"Kamu ingat Kak Jesse nggak, Na?" Kira membalikkan badannya menatap Rena yang telentang di sebelahnya sambil memainkan permainan di ponselnya.

Dahi Rena tampak berkerut sebentar berusaha mengingat nama yang sepertinya tidak asing.

"Kak Jesse yang temen SMA kakak?" tanya Rena tidak yakin.

Kira mengangguk.

"Inget kok. Kenapa?" lanjut Rena.

Mana mungkin ia lupa dengan teman kakaknya yang satu itu. Selain tampan, pria itu sering sekali muncul di rumahnya tanpa undangan. Waktu itu Rena masih berumur sekitar 13 tahun, jadi ia tidak ingat begitu banyak. Namun Jovan yang seringkali menjadi tumbal harus berkata bahwa Kira tidak ada di rumah padahal jelas-jelas sedang ada di kamar, masih basah dalam ingatan Rena. Rena selalu bertanya-tanya dulu, tentang Jesse yang pantang menyerah mendekati kakaknya yang seperti batu. Bagi Rena yang kerjaannya membaca novel teenlit, Jesse tampak seperti tokoh fiksi yang jadi nyata.

"Kan sekarang dia tinggal di Amerika, terus dua minggu lalu dia balik kesini. We kind of became a thing, terus tadi dia balik ke Amerika, nggak tau ke sini lagi kapan." Kira mempercepat bicaranya karena setelah ia sadari, menyuarakan apa yang ada di pikirannya tidak sebaik hanya memikirkannya aja.

Rena menjatuhkan ponselnya begitu saja. Ia yang awalnya tidak begitu tertarik dengan cerita Kira sekarang sepenuhnya terpusat pada ekspresi kakaknya itu.

Rena juga tidak lupa fakta satu ini, bahwa Kira membenci Jesse habis-habisan. Kalau tidak benci, mana mungkin ia tidak lelah berbohong dan mencari alasan untuk menolak ajakan jalan Jesse. Rena juga masih ingat bagaimana Kira selalu pulang sekolah dengan wajah ditekuk dan murka, namun ketika ditanya ia hanya selalu menyebutkan satu nama. Jesse. Rena tidak pernah terlalu peduli dan mencampuri semua hal itu, namun sekarang Kira dengan entengnya berkata mulai menjalin hubungan, setelah 8 tahun Rena tidak pernah mendengar nama itu disebut lagi.

Rena tahu Kira punya alasan kenapa ia tidak pernah mau menjalin hubungan dengan siapapun, tidak peduli seberapa banyak pria tampan dan mapan yang berusaha mendekatinya. Namun selama ini Rena pikir alasan itu adalah kesibukannya. Hanya saja, kalau memang itu alasannya, Kira tidak mungkin berpikir untuk menjalin hubungan dengan siapapun sekarang, di saat kerjaannya sedang lebih banyak dari biasanya.

"Lo bukannya nggak suka banget sama dia?" tuding Rena begitu saja.

"Delapan tahun lalu juga gue mikirnya gitu. Sampai dia kuliah di Amerika, hilang kabar, and I found myself thinking about him every single second of every day." Kira mendesah pelan lalu menelentangkan badannya, menatap langit-langit.

"Terus dia apa hubungannya sama lo yang pulang tiba-tiba dan ganggu gue sekarang?" tanya Rena malas.

Kalau Kira sudah bahagia menjalin hubungan dengan pria yang memang disukainya, harusnya sekarang Kira tidak meringkuk menyedihkan di kasurnya. Kalau Kira sudah bahagia dengan Jesse, ia tidak seharusnya malah kelihatan sebaliknya.

"Lo dengerin gue nggak sih? Gue baru dari bandara nganterin dia. Dia lagi perjalanan balik ke Amerika." Kira kesal karena adiknya tidak langsung menangkap dan membuatnya harus memperjelas situasinya. Uring-uringan karena ditinggal pacar bukan Kira sekali.

"Lo ke sini gangguin gue karena sedih ditinggal Kak Jesse balik ke Amerika?" Rena tidak bisa menahan tawanya setelah mengejek Kira, membuat Kira mengambil bantal yang kemudian digunakannya untuk membekap wajah adiknya. Rahang Kira mengeras, menyesali keputusannya untuk bercerita pada Rena. Rena menepuk-nepuk pergelangan tangan Kira kencang meminta yang lebih tua melepaskan bekapannya agar ia bisa bernapas.

"Jangan kenceng-kenceng sih, Na. Nanti mama bangun, elah."

Rena mengangguk dan meredakan tawanya sambil menghapus sedikit air mata akibat tawa kencangnya. Kira benar-benar berbakat jadi komedian.

"Lo lucu banget sih kak malem-malem gini. Udah ah gue mau tidur. Lo tidur sana, biar ketemu Kak Jesse di mimpi." Rena tertawa lagi, kali ini pelan.

Kira hanya menatap kecut adiknya yang sudah kembali memeluk guling dan memejamkan mata. Bukannya memberi saran atau apa, ia malah ditinggal tidur. Benar-benar tidak punya simpati. Kira menepuk jidatnya baru ingat sesuatu.

"Sumpah, Na. Kalau lo ngomong tentang ini ke Bang Jovan... uang jajan tambahan lo beneran nggak bakal gue kasih lagi," ancam Kira pada Rena yang ia tahu belum tertidur.

Rena tidak menggubris sedikitpun, mau uang sakunya dipotong atau tidak, diberhentikan atau tidak, cerita mengenai Kira yang pulang ke rumah karena galau, terlalu menarik untuk disimpannya sendiri. Rena terlalu suka berbagi, sehingga tanpa memedulikan semua ancaman Kira, ia sudah membulatkan tekadnya bahwa membagikan kejadian malam ini pada kakak pertamanya, adalah hal pertama yang akan Rena lakukan saat bangun besok.

L.I.N.G.E.R

LINGER (Completed) Where stories live. Discover now