Alfa menggeleng keras sama sekali tidak peduli. “Gue butuh sandaran.”

“Gue ngerti tapi lepasin jangan di sini.”

Pemuda itu menghela napas berat lalu melepaskan pelukannya sangat tidak ikhlas. Dia mundur beberapa langkah membuat jarak kemudian menggandeng tangan Gaby.

“Kemana?” tanya Gaby bingung.

“Rooftop.” Alfa menoleh sesaat. “Gue mau curhat.”

Gaby mengangguk. Memilih untuk mengikuti Alfa yang berjalan tergesa di depannya, dan setibanya di atas mereka duduk saling berhadapan. Ditemani wajah frustasi Alfa yang terlihat seperti sedang menahan boker.

“Boleh gue cerita sekarang?” tanya Alfa sebelum menyandarkan kepalanya dipundak Gaby.

Gadis itu mengangguk lalu menyimak apapun yang terlontar dari bibir Alfa tanpa ada satupun yang dia lewatkan. Telinganya dia pasang baik-baik untuk mendengarkan semua kata demi kata sampai dimana setelah dirinya paham dengan apa yang terjadi rasa terkejut pun tidak bisa ditutupi.

“Kaget dengar cerita gue?” Alfa terkekeh pelan di tengah raut wajahnya yang bertolak belakang dengan keadaanya.

“Menurut lo, gue lebih baik menurut atau melawan?”

Gaby diam membisu masih belum percaya dengan apa yang baru saja dia dengarkan. Masalahnya sekarang ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya, dimana orangtua seenaknya menjodohkan anaknya secara paksa. Mereka kini sudah hidup di jaman serba modern tapi kenapa hal itu masih berlaku di keluarga kaya raya seperti Alfa?

“Sebenernya gue bingung sama jalan pikiran bokap gue yang bilang semua ini demi gue. Masa depan cerah? Bullshit jir yang ada hancur nggak ada yang bisa gue capai kalau udah nikah,” kesal Alfa dengan nada tidak terima.

Gaby mendesah pelan ikut pusing memikirkan masalah yang sedang cowok itu hadapai. “Lo udah tanya alasannya?”

Alfa mengangguk tak bersemangat, sorot matanya menatap lurus ke depan. “Mama bilang biar gue punya komitmen sama tanggungjawab.”

“Terus lo mau menikah demi mereka?” Gaby menatap Alfa yang masih bersandar di bahunya dengan tatapan bertanya.

Alfa tidak menjawab, namun tiba-tiba menoleh menatap sisi wajah Gaby amat serius. “Kalau semisalnya lo ada di posisi gue sekarang gimana? Lo mau menikah demi keluarga lo?”

Gaby menoleh cepat ke arah Alfa. Menatap pemuda itu tak kalah serius. “Gue bakal—”

“Lo mau nikah sama gue, kan?” Alfa bangkit dari posisinya. Dia benar-benar frustasi dengan keadaanya yang mencekik kewarasannya. Membuatnya berbicara ngelantur tanpa berpikir jelas terlebih dulu. 

“Jangan berani nolak gue,” lanjutnya penuh penekanan.

Wajah Gaby berubah merah tanpa bisa di cegah. Dia ikut berdiri lalu mengangkat tangannya memukul dada Alfa kencang.

“Bercanda lo nggak lucu!” seru Gaby tegas. “Kita emang pacaran tapi kalau lo maksa gue buat nikah maaf gue nggak bisa gue belum siap Alfa.”

Cowok itu berdecak tapi juga tidak menyangkal ucapan Gaby memang benar. Kenapa dirinya terlalu memaksanya? Padahal jika mau dia bebas menunjuk salah satu gadis di luar sana yang setia mengantri padanya. Bukan malah memaksa Gaby dengan egois seperti ini. Namun Alfa sangat menginginkan Gaby untuk menjadi istrinya bukan gadis lain. Hanya ingin Gaby yang selalu berada di sisinya, di ruang lingkup sama dengannya bukan orang lain. Hal sederhana  yang tidak diterima.

“Mau tau alasan kenapa gue maksa lo?” Perlahan Gaby mulai kembali menatap Alfa dengan pandangan tak terbaca.

“Karena gue cinta mati sama lo, Gaby. Gue nggak mau bersanding sama yang lain. Gue maunya setiap hari bersama lo bukan cewek lain,” jelas Alfa amat serius.

ALFA Where stories live. Discover now