28 ||

157 10 0
                                    

"Kalian tega! Di mana hati nurani kalian sebagai orang tua? Egois," cecar Donald kemudian menyusul kepergian Adel dari hadapan kedua paruh baya yang memikirkan kesenangannya sendiri.

Kecewa dengan semua yang dilontarkan kedua paruh baya itu. Gadis itu begitu merasakan sesak di dadanya, air mata yang sejak tadi Adel tahan di pelupuk mata meluruh ke pipinya. Dadanya sesak, napasnya tersendat, dan seluruh badan yang gemetar. Ia begitu lesu seperti tertampar oleh kenyataan yang menyakitkan.

Tanpa sadar ada sepasang lengan kekar melingkar di pinggangnya.

Yaps, dia Donald.

Memeluk Adel dari belakang dengan erat. Membenamkan wajah di bahu sempit milik gadisnya. Diam-diam pria itu pun sama terpukulnya, berusaha menahan air mata melihat gadisnya menangis berusaha menahan perihnya luka

"Aku antar kamu pulang, ya," bisik Donald membuat hati sang kekasih tenang sementara.

Rumah adalah tempat Adel mencurahkan isi hatinya, terutama dalam kamarnya. Tidak sabar ingin masuk ke kamar dan meluapkan semuanya pada bantal kesayangannya, indra pendengaran Albert sang Kakak menyadari kedatangan Adel Donald melalui suara motor yang terlalu bising.

Gadis itu beranjak memasuki kamar, tadi Donald sempat memberikan beberapa kalimat penenang kepada kekasihnya, namun justru berkebalikan dengan kondisi hati gadis itu sekarang.

Namun sebelum meraih knop pintu, tangannya di cegah oleh Albert.

"Abis nangis? Kenapa lagi Dek?" Sang kakak meraih kedua pipi Adel berusaha menelisik wajah bengkak dan jejak air mata yang membekas di sana.

"Enggak apa-apa, Ka," ucap gadis itu sambil memalingkan muka.

"Gak apa-apa bagaimana? Muka kamu sembab kek gitu? Laki-laki kurang ajar siapa yang buat kamu nangis, hah?!" balas Albert dengan nada meninggi pada akhir kalimatnya.

Mendengar bentakan itu, air mata Adel semakin membanjir, dengan gesit sang kaka menarik bahu sempit Adel lalu memeluknya erat, berusaha menenangkan sang adik.

"Cerita sama Kaka, ya ... Del," pinta Albert sekali lagi membujuk Adel untuk membagi rasa sakitnya kepada sang kakak.

Akhirnya setelah menceritakan hal yang membuat gadis itu sakit hati, Albert seketika speechless terdiam membatu, tidak menyangka sang mama tega merebut kebahagiaan anaknya.

"Kamu tenang dulu ya Del ... nanti Kaka bantu bicara ke mama." Mengeratkan pelukan di kedua bahu sang adik sambil mengelus pelan surainya bermaksud menenangkan Adel dari berita yang pasti mengejutkan batin adiknya.

Terdengar suara pintu terbuka, tanda sang mama—Esther sudah pulang dari rumah Donald. Tanpa menunggu lagi, Albert langsung menghampiri mamanya dan bertanya sesuatu mengenai Adel.

"Mama baru pulang? Dari mana, Ma?" tanya Albert mulai menginterogasi Esther.

"Dari rumah temen," jawabnya singkat.

"Rumah temen? Ke rumah Donald untuk bertemu papanya dan menjalin hubungan di belakang anak-anaknya?" tebak Donald dengan senyum menyeringai.

"Kamu jangan kurang ajar sama Mama, ya!" bentak Esther pada Albert.

"Mama sadar gak? Dengan Mama berbuat kaya gini, sama aja Mama menyiksa anak secara perlahan. Pertama, Mama gak mikirin kebahagiaan Adel yang sudah lama menjalin cinta dengan Donald dan mama hancurkan begitu saja. Kedua, Mama gak minta persetujuan dari aku dan Adel. Atau Mama sekarang sudah gak menganggap kita sebagai anak lagi?" ketus Donald membuat mamanya berpikir.

"Mama melakukan semua ini--"

"Untuk kebaikan Adel? Jelas-jelas Adel sudah lebih baik bersama Donald Ma. Semenjak kepergian Papa, Donald yang selalu ada buat Adel, Ma." Belum selesai Esther berbicara, Albert malah memotong ucapannya dengan penuh tekanan berharap Esther akan mengerti dan memahami.

HELLEVATOR (END)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant