16

674 130 25
                                    

Meski ayahnya mungkin tak akan peduli, sebelum meninggalkan rumah Zefanya tetap menuliskan sticky note berisi pesan pemberitahuan jika dirinya pergi bekerja dan berkemungkinan akan pulang malam lalu berpesan agar ayahnya memakan nasi serta tumis sayur-sayuran yang telah ia siapkan. Zefanya meletakan kertas berwarna biru itu di meja makan.

Menghindari macet perjalanan, Zefanya memutuskan pergi satu jam lebih awal. Sore ini busway tampak lenggang oleh penumpang, Zefanya memilih duduk di kursi ke dua dari depan, setelah mendaratkan bokongnya pada benda berbahan dasar plastik itu, Zefanya mengambil ponsel yang ia simpan di dalam tas selempangnya.

Jemari lentik gadis itu membuka ruang obrolannya dengan Haikal, mengecek kembali alamat yang dikirim oleh lelaki itu. Zefanya menghela napas pelan, mengetahui jika rumah Haikal berada satu kompleks bahkan blok dengan Sena.

Mengingat Sena membuat kepala Zefanya seketika sakit. Kenapa hidupnya terus menerus berputar dengan pemuda itu?

Terutama setelah kejadian kemarin, rasanya tekad Zefanya untuk membalas segala perlakuan dan ucapan kejam Sena padanya semakin menjadi-jadi. Jika saja kemarin ia bergerak lebih tenang dan gesit, kehidupan damainya pasti akan kembali, dan ia tak perlu menuruti semua perintah memuakkan Sena karena takut pemuda itu akan membeberkan seluruh rahasianya pada pihak sekolah. Zefanya tahu jika perbuatannya malam itu bukalah hal terpuji, tetapi bukankah Sena juga tak dapat memperlakukannya sekejam ini? Terutama ucapan laki-laki itu yang tak jarang menusuk hatinya.

Setelah semua yang terjadi pada hidupnya, Zefanya tentu tak akan tinggal diam, ia akan berusaha mencari celah agar hidupnya tak bertambah semakin sengsara karena permintaan Sena.

Setelah melewati hiruk pikuk jalanan padat merayap ibu kota, Zefanya akhirnya turun di sebuah halte yang tak jauh dari kompleks perumahan Haikal berada. Selama kurang lebih lima belas menit Zefanya berjalan kaki dari depan kompleks, gadis itu akhirnya sampai di depan sebuah rumah tingkat bergaya minimalis dengan gerbang hitam menjulang. Sebelumya Zefanya telah memberikan pesan pada Haikal jika dirinya sudah sampai. Jadi, gadis itu tak perlu repot-repot memperkenalkan dirinya pada satpam rumah Haikal seperti yang terjadi saat ia datang ke rumah Sena dulu.

Saat Haikal membukakan gerbang dan mempersilakannya masuk, Zefanya sempat melirik rumah Sena yang berdiri megah di seberang rumah Haikal dan berjarak kira-kira sekitar tiga rumah.

"Mama lagi pergi, gue panggil adik gue dulu sebentar," ujar Haikal, lelaki itu sengaja mengajak Zefanya ke ruang keluarga karena ruangan itu terpasang karpet luas yang lebih nyaman dibandingkan sofa di ruang tamu. "Lo duduk aja dulu," Imbuh Haikal.

Zefanya mengangguk pelan, gadis itu duduk dengan hati-hati di salah satu sofa lalu meletakan tasnya di sisi sampingnya.

Tak lama Haikal muncul dengan seorang laki-laki yang sedikit lebih pendek dan lebih kurus darinya. Keduanya memakai pakaian santai, hanya saja wajah adik Haikal lebih kusut. Sepertinya baru bangun tidur, terlihat dari sisa air yang berada di wajahnya. Adik Haikal yang Zefanya belum ketahui namanya itu juga membawa beberapa buku paket dan tulis di tangannya.

"Udah gak usah cemberut gitu, jelek lo. Sana belajar yang bener," titah Haikal seraya mendorong pelan punggung adiknya.

"Berisik lo," sahut yang lebih pendek datar.

"Yee, dasar!" Haikal menjitak kening adiknya pelan.

Sementara Zefanya hanya dapat tersenyum melihat interaksi Haikal dengan adiknya, wakil ketua OSIS itu terlihat lebih ceria dibanding saat bersamanya. Namun ..., memangnya dia siapa mengharap sisi Haikal yang seperti ini?

Sesaat setelah berpindah duduk di atas karpet seperti adik Haikal, Zefanya mengulurkan tangannya mengajak berkenalan.

"Zefanya, aku harap kita bisa jadi partner yang baik," tutur Zefanya.

MistakeWhere stories live. Discover now