Mereka seakan juga merasakan apa yang dialami Nada selama ini. Tinggal tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani oleh seorang bibi dan sahabatnya.

Sejenak, Fadil sedikit terkejut dengan apa yang ia saksikan saat ini. "Nada, kamu ingat sama saya?"

Gadis itu mengelap air matanya. Matanya bergerak menatap satu persatu orang di hadapannya. "Pak Fadil? Syifa? Dan ... Abi?"

Saat itu juga Fadil tersenyum lebar.

"Lo udah inget sama gue, Nad?" serbu Syifa dengan heboh.

Nada mengangguk. "Allah masih baik sama gue, Fa."

Rasa itu tak dapat ia bendung lagi, dengan penuh jingkrak layaknya anak kecil, Syifa meraih tubuh Nada dan memeluknya. "Gue rindu banget sama lo, Nad!"

"Gue juga, Fa ... aww, jangan kenceng-kenceng, kepala gue masih sakit."

"Eh? Maaf, hehe."

Nada terdiam, kini matanya tertuju pada sosok Abi yang dari tadi senyum-senyum sendiri. "Abi, kamu, ngapain di sini?"

Pria itu terkekeh singkat. "Aku Abi, adiknya Kak Nada."

Benar saja, Nada tak menyangkan akan hal ini. Mulutnya terperangah tanda tak percaya. "Serius?" Kepalanya menoleh ke arah mamanya, meminta jawaban.

Perempuan paruh baya itu mengangguk. "Dia Abi, adik kamu."

"Ya ampun, sini, peluk kakak." Nada melebarkan tangannya, masih dari atas ranjangnya.

Masih sedikit malu dan ragu, Abi berjalan mendekat. Menghamburkan dirinya, memeluk erat kakak kandungnya.

"Aku gak nyangka kalo kamu adik aku, kenapa gak bilang dari dulu."

"Abi selalu gak dapet kesempatan yang pas, Kak."

"Ehem. Saya, izin pulang dulu." Merasa dirinya bukanlah siapa-siapa. Fadil memutuskan untuk beranjak dari sana.

Namun...

"Tunggu, Pak," cegat Nada cepat.

Fadil menghentikan langkahnya. Menoleh ke belakang.

"Raya sayang, sini, peluk mama."

Terlihat jelas, mata Raya sembap, ternyata gadis kecil itu juga ikut menangis. "Raya kenapa nangis?"

"Laya takut Mama Nada pelgi," jawabnya polos.

"Pergi ke mana? Mama di sini, kok."

"Tapi tadi mama tidulnya lama banget."

"Hehe, maafin mama, ya, Sayang?"

Raya mengangguk.

Nada kembali menatap Fadil yang kini berdiri di ambang pintu. "Pak, saya masih ingat, ketika Bapak bilang, jika kita akan berjuang bersama memulihkan ingatan saya. Dan ketika ingatan saya sudah pulih, kita akan hidup bersama."

Napas Fadil tersengal mendengarnya. Jantungnya berdegub dengan kencang. Namun, ia penasaran dengan kalimat yang akan keluar dari mulut Nada selanjutnya.

Dikhitbah Pak DosenWhere stories live. Discover now