"Kak Aland udah, jangan pukul dia lagi." cegah Asya.

"Tapi ucapan dia udah kelewatan, Sya!"

"Gapapa, Asya yang salah. Udah Kak, malu di liatin orang-orang." Asya memberi kode kepada teman-temannya agar membawa Aland jauh dari hadapan Kelvin.

Asya bertekad ingin menolong Kelvin, namun tubuhnya kembali tersenggol oleh Alena. Gadis itu merebut tempat Asya dan segera menolong kekasihnya yang sedang terluka, "Kita ke UKS ya sekarang."

Alena membawa tubuh Kelvin ke UKS. Asya hanya menatap kedua orang itu dengan senyum kecut. Tampaknya Alena sangat menguras kesabarannya. Tapi tak apa, ia akan berbicara dengan Alena saat pulang nanti. Karena gadis itu harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah ia lakukan.

*****

Asya tengah merapikan peralatan tulisnya. Ia segera bersiap-siap untuk pulang karena ada yang harus di bicarakan dengan Alena. Tapi semua teman-temannya kembali menghampiri Asya dengan perasaan khawatir.

"Sya, ada yang mau gue tanyain." ucap Anya serius. Asya mendongak menatap mata sahabatnya, ia masih menunggu pertanyaan yang ingin Anya berikan. Semua mata juga menatap mereka serius.

"Siapa Alika?" tanya Anya to the point. Nama gadis itu selalu berputar dipikirannya setiap malam. Antaris juga sering mengatakan nama gadis itu, karena nama itu yang membuat kesalahpahaman antara Antaris dan juga Asya.

"Kok lu bisa tau kalau gue punya teman Alika?" Asya mengerutkan dahinya heran. Padahal ia sudah menjaga rahasia itu rapat-rapat, namun tetap saja terbongkar.

"Jadi lu kenal dia?"

"Iya, gue ketemu sama dia beberapa minggu lalu." jawab Asya jujur, toh mau disembunyikan pun Anya tetap sudah tahu jika Asya berteman dengan Alika.

"Sya..." Anya sedikit bingung. Bukankah Alika sudah meninggal? Karena Antaris mengatakan bahwa gadis itu sudah lama tiada. Lalu, mengapa Asya menyebutkan sebagai teman? Bukankah mereka kakak beradik?

"Maaf, gue tutupin ini dari kalian. Karena Alika takut dengan banyak orang, jadi mau nggak mau gue harus nutupin keberadaan dia. Dia cantik banget, kalian mau lihat? Gue pernah foto sama dia." Asya segera mengeluarkan ponselnya untuk mencari foto kebersamaan mereka. Setelah mendapatkannya Asya langsung menunjukkan foto itu kepada semua temannya.

Mereka mulai merapat, namun yang mereka lihat seperti foto selfie biasa. Bahkan difoto itu Asya hanya seorang diri.

"Mana, Sya? Ini mah foto selfie lu." ujar Alex.

"Ini Kak, yang disebelah gue." Asya terus menujuk foto itu. Padahal terpampang jelas jika wajah cantik Alika tengah berada disebelahnya. Namun yang teman-temannya lihat tetap hanya Asya yang berada difoto itu.

"Sya, lu gapapa?" tanya Andra khawatir.

"Gue gapapa, tumben banget lu nanyain keadaan gue"

"Yaelah, salah mulu gue" Andra sempat menjadi pusat perhatian seluruh siswa. Mereka menatap Andra dengan tatapan aneh, karena sejak pagi yang mereka lihat bukan seperti Andra yang biasanya. Sejak pagi gadis itu selalu membantu orang-orang disekitarnya, seperti membantu membawa buku, menolong siswa yang jatuh, dan masih banyak lagi.

Andra yang sebelumnya ialah seorang gadis kasar, sombong, dan tidak memiliki perasaan kasihan sedikit pun. Namun gadis itu tiba-tiba berubah. Ia berubah setelah berteman dengan Asya, bahkan Ketrin pun sempat menatapnya heran.

"Gue pulang duluan aja deh. Males, mata kalian pada katarak semua" Asya segera bangkit dari bangkunya.

"Gak sopan banget ni anak satu" sindir Alex.

"Hati-hati Kak," ucap Moza.

"Hati-hati lu, jangan galau mulu"

"Masa Ibu Negara gue jadi sadgirl" timpal Ivana.

Asya hanya membalas semua celotehan itu dengan tersenyum manis. Ia sempat ditawarkan sebuah tumpangan oleh Alex dan Rasya. Namun gadis itu menolaknya, ia sedang ingin pulang seorang diri.

Gadis itu terus berjalan di antara lorong-lorong sekolah, tatapannya terus menyapu ke segala arah. Kini ia tengah menatap bingung orang-orang di sekelilingnya, mengapa mereka hanya diam seperti tengah melihat satu objek yang menarik?

Asya terus mengikuti kemana tatapan orang-orang itu tertuju. Ternyata mereka tengah menatap seorang pria yang tampan, bahkan pria itu bukan murid dari sekolahnya. Iya, dia Nathan. Pria itu tengah menunggu Asya diatas motornya, ia sengaja menunggu Asya didepan gerbang SMA Cakra Birawa.

Asya menatapnya jengah, ia sedang tidak mau melihat wajah Nathan. Bahkan untuk berbicara dengannya pun Asya sangat malas. Ia melewati Nathan begitu saja, namun dengan gerakan cepat Nathan langsung menggenggam tangan Asya erat, "Sya, ayo gue anterin pulang"

Asya hanya diam, ia melepas genggaman itu namun caranya percuma. Nathan kembali berhasil menggapai tangannya.

"Gue bisa pulang sendiri"

"Mau hujan Sya, entar lu kehujanan"

"Gue suka hujan"

"Tapi lu takut sama petir" balas Nathan cepat. Pria itu sudah lama tahu bahwa Asya sangat takut dengan suara petir. Karena Asya pernah mengatakan padanya saat mereka masih duduk di bangku SMP.

Asya masih diam, ia terus menimang-nimang tawaran Nathan. Jika ia pulang seorang diri, nanti siapa yang akan menolongnya jika ada suara gemuruh petir? Tapi jika Asya pulang bersama Nathan, gadis itu masih marah kepadanya. Karena tidak ada pilihan Asya langsung naik keatas motor pria itu.

"Tadi katanya gak mau gue anterin pulang"

"Yaudah, gue turun" Asya bertekad ingin turun dari motor Nathan dengan tatapan dinginnya. Namun pria itu langsung mencegah Asya dengan cepat, "Gue becanda Bobon"

"Cepetan"

"Pegangan dulu dong"

"Males" jawab Asya singkat. Nathan segera menancapkan gas motornya secara mendadak agar Asya bisa berpegangan dan memeluk pinggangnya. Gadis itu langsung terlonjak kaget, reflek ia langsung memeluk erat pinggang Nathan.

Tanpa Asya sadari, ternyata sejak tadi Kelvin terus menatapnya bersama Nathan. Entah mengapa hatinya seakan panas melihat pemandangan itu.

"Kakak ngeliatin apa?" tanya Alena penasaran.

"Gak ada, ayo kita pulang"

MOODYCLASS : THE FIRST WAR ✓Where stories live. Discover now