4

947 147 9
                                    

Sena menyeringai di tempatnya, mengarahkan kamera ponsel yang baru saja ia ambil dari saku celananya ke arah Zefanya yang masih mematung. Setelahnya laki-laki itu melangkah sedikit demi sedikit menuju gadis yang merupakan saingannya dalam meraih peringkat satu. Sementara Zefanya ketakutan setengah mati di tempatnya, satu langkah Sena maju ke arahnya, satu langkah pula ia mundur ke belakang, hingga pada akhirnya tak ada celah lagi untuk kakinya bergerak, Zefanya terjebak di antara dinding dan lemari besi.

Sena berhenti tepat di hadapan Zefanya. "Jadi, ini siswi beasiswa yang selalu dapet ranking satu paralel? Lo dapetin semua itu pake cara licik begini?" desis Sena tajam.

Zefanya menggeleng ribut. "E-enggak! Gue gak seperti yang lo pikirin," sahutnya hampir menangis, jari-jari Zefanya meremas map di tangannya.

Sena menatap Zefanya tajam, kemudian melirik map berisi soal serta kunci jawaban yang ada di dalam genggaman gadis itu, lalu kembali menatap Zefanya. "Berarti lo lebih buruk dari apa yang gue bayangkan?"

Zefanya kembali menggeleng, kini air matanya sudah tak dapat ia bendung lagi. Seharusnya Zefanya memang tak pernah melakukan ini sejak awal, seharusnya ia percaya pada dirinya sendiri.

"Sekarang lo balikin map itu, dan ikut gue," titah Sena.

Zefanya mengangguk patuh. Hendak mengembalikan barang yang sempat ingin ia curi. Baru saja tangannya akan membuka pintu lemari, sebuah cahaya senter menyorot ke arahnya dan Sena.

Secara refleks Sena merangkul tubuh mungil Zefanya untuk berjongkok di bawah kolong meja. Sebelah tangan Sena membekap mulut Zefanya yang terus terisak-isak.

Mata tajam Sena menelisik, menatap satpam yang tengah menyenteri kantor guru selama beberapa saat, setelahnya satpam itu menutup pintu yang terbuka dan berjalan pergi.

Sena membuka bekapan tangannya di mulut Zefanya, seketika gadis itu menghirup udara seraya terbatuk-batuk kecil.

Sena memandang benci wajah imut Zefanya yang dibanjiri oleh air mata.

"Kalau sampai gue kena masalah, lo biang dari semua ini!" tekan Sena.

Zefanya mengangguk sambil menghapus air matanya yang kembali menetes.

Sena berdecih pelan, lantas bangkit dari posisinya dan berjalan lebih dulu. "Ikut gue!" ketusnya.

Dengan patuh Zefanya mengikuti Sena dari belakang. Mereka berjalan hingga tiba di taman belakang sekolah. Sena kembali menatapnya, melayangkan pandangan menghakimi.

"Gue bisa tendang lo detik ini juga dari sekolah, tapi karena gue masih punya hati, gue gak akan lakuin itu," ujar Sena tenang.

Zefanya membelalakkan matanya, perasaannya semakin campur aduk.

"Jangan, Sena. Gue mohon sama lo, jangan bilang hal ini ke siapa pun." Menjatuhkan harga dirinya, Zefanya berlutut di hadapan Sena, ia memohon dengan air mata bercucuran.

"Bangun. Gue gak suruh lo berlutut."

"Gue mohon, Sena. Tolong jangan bilang ini ke siapa pun." Zefanya mengulang perkataannya. Namun, tak menuruti apa yang dikatakan Sena.

"Gue bilang bangun!" hardik Sena.

Zefanya tersentak, lantas berdiri dan menatap mata teman sekelasnya itu.

"Gue gak akan bilang ini ke siapa pun, tapi ... ada syaratnya. Lo harus turutin semua perintah gue."

Zefanya baru saja akan tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih pada pemuda di depannya, tetapi belum sempat itu terjadi, ucapan lanjutan Sena seakan ingin merenggut nyawanya detik itu juga.

MistakeWhere stories live. Discover now