11. Ulang Tahun dan Kematian

5.9K 172 1
                                    

Miya mengeluarkan kue ulang tahun dari pendingin dan membawanya ke ruang tamu.

"🎵Happy Birthday, Mama... Happy Birthday, Mama... Happy Birthday, Happy Birthday, Happy Birthday, Mama...🎵" Miya, Ryan, dan seorang laki-laki tua bernyanyi di hadapan seorang wanita tua yang terlihat berkaca-kaca.

"Terima kasih, sayang..." Ujar wanita tua itu lirih

"Tiup lilinnya, Ma. Jangan lupa berdoa dulu." Pinta Miya

Ibu Miya memejamkan matanya dan berucap hikmat, "Semoga keluarga kita selalu diberi kesehatan. Miya dan Ryan bisa segera memiliki keturunan, dan lancar semua urusannya. Semoga Mama dan Papa memiliki cukup umur untuk melihat kelahiran cucu."

Seluruh orang dalam ruangan itu berucap, "Aamiin..."

Miya tertawa ibunya berusaha meniup lilin namun apinya tidak kunjung mati. Hingga ayahnya harus ikut membantu meniup lilinnya.

Ma, doakan Miya bisa segera keluar dari situasi ini dan bisa memberi Mama seorang cucu, ya. Miya memohon dalam hati.

Waktunya memotong kue, namun Miya lupa membawa pisau kuenya. Miya melihat Bi Ratih sedang membuka pendingin dan mengambil sebotol sirup. "Bi Ratih, tolong ambilkan pisau kue di atas kulkas ya, Bi."

"Oke, Non Miya." Bi Ratih membawa pisau kue dan sebotol sirup itu ke ruang tamu.

Sementara Miya membantu Ibunya memotong kue, Bi Ratih menambahkan sirup dalam es buah. Telepon di saku Bi Ratih berdering namun Bi Ratih tidak mengangkatnya.

"Teleponnya kenapa tidak diangkat, Bi?" Ibu Miya bertanya

"Nanti saja saya telpon balik kalau kerjaan sudah beres, Bu. Sekarang repot kalau nerima telepon." Jawab Bi Ratih

"Oh iya, masih berisik juga ya." Ibu Miya menyerahkan sepotong Kue ke Bi Ratih. "Bi, ini kuenya di makan."

"Terima kasih, Bu." Bi Ratih berdiri dan hendak pergi.

Miya menahan Bi Ratih. "Bibi mau makan di mana?"

"Di dapur, Non."

Miya mendudukkan Bi Ratih di kursi. "Bibi makan di sini saja. Jauh sekali makannya di dapur."

Bi Ratih tertawa, "Aduh, Non. Ini acara ulang tahun Ibu , saya duduk di tengah-tengah nanti mengganggu."

Ibu Miya mengelus tangan Bi Ratih lembut. "Saya senang kok kalau Bibi gabung di sini. Bi Ratih sudah mengurus Miya selama ini. Saya juga sering merepotkan selalu menelpon Bibi tiap Miya tidak mengangkat teleponnya. Terima kasih ya, Bi"

"Oh iya, Ma. Hampir lupa. Kado Mama." Miya mengeluarkan kalung perak yang sudah ia siapkan dan memakaikan ke leher Ibunya

Momen seperti ini menyenangkan sekali. Mereka mengobrol dan membahas kenangan-kenangan kecil. Tak terasa waktu sudah menunjukkan sore hari.

Ibu dan Ayah Miya hendak pulang. Mereka tidak mau menginap dan tidak mau diantar.
"Ryan dan Miya pasti banyak kerjaan, Mama sama Papa tidak mau mengganggu. Papa juga sudah pesan taksi. Baik-baik ya di rumah. Miya yang rukun dengan suami. Papa percaya Miya anak baik." Ayah Miya mengecup kening Miya lembut. Ayah Miya benar-benar orang yang hangat.

Setelah berbenah, Bi Ratih terlihat menelpon di dapur dan Miya tidak mau mengganggu jadi Miya hanya masuk ke kamar dan membaca buku.

Malam hari Miya memeluk Ryan, menikmati setiap kali Ryan mengelus kepalanya.

Pelan-pelan jemari Miya menjelajahi kulit suaminya. Kulitnya yang mulus seperti kulit perempuan. Miya menyukai otot lengan suaminya. Kadang Miya gemas sekali ingin menggigitnya. Hanya saja, otot Ryan di "bawah" sana tidak cukup baik. Seringkali lemas duluan sebelum Miya puas.

Jemari Miya turun ke bawah dan hendak membuka celana Ryan, namun Ryan menahan tangannya. Miya menatap Ryan dengan tatapan bertanya.

"Jangan dulu, Mas sedikit lelah. Kita tidur saja ya ..." Ucap Ryan lirih

Sedikit kecewa, namun Miya tidak bisa apa-apa. Miya tidak mau memaksa, walau Miya sedikit sedih karena mereka jarang sekali berhubungan badan.

******

Pagi ini seperti biasa Ryan berangkat kerja. Karena tidak ada agenda, Miya membagi tugas dengan Bi Ratih. Bi Ratih memasak sedangkan Miya membersihkan rumah.

Seharian ini, Bi Ratih terlihat murung, Miya sudah mencoba bertanya tapi Bi Ratih hanya menjawab, "Tidak apa-apa non. Ada sedikit masalah di kampung, cuma Bibi ga bisa apa-apa. Cuma bisa berdoa."

"Kalau ada yang bisa Miya bantu, jangan sungkan buat ngomong ya Bi." Bujuk Miya.

Bi Ratih terlihat ragu dan akhirnya hanya menjawab, "Iya, Non."

Miya tidak tau masalah apa yang menimpa Bi Ratih saat ini, semoga nanti Bi Ratih mau cerita.

Miya sedang menyapu kolong kasurnya saat mendengar suara beling pecah dari dapur. Setengah berlari Miya menuju dapur dan melihat Bi Ratih terduduk sambil menangis di lantai dapur dengan sebelah tangan memegang handphone. Pecahan piring tersebar di sekitarnya.

Miya menghampiri Bi Ratih sambil menghindari pecahan piring. Pelan-pelan Miya mengelus bahu Bi Ratih. Berusaha menenangkannya. "Bi, Bibi kenapa, Bi?" Bi Ratih tidak pernah seperti ini.

Tangan Bi Ratih gemetar, dan menatap Miya dengan wajah yang sangat menderita. Ia berucap dalam tangisnya, "Anak saya meninggal... Anak saya meninggal... Anak saya meninggal..."


_____________________________

Jangan lupa masukkan ke koleksi agar kalian dapat notifikasi saat ada bab baru. Berikan vote jika kalian menyukai ceritanya. Lalu berikan kritik, saran dan apresiasi di kolom komentar agar aku selalu semangat untuk menulis. Terima kasih. Enjoy in Wattpad. 😊

Poor SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang