Dua puluh tiga PULANG

Start from the beginning
                                    

"Kamu pulang. Tidak usah basa basi mampir. Sudah cukup."

"Pak. Sudah...sudah. Mas Angger itu ngenterin aku Pak. Wis sudah...bapak sedang sakit. Jangan bertengkar. Mas Ngger juga butuh istirahat."

"Bapak merasa tidak enak. Firasat Bapak kenceng banget. Pasti akan terjadi sesuatu kalau kamu ketemu anak ini."

"Pak..."

"Aku pulang Mi. Besok aku ke sini lagi."

Angger menyela pembicaraan bapak dan anak itu. Dia merunduk dan melangkah menuju pagar rumah diikuti oleh Putri yang mengantarnya sampai jalan.

"Lelakon apa ini? Bapak mu ini sampai sakit mikirin kamu nduk. Sudah...kalau kalian ketemu seperti itu...perasaan bapak ga enak."

"Makanya cepet sehat Pak. Jangan sakit seperti ini biar bisa jagain aku."

Gemintang menuntun bapaknya masuk ke dalam rumah lagi. Makan siang bapaknya tertunda ketika Gemintang mengatakan dia pulang bersama Angger. Bapaknya itu bahkan tersedak saat mendengar hal itu.

Mereka kembali ke ruang makan dan Gemintang berjalan ke arah kamar mandi luar. Dia membawa handuk dan baju yang dia ambil dari koper. Gemintang membersihkan tubuhnya dengan cepat. Air sejuk seakan merontokkan lelah yang mendera hingga ke tulang-belulang nya.

Gemintang terpaku di depan pintu ruang makan dan menatap Putri yang telaten menemani bapaknya makan. Gadis itu bahkan tersenyum dan terlihat tulus. Mereka seperti...suami istri yang makan bersama. Gemintang mengamati Putri yang terlihat dewasa. Mungkin karena terlalu banyak bersama bapaknya yang sudah tua dan itu membuat Gemintang merasa berhutang budi sangat banyak.

Gemintang melesakkan bokongnya di kursi ruang makan membuat Putri mendongak dan segera mengambil piring dan mengulurkannya pada Gemintang.

"Makan dulu Mi. Aku yang masak ini."

"Nggih Bu."

Hilmawan mendongak namun segera menunduk kembali menekuni makan siangnya sementara Putri tertawa renyah. Mereka tidak banyak bercakap mengingat suasana hati Hilmawan yang tidak baik.

"Saya siapkan obatnya dulu, Pak. Nanti terus istirahat sampai jam 4." Putri berjalan ke arah sebuah lemari dan mengambil obat.

"Aku itu ada pesenan lukisan yang belum dibingkai."

"Sudah ga udh ngeyel.

Gemintang mengamati interaksi Bapaknya dan Putri sembari mengunyah makan siangnya. Tak dipungkiri, mereka terlihat sangat akrab.

"Berat badan bapak turun?"

"Makan ga teratur Mi." Putri menyahut.

"Ke rumah sakit ya Pak, biar diperiksa menyeluruh."

Gemintang melihat bapaknya terdiam dan menunggu obat yang disiapkan oleh Putri. Terlihat keengganan di raut wajah bapaknya.

"Bapak itu cuma banyak pikiran. Mikirin kamu terus. Was-was. Gimana mau doyan makan?"

"Pak..."

"Wong edan itu dibiarkan berkeliaran kemana-mana. Dimana pikiran orangtuanya. Terus Angger itu apa tidak bisa bicara sama bapaknya? Bahaya nduk kalau...Galih itu dibiarkan tak tentu arah."

Gemintang terpaku. Bapaknya jelas tidak salah. Keadaan memang seperti itu dan bisa jadi bahaya benar-benar bisa terjadi kapan saja.

"Dia nyusul ke Perancis, Pak. Dan kemungkinan dia masih ada di sana."

"Heh?" Terdengar suara Putri yang mendesis tak percaya.

"Orang seperti itu pinter Gemintang. Pinter lebih dari orang waras sekalipun. Galih itu wong edan yang keblinger."

DARI BALIK KELAMBUWhere stories live. Discover now