu telepon jam segini karena kamu kirain aku nggak bakal angkat ya?" Jesse bertanya balik, melirik jam dindingnya yang menunjukkan pukul 3 pagi.

"Enggak kok. Justru karena aku tahu kamu pasti masih bangun jam segini."

"Kok tahu?"

"Karena waktu itu kamu bilang ada kerjaan yang harus kamu kejar sampai akhir bulan ini yang berarti kamu bakal begadang tiap hari," ucap Kira.

Jesse memanggutkan kepalanya, meski sebenarnya lupa pernah memberitahu hal itu pada Kira.

"Kamu mau ngomong apa? Biasanya kalau kangen doang nggak bakal telepon jam segini," ujar Jesse, entah benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu.

"Aku mau minta maaf."

"Karena jalan sama Gevan?" tembak Jesse langsung. Sudah tahu rupanya. Kira menggeleng pelan, walau tidak dapat dilihat Jesse.

"Bukan. Karena bohong bilang jalan sama yang lain juga."

Jesse dapat menangkap sesal dalam suara Kira. Sebenarnya sejak membaca berita itu dari ponselnya dan melihat bagaimana maraknya berita itu serta komentar-komentar yang ada, Jesse resah. Harinya buruk, ditambah tangannya yang tiap menit menyalakan ponsel menunggu Kira menghubunginya. Ia punya alasan kenapa tidak menelepon lebih dulu dan menutut penjelasan Kira. Dan alasan Kira meneleponnya sekaranglah yang menjadi alasannya. Kalau ia menuntut penjelasan Kira, Kira tidak akan punya waktu untuk menyadari apa yang sebenarnya membuat Jesse kepikiran. Jesse tidak sedang mengetes Kira, namun sejauh mana Kira peduli untuk jujur mengusik pikirannya.

"Kenapa bohong?" Tidak ada emosi dalam nada bicara Jesse, namun hal itu makin membuat Kira paranoid. Tangannya berkeringat sekarang, seperti habis ketahuan melakukan tindak kriminal.

"Nggak mau kamu kepikiran."

"Semengganggu apapun itu, separah apapun itu, mulai sekarang jujur aja ya?" Suara Jesse melembut, membuat Kira heran.

"Kamu nggak marah?"

"Kamu mau aku marah?" tanya Jesse balik.

"Enggak... tapi kamu beneran nggak marah? Sumpah kalau kamu mau marahin aku nggak apa-apa, Je. Aku nggak mau kamu nggak ngeluarin apa yang ada di pikiran kamu terus sakit sendirian. Aku minta maaf."

"Aku nggak marah, Ki. Aku kepikiran, jujur. Aku mau langsung tanya ke kamu. But I want to know how much you care to tell me the truth. And I have no doubt now, Kinira. Thank you for telling me."

"Kamu kenapa sih? Why do you love me so much...? I don't deserve it, Je."

Satu tetes air mata Kira lolos.

"Heh, ngomongnya. Kalau kamu ngomong gitu aku marah beneran. Kamu berhak dapetin semua yang kamu punya sekarang, Kira. Udah ah, aku nggak marah kok kamu malah nangis?"

Jesse dapat mendengar isak kecil Kira.

Di depan jendela besar apartemennya, yang membuat langit oranye di atas terlihat semakin dekat, Kira menyampaikan syukurnya pada semesta yang membawa Jesse kembali untuknya. Kinira tidak tahu banyak perihal apa yang pantas ia dapatkan dan yang tidak, namun ia tahu bahwa Jesse berhak dapat lebih baik dari apa yang selama ini pria itu dapatkan dari Kira. Jesse berhak dapat sayang yang lebih besar dari cakrawala, dan Jesse berhak dapat semua kebahagiaan yang bisa Kira tawarkan lewat kata dan rasa miliknya.

LINGER (Completed) Where stories live. Discover now