20. Kenyataan yang harus diterima

4.6K 159 1
                                    

Mas Ryan ada di suatu ruangan yang tidak berjendela. Mas Ryan mondar mandir, sesekali berteriak dan menggedor pintu.

"Apa ini Alex? Kenapa Mas Ryan ada di sana?" Miya menatap layar di hadapannya lebih dekat. Sepertinya tidak ada luka.

"Aku yang membawanya ke sana. Ini satu-satunya cara untuk mendapatkan videomu." Alex menjelaskan.

Miya berusaha memahami. "Bagaimana hubungannya, mengurung suamiku disana dan mendapatkan video itu, Alex? Aku tidak mengerti."

Alex menyetel sebuah rekaman telepon.

"Dimana Ryan, Brengsek?" Suara Papa

Sebuah suara menjawab, "Ryan aman bersama kami." Suara itu aneh. Sepertinya suaranya telah diubah.

"Sedikit saja kau menyakitinya, aku pastikan kau tidak akan bisa menggunakan tanganmu lagi." Suara papa terdengar sangat marah.

Rekamannya dimatikan.

"Papa mengkhawatirkan Ryan? Kenapa?" Miya memikirkan beberapa opsi, tapi tidak ada yang masuk akal.

Alex terlihat sedih. "Aku sebenarnya tidak tega mengatakan ini, Miya. Tapi kau harus tau." Alex mengambil sebuah amplop cokelat dari lacinya, dan menyerahkan amplop itu pada Miya.

Miya mengambil amplop itu dan mengeluarkan isinya. Setumpuk foto. Foto Mas Ryan dengan Papa. Miya tidak tau harus berkata apa. Ini sangat tidak mungkin. Mereka berpelukan... berciuman... Miya mengambil satu foto dengan tangan bergetar. Papa berdiri dan Ryan memunggunginya, mereka terlihat jelas sedang melakukan anal seks. Ya Tuhan, pasti ada yang salah.

Miya mengamati semua foto dengan seksama. Berharap menemukan sesuatu yang janggal. Ini pasti foto yang sudah dimanipulasi. Tapi foto-foto ini diambil dari lokasi berbeda-beda. Waktu yang berbeda-beda. Dan Miya hafal betul itu memang baju-baju suaminya.

"Maaf Miya, kau pasti syok."

Miya menatap Alex. Air matanya tidak tertahan. "Alex, Ini benar-benar terjadi? Sejak kapan?"

Alex membuang muka, "Aku tidak tau, Miya. Tapi aku yakin semua ini sudah mereka rencanakan sejak awal."

Padahal, selama Miya begitu ketakutan selama ini. Miya selalu ketakutan Mas Ryan akan tau.

"Alex, aku harus bertemu Mas Ryan. Aku harus bertanya langsung padanya. Mungkin dia dipaksa, Alex. Mungkin dia terpaksa melakukan itu semua."

Alex memeluk Miya. "Maaf Miya. Kau pasti terguncang. Maaf aku sangat kejam padamu. Tapi ini kenyataan yang harus kau terima."

Berada di pelukan Miya justru membuat air matanya semakin deras. "Alex, aku harus bertanya langsung padanya."

"Iya Miya... Iya... Kau bisa menanyakan langsung padanya... Tapi nanti ya. Fokus dulu untuk mengambil videomu. Kita selesaikan masalahnya satu-satu."

******

Hari sudah malam. Alex membuatkan kopi susu. Hanya kopi susu instan, tapi Alex harap ini cukup. Tadi Miya menangis berjam-jam. Alex tidak tega melihat Miya menangis seperti itu. Alex juga tidak berpengalaman menenangkan perempuan yang menangis. Alex tidak tau harus berbuat apa.

Alex membuka pintu kamar. Miya masih di sana. Duduk sambil menatap Ryan di layar itu. Alex tidak bisa membayangkan apa yang ada dipikiran Miya sekarang.

"Ini kopimu. Minumlah."

"Thanks, Alex." Miya menyesap kopinya. Sepertinya Miya sudah mulai tenang. Syukurlah. Alex menatap Ryan di layar. Ryan sedang duduk bersandar di dinding. Ryan pasti lelah berteriak seharian.

"Maaf ya, sepertinya aku terlalu kejam. Harusnya aku memberitahumu perlahan-lahan."

Miya menggeleng. "Tidak, Alex. Aku bersyukur aku tau sekarang."

Alex memandang wajah Miya, matanya bengkak. Miya terlalu banyak menangis.

"Kau mau istirahat? Aku akan keluar dan tidak akan mengganggumu. Tidurlah di sini. Aku akan tidur di ruang tamu."

Miya mengangguk.

Alex mengambil remot. "Ku matikan ya? Kau tidak perlu menontonnya sepanjang malam. Besok kita diskusikan lagi."

Miya mengangguk lagi. Miya mengambil bantal dan berbaring memunggungi Alex. Alex membuka selimut, dan menyelimuti Miya. Berharap selimut ini bisa membuat Miya lebih nyaman.

Alex sengaja tidak menutup pintu terlalu rapat. Kamarnya kedap suara, kalau terjadi sesuatu pada Miya, Alex takut tidak bisa menjaganya dengan baik.

Alex mengambil ponselnya, dan berdiskusi dengan Om Dani. Meminta saran untuk langkah selanjutnya.

******

Semalaman, Alex tidak bisa tidur dengan nyenyak. Belum lagi, dari kamar terdengar suara tangisan Miya. Alex sengaja tidak mengganggu Miya. Alex tau Miya butuh waktu untuk menerima ini semua.

Pagi ini, Alex membuatkan sandwich menggunakan bahan seadanya. Sepertinya sandwich pilihan yang mudah karena Alex sama sekali tidak bisa masak. Dan Miya butuh sesuatu untuk di makan.

Miya di sana, menonton live cctv itu lagi.

"Maaf aku hanya bisa membuatkan sandwich." Alex memberikan sandwichnya.

"Tidak apa-apa, Alex. Aku juga tidak terlalu napsu makan."

"Makanlah. Tidak harus kau habiskan, setidaknya hargai aku yang susah payah membuatnya."

Miya menatap piringnya. "Ini hanya sandwich, Alex."

"Ya. Aku tidak berbakat masak sama sekali. Membuat sandwich saja aku harus bersusah payah. Jadi kau harus memakannya."

Alex melihat senyum kecil di bibir Miya. "Baiklah." Miya menggigit sandwichnya.

Miya menunjuk Ryan yang berada di layar, "Kau tidak memberinya makan?"

Alis Alex berkerut. Ada nada pedih di suara Miya, yang membuat Alex ingin memeluk Miya lagi. Alex menahan diri. "Makanannya akan datang sebentar lagi."

Alex memperhatikan ekspresi Miya saat orang suruhannya masuk dan memberikan makan. Nasi dengan lauk lengkap dan segelas air putih. Alex sengaja memberinya menggunakan piring dan gelas stainless. Ini sesuai arahan Om Dani, untuk meminimalisir kecelakaan. Tidak boleh ada beling atau kaca di ruangan itu.

"Bagaimana dengan pekerjaan Mas Ryan? Dikurung di sana, orang akan bertanya-tanya kenapa Mas Ryan tidak masuk kerja hari ini." Miya menunduk. Alex tau, Miya sudah menebaknya. Miya pasti bertanya seperti itu hanya untuk memastikan.

"Dia tidak bekerja, Miya. Beberapa hari menyuruh orang menguntitnya, yang ku tau hanya setelah keluar dari rumahmu, dia langsung menemui muncikarimu. Mereka punya rumah kedua."

Alex menggenggam tangan Miya yang gemetar. Lirih suara Miya terdengar, "Jadi uang pendapatanku melacur pasti dibagi empat kan? Grace, Papa, dan Ryan. Mereka semua tidak perlu bekerja, ada aku yang bekerja untuk mereka."

"Aku rela diperlakukan seperti sampah demi keuangan keluargaku, dan ternyata suamiku sendiri yang menjadikanku seperti sampah." Air mata Miya menetes lagi.

"Sssht... Miya... Sudah... Sudah... Jangan menangis seperti ini..." Alex benar-benar payah. Apa yang bisa ia lakukan untuk menghibur wanita ini.

"Alex, jelaskan padaku. Setelah semua ini, bukankah tidak ada artinya lagi aku hidup? Untuk apa aku hidup?"

______________________________
Follow aku . Berikan vote jika kalian menyukai ceritanya. Lalu berikan kritik, saran dan apresiasi di kolom komentar agar aku selalu semangat untuk menulis. Terima kasih. Enjoy in Wattpad. 😊

Poor SecretsWhere stories live. Discover now