21. LAMPU IJO

Mulai dari awal
                                    

“Suka-suka gue lah pokoknya lo harus berhenti depan sana atau gue loncat nih?” Gaby menatap Alfa dari samping dengan serius.

Pemuda itu menghela napas panjang sebelum memilih untuk menurut daripada panjang urusannya. Dan tidak lama keduanya berhenti di swalayan cukup besar di kawasan Jakarta.

“Sekarang mau beli apa?” tanya Alfa setelah mereka masuk dan mengambil satu keranjang.

Gaby menghendikkan bahunya acuh berjalan mengabaikan laki-laki yang mengekor di belakangnya. Sejujurnya dirinya masih sedikit kesal karena di sepanjang jalan tadi mereka adu bacot mulu.

Alfa berdecak sebal. Laki-laki kalau sudah salah akan tetap salah di mata cewek meski benar sekalipun. Dan konsep bahwa perempuan selalu benar memang valid no debat. Buktinya sekarang sudah di turuti tetap saja salah.

“Dikit aja di rumah cuma ada Mama doang nanti malah nggak kemakan,” peringat Alfa ketika melihat gadisnya hendak mengambil seluruh kue kering yang ada di hadapannya.

“Masa iya cuma dua toples aja ntar dikira itungan lagi,” balas Gaby sibuk memilih beberapa kue di tangannya. “Lagian kan masih ada lo sama Reza.”

“Gue sama Reza jarang di rumah. Sekalinya pulang mending mabar sambil rebahan.”

Gadis itu berdecak. Tak lama berbalik dan memperlihatkan sekotak kurma yang begitu menggiurkan di matanya.

“Gue jamin Papa lo pasti suka.”

“Pinter. Sekarang ayo pulang,” ajak Alfa seraya menarik tangan Gaby namun gadis itu bersikeras menolaknya.

“Bentar aku masih mau beli sesuatu buat Mama.”

“Ngeyel di bilangin jangan banyak-banyak juga. Mau dosa karena buang-buang makanan?” Gaby mengerucutkan bibirnya.

“Iya tapi buat Mama belum ada Alfa,” rengek Gaby dengan keras kepala. Dia kembali berkeliling mencari berbagai macam buah yang tersusun rapi di rak buah yang tidak jauh darinya.

Alfa menyerah. Menghadapi sikap keras kepala dan susah di atur gadisnya itu lama-lama bisa membuatnya darah tinggi jika tidak segera mengalah. Dengan membawa keranjang belanjaan yang hampir penuh ia kembali mengekor kemanapun gadisnya berjalan.

Setelah dua puluh menit Gaby puas menghabiskan waktu untuk berbelanja, ia segera berjalan ke arah kasir untuk membayar. Sambil menunggu belanjaannya selesai di hitung ia memainkan gelang hitam di tangan Alfa yang baru ia sadari jika laki-laki itu memaikanya.

“Gue baru tau lo punya gelang,” ujar Gaby. “Kapan belinya?”

Alfa meliriknya sambil terdiam sesaat, lalu tidak lama menjawab. “Udah lama waktu kita jadian dulu keknya.”

Gaby manggut-manggut, “Kenapa nggak pake jam tangan aja biar tambah keren daripada gelang ginian?”

“Gelang hitam lebih berarti daripada jam tangan,” balas Alfa sambil menghapus kotoran yang berada di pipi Gaby.

“Ha? Maksudnya?” Gaby mengerjap bingung.

Bukannya menjawab Alfa malah tersenyum dan menatap dalam kedua mata Gaby, membuat gadis itu mengernyit melihatnya.

“Ih..., aku nanya serius!” Gaby mulai kesal.

Alfa terkekeh, “Kenapa? Mau marah? Mau gue cium?”

Ekhem!”

Penjaga kasir itu geleng-geleng kepala seraya menahan senyum geli saat diam-diam mendengarkan percakapan kedua sejoli di depannya. Membuat Gaby menoleh, dan menyadari jika belanjaannya telah selesai di hitung entah sejak kapan.

ALFA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang