***

"Kamu tau dari mana kalo saya ada di sana?" tanya Fadil yang sedang menyetir mobil.

Sambil memakan snack yang sempat ia beli di minimarket, Nada menjawab, "Tadi ada bibi nelpon, katanya Pak Fadil belum pulang dari pagi, jadi dia minta tolong sama saya. Kebetulan tadi saya lihat mobil Bapak di depan club itu, akhirnya saya cek deh."

"Owh."

"Owh doang? Gak mau makasih, gitu?" sindir Nada berusaha menghabiskan remahan snack dengan mengarahkan lubang bungkusan ke mulut.

"Iya-iya, makasih karena sudah nolong ... astaghfirullah, kamu kelaperan? Kalo kurang kita stop dulu, beli lagi yang banyak, sampe plastiknya kamu makan."

"Hehe, lagian enak, Pak. Kalo Bapak mau beliin, boleh, kok."

"Hm."

***

"Cepetan turun, beli yang banyak, jangan tanggung-tanggung. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih saya pada kamu, udah nolongin saya tadi," ujar Fadil sambil mematikan mesin mobil.

"Wah, Serius, Pak? Kalo belinya macem-macem?"

"Iya, boleh."

"Beli bedak?"

"Iya, cepetan turun."

"Wah, tumben baik, bentar-bentar, lepasin sabuk dulu."

Setelah keduanya benar-benar berada di dalam supermarket, keduanya berjalan beriringan.

Meskipun Nada diberikan kebebasan oleh Fadil untuk berbelanja, tapi Fadil tetap mengawasi dari belakang.

Pandangan Fadil tampak bergerak menyusuri keadaan sekitar. Tampak ramai, namun tak terlalu sesak.

"Pak!"

Fadil mengalihkan atensinya ke gadis yang ada di depannya. "Iya?"

"Coba cium, enakan parfum yang ini, atau ini?" tanyanya seraya menyodorkan dua botol parfum ke hadapan Fadil.

"Hm, yang ini."

"Tapi kok enakan yang ini, ya, Pak?"

"Ya sudah beli yang itu."

"Eh, tapi yang Bapak pilih enak juga."

"Beli dua-duanya saja, jangan dibikin pusing," ucap Fadil pasrah.

"Ehem, maaf, Pak, Bu. Jangan mentang-mentang sudah suami istri, bisa ribut seenaknya, ya," tegur pegawai yang kebetulan tengah berpatroli di sana.

"Eh? Kami belom menik–"

"Baik, Mbak. Maafin istri saya memang suka rewel, sekali lagi saya minta maaf."

"Iya, tidak apa-apa, Pak, lain kali istrinya dijaga, ya."

"Iya, terima kasih." Fadil membungkukan badan.

"Eh, Bapak, sejak kapan kita jadi pasangan?"

"Barangnya sudah? Cepat ke kasir, saya mau pulang, sudah malam."

"Ahh, oke-oke, bentar."

***

Tiiiin!

Klakson mobil milik Fadil berbunyi kala memasuki kawasan rumahnya.

Benar saja, Raya dengan air mata yang masih membekas di pipinya berlarian ke luar rumah seraya bersorak ria. "PAPA! PAPA!"

"SAYANG! Owh anak papa nangis, ya? Maafin papa, ya, Nak, tadi ada masalah dikit."

"Papa ke mana aja? Laya takut sama papa kenapa-kenapa," kata Raya yang sudah berada di gendongan Fadil.

"Tadi papa pingsan, syukurlah ada Mama Nada yang bantuin, Raya harus berterima kasih sama Mama Nada."

"Wah? Ada mama? MAMA!" teriak anak kecil itu yabg langsung berlarian menghampiri Nada, yang baru keluar dari mobil dengan penuh plastik di kiri-kanannya.

"Halo, Sayang! Raya gimana? Gak nakal, kan?"

Raya menggeleng. "Laya akan nakal telus kalo mama gak ada!"

"Eh? Jangan gitu, dong. Kalo seandainya mama Nada pergi ke luar negeri? Raya jadi nakal?"

Anak kecil itu mengangguk mantap. "Iya, pokoknya Laya mau ikut Mama!"

"Hahaha, ya sudah deh, mama gak kemana-mana, mama gak kuliah lagi, mama gak masak lagi, mama gak tidur, mama gak mandi, oke?"

"Mama halus mandi dong, nanti bau."

"Aduh, bisa aja Raya. Eh ini tadi mama Nada beliin Raya makanan, banyak banget, lho."

"Wah?! Asik, Laya bisa makan banyak."

Di satu sisi, Fadil yang memerhatikan pemandangan di depan, yang bisa menebar senyum. Sambil memeluk bibi yang baru saja keluar rumah.

"Bibi, maafin Fadil."

"Gak apa-apa, Nak. Wajar manusia melakukan kesalahan, yang penting jangan diulangi lagi," pesan bibi sambil mengusap puncak kepala Fadil.

"Iya, Bi."

***

"Ternyata benar, dia sangat dekat dengan pria itu, aku berharap dia bahagia sama pria itu. Meskipun aku harus menyimpan perasaan ini dalam diam," gumam seseorang yang duduk di bangku jalan, tepat seberang rumah Fadil.

Pria itu berdiri, dengan jaket biru yang menutupi wajahnya.

Ia berjalan meninggalkan tempat itu.

Suara langkah sepatunya mengisi kekosongan suasana. Hening, dan sunyi. Hanya ada suara jangkrik yang berkuasa.

"Jika memendam rasa adalah jalan terbaik, maka aku akan melakukannya demi menjaga perasaan orang yang aku kagumi," gumamnya lagi, sedetik kemudian ia mengenakan earphone sampai akhirnya benar-benar pergi dari sana.

BERSAMBUNG
(Vote, komen, follow)

Dikhitbah Pak DosenWhere stories live. Discover now