12. Pemakaman

5.4K 191 3
                                    

Sore ini pemakaman anak Bi Ratih berlangsung hikmat. Yang datang banyak, padahal keluarga Bi Ratih bukanlah orang terpandang. Terlihat jelas betapa warga di sini rasa pedulinya sangat tinggi.

Saat berdoa, Miya melihat Bi Ratih berusaha tegar mengikhlaskan anaknya. Saat di dapur tadi, Miya langsung mengambil sedikit uang tabungannya, lalu menelpon Ryan. Bertanya apakah Ryan bisa pulang lebih cepat. Miya menceritakan kondisi Bi Ratih. Tapi katanya Ryan tidak bisa pulang.

Akhirnya Miya menyetir sendiri mengantar Bi Ratih sampai ke kampung. Untungnya perjalanan hanya memakan waktu 5 jam. Bi Ratih masih sempat melihat pemakaman anaknya. Miya sangat merasa bersalah. Kenapa Bi Ratih bekerja kalau anaknya masih sakit? Miya kan pasti memaklumi.

Malam ini pengajian di gelar di kediaman Ibunya Bi Ratih. Bi Ratih tidak keluar kamar sama sekali. Saat pengajian berlangsung, Ibunya Bi Ratih yang sudah renta memanggil Miya ke dapur. Kue-kue sedang dimasukkan ke dalam besek.

"Ada yang bisa dibantu, Nek?"

Tidak menjawab pertanyaan, Ibunya Bi Ratih justru menyuruh orang-orang yang membantu di dapur untuk keluar. Meninggalkan mereka berdua.

"Nak Miya," suara renta itu bergetar saat bicara

"Iya, Nek?"

"Nenek mau Ratih berhenti bekerja dengannu, Nak."

Rupanya ini yang mau disampaikan Ibunya Bi Ratih. Tentu saja Ia kecewa. Rasa bersalah kembali datang.

Miya menggenggam tangan wanita tua di hadapannya. Ibu Miya suatu saat akan setua ini, Bi Ratih harus berada di Ibunya.

"Maafkan Miya, Nek. Gara-gara Miya cucu nenek sampai meninggal." Miya merasa matanya panas.

"Cucu nenek meninggal bukan karena Miya. Cucu nenek meninggal karena sudah waktunya. Tuhan sayang sama cucu nenek, Itu sebabnya dia meninggal" Nenek itu menangis lagi.

Sedikit memohon, nenek itu berucap, "Nenek hanya tidak mau, Ratih terjebak dalam masalah rumah tangga kalian. Karena terjebak dalam masalah kalian, Ratih sampai tidak bisa menemani anaknya di detik-detik terakhirnya."

"Nek, Miya tidak menyuruh Bi Ratih pulang. Miya justru maunya Bi Ratih tetap menemani cucu nenek kalau masih sakit." Miya merasakan sakit di hatinya.

Tapi nenek itu justru mengelus-elus kepala Miya, "Malangnya kamu nak." Ibunya Bi Ratih menangis. Tapi kali ini menangisi Miya. Miya bingung sekali.

"Pergilah ke kamar Ratih, minta ia menceritakan padamu apa yang terjadi sebenarnya."

Ya Tuhan, ada apa ini?

Miya menuju kamar Bi Ratih. Bi Ratih yang melihat Miya datang segera memeluknya. Menangis dengan keras, membuat Miya juga tidak bisa menahan air matanya.

"Non, Bibi Minta maaf, Bibi mau berhenti kerja Non... Bibi mau berhenti kerja..."

"Iya Bi.. " Miya menangis lagi "Tidak apa-apa... Bibi jangan sedih terus ya... Miya tidak apa-apa... Bibi di sini yang sehat, jagain nenek..."

"Non Miya nanti siapa yang jaga... Nanti siapa yang bantu Non di rumah... huhu.." Bi Ratih menangis tersedu-sedu.

Miya menunggu sampai tangis Bi Ratih mereda, lalu menceritakan soal kata-kata nenek di dapur.

"Non, Den Ryan bukan laki-laki yang baik Non."

"Kenapa Bibi berpikir begitu? Mas Ryan kan baik Bi..."

Bi Ratih menggulung lengan bajunya dan menunjukkan memar di pergelangan tangannya. "Waktu Bibi di kampung, Den Ryan nelpon Bibi. Nyuruh bibi kembali kerja. Bibi bilang anak bibi kondisinya memburuk, Bibi belum bisa kerja. Tapi Den Ryan marah-marah katanya Bibi tidak tau terima kasih, Bibi memanfaatkan kebaikan Non Miya. Katanya Bibi cuma ngabisin duit Non Miya." Bi Ratih bercerita sambil terus menangis.

Miya tidak bisa percaya. Miya tidak mau percaya.

"Bibi sudah bela-belain kembali kerja, tapi bibi diancam lagi. Tangan bibi dicengkram, terus di dorong. Katanya bibi sengaja bikin Non Miya curiga."

"Bi, Mas Ryan tidak mungkin begitu," Ryan tidak mungkin begitu. Ryan yang Miya kenal sangat lembut hatinya. Ia tidak mungkin mencelakai orang lain.

"Maaf Non, Bibi harus ceritain semuanya sebelum Bibi ninggalin Non. Kalau tidak, bibi akan menyesal. Non harus tau kenyataannya."

"Non, Bibi tau soal kerjaan Non Miya..."

Apa? Bagaimana mungkin?

"Bibi tinggal bareng Non cukup lama. Tidak mungkin Bibi tidak tau. Bibi juga tau kalo non Miya terpaksa melakukan itu. Bibi sering melihat kertas rincian pengeluaran Non kalo lagi beresin kamar Non. Bibi tau Non Miya kesulitan membiayai Ibu mertua Non."

Miya kaget, dan malu. Bibi saja tau, apalagi Mas Ryan? Tiba-tiba ketakutan yang amat sangat merasuki Miya.

Bi Ratih memandang Miya. "Den Ryan juga tau, Non. Bibi yakin Den Ryan juga sudah tau sejak lama."

"Tidak mungkin, Bi. Kalau Mas Ryan tau kenapa sampai sekarang hubungan kami masih baik-baik saja? Kenapa mas Ryan pura-pura tidak tau?" Kalau Mas Ryan sudah tau, sejak kapan Ia tau? Kenapa Ia masih diizinkan keluar kemarin malam?

"Bibi tidak tau, Non. Saran bibi, Non Miya harus lebih mengenal Den Ryan. Coba Non selidiki Den Ryan benar-benar bekerja jadi kurir apa ngga. Bibi curiga kurir kan panas-panasan, bawa-bawa barang, tapi kulit Den Ryan masih putih mulus begitu."

******

Malam ini Miya langsung pulang, Miya tidak jadi menginap di rumah Bi Ratih. Miya harus tau apa yang sebenarnya terjadi. Apa benar Mas Ryan sudah tau? Kenapa Mas Ryan pura-pura tidak tau?

Jam 3 pagi, Miya sampai di rumah. Mas Ryan tidak ada di rumah. Motornya ada. Kemana Mas Ryan? Apa dia tidak pulang?

Miya menunggu di ruang tamu dan memikirkan banyak hal. Bagaimana Miya tau, Mas Ryan sudah tau apa belum? Tidak mungkin Miya bertanya langsung.

Jam 5 subuh, Miya mendengar suara mobil di depan rumahnya. Miya melihat dari jendela, ada sosok yang sedang berpelukan di dalam mobil itu. Itu Mas Ryan. Sedang berpelukan dengan orang lain. Miya tidak bisa melihat siapa yang dipeluk Mas Ryan. Rasa sakit hati menusuknya. Rupanya ini rasanya di khianati.

Miya masuk kamar, tidak tau apa yang harus ia lakukan. Lama sekali rasanya menunggu Mas Ryan. Mas Ryan pasti tau Miya sudah pulang. Mobil Miya terparkir di luar.

Pintu kamar terbuka dan Mas Ryan menyapa Miya dengan ringan, "Kamu pulang sejak kapan?"

"Belum lama, Mas."

"Oh.." Ada kelegaan di wajahnya

"Mas dari mana?"

"Habis beli bubur kacang hijau di warkop depan. Mas lapar soalnya." Dia menunjukkan sebungkus bubur kacang hijau di tangannya.

Lalu siapa yang mas peluk tadi? Miya tidak berani bertanya.

"Mas, bagaimana kalau Miya berhenti kerja?" Spontan saja kata- kata itu keluar dari mulut Miya

Mas Ryan terlihat sangat kaget. "Kenapa?"

Kalau Mas Ryan benar-benar sudah tau, harusnya Mas Ryan bersyukur Miya berhenti kerja.

"Miya mau jadi istri yang baik, mengurus Mas di rumah. Apalagi Bi Ratih mau berhenti kerja. Mengurus rumah sambil kerja pasti melelahkan."

"Kita kan bisa cari pembantu baru, sayang." Kenapa Mas Ryan lebih suka Miya bekerja? Bukannya Mas Ryan tidak suka Miya kelelahan?

"Mas, Miya benar-benar ingin berhenti kerja."



______________________________
Jangan lupa masukkan ke koleksi agar kalian dapat notifikasi saat ada bab baru. Berikan vote jika kalian menyukai ceritanya. Lalu berikan kritik, saran dan apresiasi di kolom komentar agar aku selalu semangat untuk menulis. Terima kasih. Enjoy in Wattpad. 😊

Poor Secretsحيث تعيش القصص. اكتشف الآن