56. Meninggal?

5.4K 211 0
                                    

Jangan lupa vote, ya😁

Jangan lupa juga difollow akun author nya, wkwk😸

Share cerita ini jika layak untuk dibaca.

Happy Reading 💞

* * *

Arnold yang sedang berjalan menuju kamarnya, tak sengaja pandangannya melihat Aurora yang sedang melamun. Tanpa pikir panjang, Arnold pun melangkah memasuki kamar Aurora tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Arnold mendudukkan dirinya di samping Aurora yang masih tidak sadar akan keberadaan dirinya. Setelah beberapa menit diam, akhirnya Arnold memberanikan diri untuk menepuk pundak Aurora pelan.

Aurora terlonjak kaget saat pundaknya tiba-tiba ditepuk oleh Arnold. Ia hanya menatap Arnold sekilas, kemudian pandangannya kembali menatap kosong ke depan.

"Kamu kenapa, Ra? Akhir-akhir ini Abang sering ngeliat kamu ngelamun terus," ujar Arnold sambil menatap wajah adiknya dari samping.

Aurora tidak menjawab. Ia terus saja melamun tanpa mempedulikan keberadaan Arnold di sampingnya.

Arnold menatap Aurora sendu. Pasti ini ada hubungannya dengan Mamanya, pikirnya.

"Ora kenapa? Sini cerita sama Abang. Abang gak suka liat Ora sedih terus," ucap Arnold sambil mengelus punggung Aurora lembut.

Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba satu tetes air mata menetes dari kedua pelupuk mata Aurora. Ya, Aurora menangis.

Arnold yang melihat Aurora menangis pun langsung membawa Aurora ke dalam pelukannya. "Masih gak mau cerita, hm?"

Di dalam pelukan Arnold, Aurora masih diam dengan air matanya yang terus mengalir, membuat baju Arnold basah akibat tangisan Aurora.

Karena tak kunjung mendapat jawaban dari Aurora, Arnold pun melepaskan pelukannya. Ia menatap kedua mata Aurora yang terlihat merah. Arnold menangkup kedua pipi Aurora sambil sesekali menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua pelupuk mata Adiknya itu.

"Ora kangen sama Mama?" tanya Arnold sambil menatap Aurora.

Sedangkan Aurora, setelah mendengar pertanyaan dari Arnold, ia langsung terisak hebat. Aurora menundukkan kepalanya dalam. "Iya. Ora kangen sama Mama ..."

Aurora mengangkat kepalanya sambil menatap Arnold dengan air matanya yang terus mengalir. "Ora kangen sama Mama, Bang. Ora pengen ketemu Mama. Ora pengen meluk Mama. Ora pengen cerita-cerita sama Mama. Ora pengen becandaan sama Mama. Ora pengen ..."

Arnold langsung memeluk tubuh Aurora yang bergetar hebat. Ia mengusap lembut punggung Aurora. "Ssttt ... nanti Ora bisa kayak gitu, kok. Tapi, kalau Mama udah sembuh, ya?"

"Abang juga sama kok pengen banget kayak gitu sama Mama. Tapi, kalau sekarang bukan waktu yang tepat, Ra."

Aurora melepaskan pelukannya, ia menatap Arnold. "Terus kapan, Bang? Kapan waktu yang tepat itu?" tanya Aurora dengan suara parau.

"Nanti, kalau Mama udah sembuh, Ra," jawab Arnold lembut.

Aurora memalingkan wajahnya, tatapannya lurus ke depan menatap jendela kamarnya. "Andai Mama gak gila. Mungkin sekarang kita lagi becandaan sama Mama." Aurora tersenyum miris membayangkannya.

"Mama gak akan gila kalau papa gak meninggal," ujar Arnold sambil menatap lurus ke depan.

"Dan itu semua gara-gara keluarga Antaris!" Arnold menoleh, menatap Aurora. "Kita harus balas dendam, Dek ..."

Aurora menggeleng lemah. "Enggak! Aurora sekarang udah sadar, ini semua bukan gara-gara keluarga Antaris, Bang! Ini semua udah jadi takdir! Dan Abang, gak seharusnya menyalahkan keluarga Antaris terus menerus ..."

ANTARIS [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang