"Holeee!" teriak Raya girang.

"Ayo, kita ke pantai sekarang," ajak Fadil yang membawa kotak makanan.

"Ayo!"

***

"Wow! Ramai sekali," seru Fadil ketika melihat lautan manusia di hadapannya.

Nada mengangguk. "Iya, Pak. Hampir penuh tempatnya."

"Ma, Pa, di sana kayaknya kosong, deh!" tunjuk Raya ke tempat yang memang tidak ada orang menempatinya.

"Nah iya, deketnya ada pohon juga, jadi gak terlalu panas."

Mereka bertiga berdampingan berjalan ke sana.

Raya yang berjalan di tengah, tangan kanannya digenggam Fadil dan tangan kirinya digenggam Nada, merasakan perasaan baru, perasaan yang tak pernah ia rasakan selama satu tahun.

Setelah sampai, ketiganya langsung melakukan aktivitas masing-masing.

Nada dan Fadil, mereka berdua menggelar karpet dan memasang payung berukuran sedang, sedangkan Raya langsung bermain dengan pasir.

Meskipun usahanya gagal, yaitu istana pasirnya selalu hancur diterpa ombak, tapi Raya tak menyerah, ia akan terus membuat sebuah istana pasir.

Dari atas karper yang sudah tergelar, Nada dan Fadil duduk saling berjarak. Karena hakikatnya, mereka hanyalah sebatas dosen dan murid, tak lebih.

Fadil menatap lurus ke lautan yang luas, bayangan kapal yang melintas tercermin di kacamata bulat miliknya.

Begitu juga dengan Nada, yang tampak berusaha menenangkan pikirannya ke alam bebas, namun ada satu kenyataan yang harus dipikirkannya.

"Ehem. Kamu tadi, kenapa?" tanya Fadil berusaha membuka obrolan. Tatapannya masih ke depan.

Nada menoleh sejenak, lalu kembali memperhatikan Raya yang tengah asyik bermain pasir. "Enggak apa-apa, Pak."

"Saya tahu kamu berbohong."

Nada menggigit bibir bawahnya, ia tak pandai berbohong, selalu saja ketahuan. "Apakah saya harus cerita?"

Mendengar jawaban seperti itu, Fadil langsung menoleh ke kanannya, menatap Nada dari balik kacamatanya, dan Nada juga menoleh ke kiri, pandangan mereka saling bertemu.

"Masalah kamu, juga masalah bagi saya, karena saya gak mau Raya terkena imbasnya."

Nada menelan kenyataan pahit itu mentah-mentah, ternyata Fadil peduli bukan karena perasaannya, melainkan karena Raya, anaknya.

Mata Nada nanar, ingin sekali ia menangis saat itu juga, dan berteriak sekencang-kencangnya. "Ternyata Bapak tidak peduli."

Fadil terdiam, ia tak menjawab, melainkan kembali menoleh ke arah Nada. Gadis itu tidak mengalihkan pandangannya dari depan.

"Bapak seolah-olah hanya butuh saya karena Raya, apakah benar, Pak?" tanya Nada dengan suara miris, kali ini ia menatap Fadil dalam.

Ekspresi wajah Fadil tidak berubah, masih saja datar dan tak berpola, seakan-akan tidak ada rasa bersalah dari dirinya.

"Jadi, kamu tidak ikhlas selama ini?" Fadil membuka suara.

Nada tersenyum sinis, lalu kembali menatap ke depan. "Jika saya tidak ikhlas, sudah lama saya tinggalkan kota ini, Pak."

Pria itu kembali diam.

"Terlalu banyak kejadian yang sebenarnya saya tidak ikhlas, namun tetap terjadi. Percuma jika saya tidak ikhlas, toh, mau ikhlas ataupun tidak, semua itu akan tetap terjadi." Entah kekuatan dari mana, Nada dapat mengucapkan kalimat sepanjang dan selancar itu.

Hening.

Tak ada yang bersuara kali ini, hanya suara ombak pantai dan keriuhan pengunjung lain yang mengisi kekosongan.

Namun tidak bagi Nada dan Fadil, sekitar mereka seakan-akan sepi dan sunyi, tak ada yang berdetak ataupun bersuara.

Mereka berdua berjalan pada pikiran mereka masing-masing.

"Maaf."

Nada langsung menoleh, memperhatikan wajah yang baru saja mengucapkan kata yang sangat berharga itu.

"Kenapa, Pak?"

Fadil tidak mengalihkan tatapannya. "Karena kamu sudah merasa saya manfaatkan, hanya demi Raya. Padahal sebenarnya—"

"ADUUH! KESEL BANGET SAMA OMBAKNYA! OMBAK NAKAL!"

Kompak, pandangan keduanya langsung tertuju kepada anak kecil di depannya. Raya.

Bocah itu berlari dengan raut wajah kesal, menghamburkan dirinya ke pelukan Nada. "Mama! Ombaknya nakal! Laya udah bikin istananya, tapi dihanculin telus!"

Nada mengelus rambut Raya. "Ya sudah, Raya bikin istananya di sini aja, jauh dari ombak."

"Okey, tapi Laya mau makan, lapel!"

"Owh, Raya laper? Okey, bentar, ya, mama ambilin dulu sandwichnya."

"Papa," panggil Raya.

Fadil pun menoleh. "Iya, Sayang?"

"Papa jangan belantem sama mama, ya, juga jangan tinggalin mama, kalo papa lakuin itu, Laya bakal gak belhenti nangis!"

Nada yang sedang mengambil roti lapis dari dalam kotak menghentikan kegiatannya sejenak, memejamkan matanya dalam-dalam.

Fadil hanya tersenyum. "Iya, papa gak bakal ninggalin Mama Nada, janji."

Hanya beberapa kata, namun kalimat yang diucapkan Fadil barusan, seakan-akan sebuah janji suci yang akan mengikat dirinya dengan seorang Fadil.

BERSAMBUNG
(Rekomendasikan cerita ini ke temen kalian, ya! Support sangat dibutuhkan)

Dikhitbah Pak DosenWhere stories live. Discover now