BAB - 5

8.9K 629 18
                                    

SELAMAT MEMBACA

-Rasanya aku ingin kabur dari realita, tapi utang masih banyak!-

"Mama! Yeee, mama pulang!"

Seketika Nada kaget bukan main, matanya terbelalak lebar-lebar, sembari menunjuk dirinya sendiri. "Ma-mama?" ucapnya, lalu menatap Fadil penuh tanda tanya.

Berusaha untuk mengalihkan keadaan, Fadil mengajak masuk anaknya ke dalam rumah, begitu juga Nada yang ia perintahkan untuk membawa nasi goreng dan bubur milik Raya ke dalam rumah.

"Hufft, sudah gue duga, gue bakal dibawa ke rumahnya, astaga!" Nada berjalan terhuyung pasrah, tentu dengan hati yang terpaksa pula, namun raganya mencoba untuk mengihlaskan.

Namun, ada yang sedikit berbeda kali ini, seketika mata Nada sedikit takjub kala memasuki rumah itu. Interior serta desain ruangan yang luar biasa, tata letak barang serta penggunaan cat yang sangat baik, membuat rumah itu sangat berbeda. Bisa dibilang, rumah ini adalah rumah terbaik dari semua rumah yang pernah ia kunjungi.

"Hey, bubur tadi tolong kasihkan ke bibi di dapur," perintahnya dengan suara pelan. Anak kecil itu ternyata sudah tidur di gendongannya, membuat Nada sedikit tersentak kaget akibat suara berat dosennya yang cukup menggema.

"Eh-iya, dapur ... di mana, Pak?" tanyanya dengan suara yang pelan pula.

Fadil menunjuk dapur yang berada di belakang Nada dengan memuncungkan bibirnya. Sebenarnya tingkah dosennya itu sangat lucu bagi Nada, tapi sekarang bukan waktunya untuk bercanda.

"Oh, oke-oke," sahut gadis itu, berjalan sembari membawa bubur yang sengaja disetok oleh dosennya. Tidak tanggung-tanggung, tiga renteng bubur, kebetulan dapat diskon karena membeli banyak, harganya pun menjadi lebih murah.

Setelah sampai di dapur yang dosennya maksud, Nada menemui seorang wanita paruh baya di sana, tengah memasak air.

Nada tersenyum tulus sebelum memberikan sekantung bubur kepada wanita itu. Ternyata senyuman Nada pun dibalas sangat baik olehnya, dengan senyum yang lebar dan tulus tentunya.

"Bi, ini bubur buat Raya, ya," kata Nada, sembari menyodorkan bungkusan tersebut ke bibi.

"Oh, iya Neng, makasih, ya." Bibi langsung membuka satu bungkus darinya, berniat untuk mengeduhnya. Namun, di sela-sela itu, bibi akhirnya bersuara. "Neng, namanya siapa?" tanya bibi ketika menuangkan air hangat dari termos.

"Nama saya, Nada, Bi," jawab gadis itu pelan, ia tidak mau membuat keributan di rumah orang dengan membesarkan suaranya.

"Owh, Neng Nada, pacarnya Pak Fadil?"

"Uhuk! Maksudnya, Bi?"

Bibi tersenyum penuh arti, namun sangat sulit bagi Nada untuk mengartikannya. "Enggak kok, bibi cuma nanya. Lagian, Neng mirip almarhumah istri Pak Fadil dulu."

Demi apa pun Nada semakin bingung dibuatnya. Istri? Siapa dia? "Maksudnya, Bi? Saya gak paham."

Bibi beranjak menuju wastafel yang tak jauh dari sana, namun sambil bercerita. "Dulu, Pak Fadil memiliki seorang istri, namanya Hana. Beliau seorang istri yang sangat baik menurut bibi. Dia memakai hijab, sama seperti kamu. Setiap jumat, dia selalu membagikan makanan untuk orang fakir miskin, bahkan setiap bulan ia selalu berinfak ke masjid."

Sejenak cerita bibi terhenti, seperti ada suara kesedihan di sana, membuat Nada semakin penasaran akan cerita selanjutnya. "Lalu, apa, Bi?"

"Namun, sepertinya Allah lebih menyayangi Hana. Dua tahun silam, di saat umur Raya dua tahun, beliau kecelakaan ... dan mirisnya, Hana meninggal di tempat." Air mata tak kuasa lagi terbendung di mata nan keriput miliknya, wanita tua itu sesekali mengelap matanya dengan kerah bajunya.

Dikhitbah Pak DosenWhere stories live. Discover now