BAB - 17

5.5K 450 6
                                    

Selamat menunaikan ibadah puasa, bagi teman se-muslim. Tetap semangat full


"Entah mengapa, saya selalu ingin kamu menjadi cahaya bagi keheningan ini"

"What? Lo jadi asisten dosen ganteng?"

"Gak usah lebay, deh, Fa. Dah ya, gue mau pergi, keburu ngamuk entar tuh dosen," pungkas Nada yang melonggarkan tali tas ranselnya.

Nada berlalu dari sana, keluar dari kost, meninggalkan bekas yang mengejutkan bagi Syifa.

"Demi apa? Nada bisa seberuntung itu?" Syifa terduduk di sofa, masih tidak percaya dengan sahabatnya yang bernama Nada itu.

Gadis yang sudah siap dengan pakaian panjang berwarna ijo tosca itu berjalan menghampiri Fadil yang tengah berdiri bersandar di pintu mobil.

Ketika menyadari kehadiran Nada, spontan Fadil mengangkat tangan kirinya, menatap jam tangan. "Lima belas menit, boros waktu."

"Hm, udah gue duga," gumam Nada dengan suara kecil.

"Cepat masuk, keburu malam."

"Ck. Gimana mau masuk, bapaknya aja ngehalangin pintu, atau saya yang nyetir?"

"Nggak, kalo kamu yang nyetir, belum nyampe dua meter udah terbang," jawab Fadil yang langsung beralih menuju pintu mobil sebelah.

"Nah, makanya, hus ... hus." usir Nada. Bercanda.

Cuaca sore ini cukup bersahabat. Angin berhembus cukup kencang, namun tak terlalu deras.

Begitu juga dengan pancar rona mentari, sangat pas bagi orang yang ingin mendapatkan manfaat sang surya.

Tidak biasanya perasaan Fadil aneh seperti ini. Padahal ia sudah terbiasa untuk bersikap cuek kepada para wanita.

Terutama Cintya.

Namun,

Nada begitu aneh baginya. Ada rasa getaran yang cukup kencang dari seluk jiwanya.

Ada apa ini? Fadil tampak gelisah.

Pria itu mencoba menggenggam tangannya di atas setir mobil.

Mulutnya menghembuskan beberapa kali napas cukup keras.

"Pak? Ngapain? Kayak anak SD mau ambil raport aja," seru Nada kala menyadari tingkah aneh dari sang dosen.

Sontak Fadil menoleh, sedikit mengerjap. "Enggak, saya hanya sedikit kedinginan."

Nada melongo. Apakah dosennya ini bodoh? "Pak? Kalo dingin kenapa ngidupin AC? Bapak spesialis dingin?"

Saat itu juga Fadil merutuki kebodohannya. Fadil tak pandai berbohong.

Sepanjang hidupnya, Fadil lebih memilih untuk jujur.

Dikhitbah Pak DosenOnde histórias criam vida. Descubra agora