Ia dan Alvian hanya bisa menunggu dan berharap yang terbaik mengenai kondisi Ana diluar sana.

Arga? Semenjak kejadian malam itu di rumah sakit membuat hubungan Arga dan Alan merenggang bahkan Arga tak mencoba menanyai kabar Ana kepadanya, atau setidaknya membantu mereka mencari Ana, tapi ini tidak sama sekali.

Apakah cowok itu terlalu sibuk dengan tunangannya? Memikirkannya saja membuat Alan muak.

Saat Alan, Alvian, Bella dan Rian sedang berada di kantin tak sengaja Arga dan Ara melewati mejanya.

Rian bersiul. "Kayanya ada yang belum mandi, sampe sampai-sampai kegatelan." Mereka memberhentikan langkahnya.

Alvian tersenyum miring mendengar sindiran Rian.

"Mandi sana, biar gak kegatelan." Ujar Bella dengan nada mengejek.

"Bella!"

"Apa? Mau marah? Gak terima? Silakan!" Ujar Bella dengan santai.

"Udah Ga! Ayo! Gak usah urusin mereka, yang kerjaannya ngurusin hidup orang." Mereka melanjutkan langkahnya untuk mencari meja.

"ARA!" Ara menoleh menatap Bella yang memanggil dirinya.

"Mundur dikit deh!" Ara mengerinyit bingung tapi dia hanya menurut saja.

Bella terkekeh melihat Ara menuruti ucapannya. "Munafik nya kelewatan."
Seketika terdengar gelak tawa di setiap penjuru kantin.

Bella menyeringai saat melihat kekesalan Ara dari kepalan tangannya yang sangat bertolak belakang dengan raut wajahnya yang seolah-olah tidak paham dengan situasi.

"Udah yuk Ga!" Ara meraih lengan Arga dan membawanya keluar kantin.

•••🌧️•••

Ana menatap langit-langit ruang rawat nya datar, dia menatap pasien-pasien yang satu ruangan dengannya. Semua pasien ditemani atau dikunjungi oleh kerabatnya tapi dia? Sejak ia keritis hingga dia sadarkan diri tidak ada yang menemaninya.

Apakah Alan tidak berusaha mencarinya? Arga juga? Kemana mereka semua?

Ana kehilangan Hpnya dan tidak bisa menghubungi siapapun. Akhirnya ia meminta salah satu perawat untuk menghubungi rumah sakit tempat Gibran bekerja, untuk memberitahu bahwa ia dirawat di rumah sakit ini. Dan saat ini Ana tengah menunggu kehadiran Gibran disini

Srek!

Ana menoleh, menatap siapa yang membuka khordeng penyekat antar tempat pasien.

"Ana?" Ana tersenyum kecil saat melihat kehadiran Gibran, ternyata dokter kesayangannya cepat juga untuk sampai disini.

Gibran menatap kondisi Ana yang memperihatinkan, kepala yang di perban, wajah yang pucat dan tubuh yang sudah kehilangan berat badan nya.

"Astaga Ana." Gibran menjambak lembut rambutnya sendiri, membuat Ana terhibur.

"Kenapa bisa kaya gini? Dan kenapa kamu bisa sampai disini? Inilah akibatnya kamu terlalu keras kepala." Ujar Gibran dengan cepat.

Ana menyodorkan segelas air. "Minum dok!" Gibran menatap Ana heran.

"Untuk apa saya minum?"

Ana tertawa mendengar pertanyaan Gibran. "Siapa tahu dokter haus kan, soalnya kebanyakan ngomong."

"Kenapa ketawa? Ada yang lucu?"

Ana menghentikan tawanya. "Nggak, dokter kalo lagi stress kayanya makin ganteng, liat tuh."

Ana menunjuk penampilan Gibran yang berantakan. Dari mulai kemeja yang di gulung sampai siku, dasi yang sudah tidak rapih, serta rambut yang berantakan.

Rintik HujanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora