1 - Prolog

5.7K 293 69
                                    

Kebenaran, kebenaran pahit. — The Red and the Black.

*Kutipan ini berasal dari epigraf novel psikologis sejarah The Red and The Black karya Stendhal. Julien adalah nama tokoh yang digunakan untuk judul buku 1 ini. Dia pemuda miskin yang cerdas dan ambisius, yang berusaha keras bangkit secara sosial melalui kombinasi bakat, kerja keras, penipuan, dan kemunafikan. Untuk yang sudah pernah membaca novel tersebut, mungkin sudah bisa menebak secara kasar kasus dalam buku 1 ini.

Wilayah di sekitar Jalan Nanping Utara Distrik Pasar Bunga di Kota Yan itu tampak seperti iblis yang dirias separuh wajah.

Jalan dua arah yang lebar dan lurus membelah Distrik Pasar Bunga menjadi dua bagian. Distrik Timur adalah salah satu pusat perdagangan teramai di kota, sedangkan Distrik Barat adalah kawasan pemukiman kumuh yang terabaikan, tempat berkumpulnya kaum miskin kota.

Selama beberapa tahun, properti-properti di Distrik Timur yang dilelang satu per satu dengan harga selangit oleh para pengusaha real estate dan lingkungan tua yang sangat membutuhkan transformasi, keduanya telah menampakkan cahaya kemuliaan. Biaya untuk membayar dan merelokasi penduduk telah meningkat sangat tinggi, membuat takut para pengembang dan mendirikan pembatas wilayah untuk memisahkan diri dari gang-gang yang sempit dan miskin.

Para warga yang tinggal di rumah-rumah bobrok itu bermimpi sepanjang hari menggunakan kamar-kamar seluas belasan meter persegi yang hampir ambruk untuk menjadi kaya dalam semalam. Mereka sudah merasakan kesombongan dari angan-angan bahwa 'rumahku bernilai jutaan begitu dirubuhkan'.

Tentu saja, para jutawan kumuh ini masih harus mengenakan sandal dan antre untuk mengosongkan kandung kemih setiap hari.

Masih ada hawa dingin di malam awal musim panas ini. Panas musim panas yang menumpuk sepanjang hari dengan cepat memudar. Rombong-rombong barbekyu yang secara ilegal memenuhi jalanan pun mengemasi barangnya dan pergi satu demi satu; penduduk yang menikmati udara sejuk juga pulang lebih awal; terkadang lampu jalan yang sudah berumur tua menyala berkedip-kedip, kemungkinan besar karena penyewa ilegal di sekitarnya menyedot listrik dari saluran listrik.

Sementara itu, di pusat perbelanjaan yang berjarak satu jalan jauhnya, kehidupan malam baru saja dimulai—

Menjelang malam, di kedai kopi yang menghadap ke jalan di Distrik Timur, seorang barista yang baru saja selesai melayani banyak pelanggan akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menarik napas dalam-dalam. Tapi sebelum ia bisa merilekskan senyumnya yang kaku kembali ke bentuk aslinya, bel kecil yang tergantung di atas pintu kaca berdenting lagi.

Barista itu harus memasang senyum ramahnya lagi. "Selamat datang."

"Tolong, vanilla latte tanpa kafein."

Pelanggan itu adalah seorang pemuda jangkung dan ramping dengan rambut yang hampir mencapai bahu. Ia mengenakan jas yang kalem dan formal, memakai kacamata berbingkai logam. Bingkai tipis itu menempel di pangkal hidungnya yang panjang dan lurus. Ia menunduk sambil mengeluarkan dompet, rambutnya terayun ke depan di atas dagunya dan menutupi hampir separuh wajahnya. Di bawah cahaya, batang hidung dan bibirnya tampak telah dipulas dengan lapisan kaca pucat. Ia tampak dingin dan tidak bisa didekati.

Semua orang menghargai keindahan. Barista itu tidak bisa menahan diri untuk meliriknya beberapa kali. Ia memulai percakapan, mencoba menebak pilihan pelanggan, "Apa kau ingin vanilla tanpa gula?"

"Tidak. Tolong tambahi gulanya." Pelanggan itu menyerahkan uang pembayaran dan mengangkat pandangannya. Mata barista itu pun bertemu dengan tatapannya.

Pasti karena alasan kesopanan, pelanggan itu tersenyum padanya. Di belakang lensa, matanya agak melengkung, ekspresi hangat dan agak sugestifnya menghancurkan kesan sopan yang ia tampilkan sebelumnya.

[end] Silent ReadingWhere stories live. Discover now