Ekstra Part: Let It Hurt, Then Let It Go

Start from the beginning
                                    

"Rina! Azrina!" teriak Arya, membuat cewek itu menghentikan aktivitasnya. Diliriknya sekumpulan cowok itu yang memusatkan perhatian kepadanya. Arya yang tadi berteriak sedang memegang kerah kemeja belakang Vino sambil menyengir. "Nih, ada salam cinta dari Vino."

Dalam beberapa detik, Vino dan Azrina saling pandang. Azrina lalu menunduk dan menggigit makanannya dengan pelan.

Vino menepis tangan Arya dengan kasar. Raut wajahnya berubah kesal dalam sekejap. Sementara yang lain tertawa dengan santainya.

Ivana menggeser tubuhnya, mendekat kepada Azrina yang memang duduk di sampingnya sejak tadi. "Eh, eh, Vino kayaknya suka sama lo, deh. Lo perhatiin nggak?"

"Nggak, lah," balas Azrina cepat dan tak nyaman.

"Yakin gue!" Ivana berbisik tertahan dan menahan senyum iseng. "Hayoloh. Pipi lo meraaah."

"Enggaaak! Astaga." Azrina mendengkus sebal dan menyenggol kaki Ivana dengan kakinya. "Urus tuh Arya. Lo kan udah suka sama Arya dari kelas sepuluh. Ngaku aja."

"ENAK AJA! Hih! Amit-amit sumpah!" Lalu Ivana bergidik sampai bulu-bulunya merinding.

"Tenang aja. Arya lagi fokus sama adik kelas, tuh," sahut Agatha.

"Kasihan si adik kelas itu. Jangan sampai masuk ke perangkap si monyet."

"Udah masuk ke perangkapnya kayaknya...."

***

Sudah hampir tengah malam dan seseorang yang Azrina tunggu sejak tadi belum juga muncul. Cewek itu sampai lelah dan menunggu di depan televisi dengan berbaring sembari menyicip kue kering buatannya yang dia buat sepulang sekolah sampai menjelang petang.

Enak, pikirnya. Dia tidak tahu apakah cowok itu akan suka atau justru tidak.

Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 11.30 malam. Azrina menghela napas panjang. Dia bangun dan menutup stoples berisi kue, lalu dirapikannya ke meja. Cewek berambut lurus itu menuju dapur sambil melihat ponselnya. Berpikir, mungkin notifikasinya tidak bunyi.

Azrina: Pulang jam berapa?

Azrina: Rencana makan di luar atau mau gue masakin sesuatu?

Ternyata belum ada balasan. Bahkan masih centang 1. Cewek itu menyimpan ponselnya di meja pantri dan duduk di kursi sambil menopang dagu, menahan kantuk.

"Iya. Gue udah sampai. Berisik."

Azrina terkejut dengan suara itu. Dia melihat seorang cowok sedang membuka jaketnya sebelum mengempaskan tubuh ke sofa. Cowok itu sedang berteleponan dengan temannya. Tak lama kemudian dia mengakhiri panggilan dan melempar ponselnya ke sofa sebelah.

"Lo udah makan?" Masih di kursi dapur, Azrina betanya di jarak yang tak bisa dikatakan jauh.

Vino masih bisa melihat keberadaan Azrina meski dia tidak banyak bergerak. "Udah dikit. Jadi, masih pengin."

"Mau gue masakin sesuatu? Atau beli?" tanya Azrina pelan dan sejujurnya dia ragu. Meski sudah sering memasak untuk Vino, Vino tak pernah berkomentar tentang masakannya. Enak atau tidak.

Vino terdiam sebentar. "Lo udah makan?"

"Udah...," balas Azrina canggung.

Vino memejamkan matanya dan menaruh lengannya di atas wajah. "Masakin gue. Apa aja. Yang enak kayak biasa."

Yang enak kayak biasa. Kalimat itu terulang sampai jantung Azrina rasanya ingin copot. Baru mendengar pengakuan itu membuatnya seperti ini.

Apa saja? Azrina bingung ingin memasak apa. Dia mengutak-atik kulkas dan melihat bahan-bahan sudah semakin menipis. Disaat-saat seperti inilah membuat rasa canggungnya berkali-kali lipat terasa.

Azrina paling tidak bisa memberitahukan perihal bahan yang sudah semakin menipis. Kalau dia mengatakan itu, sama saja dia terang-terangan menyuruh Vino untuk membeli semua bahan makanan. Azrina? Azrina tak punya uang sepeserpun. Semua uang yang mamanya kirim masuk ke rekening pria berengsek itu.

Azrina tak sadar mengepalkan tangan mengingat pria itu lagi.

"Lo ngapain?"

Azrina tersentak sampai dia berdiri dengan refleks dan kepala yang langsung terantuk ujung pintu lemari. Seketika rasa sakit itu menjalan ke kepalanya, membuat Vino spontan memegang kepala cewek itu dengan khawatir.

Azrina menepis kasar tangan Vino dengan refleks. Vino perlahan mundur menyadari dia telah terlalu jauh menerobos teritorial cewek itu.

"Maaf," gumam Azrina sambil menundik dalam.

"Kepala lo."

"Nggak, kok. Cuma kepentok dikit." Azrina buru-buru mulai mengambil bahan makanan apa pun yang tersedia. Sepertinya dia hanya akan membuat omelet.

Vino duduk di kursi menyaksikan aktivitas Azrina. Sudah berapa lama cewek itu tinggal satu atap dengannya di apartemen yang sama? Sudah terhitung bulan dan tidak ada yang tahu apa pun tentang itu baik masing-masing keluarga mereka atau pun masing-masing teman mereka.

Vino menemukan Azrina malam itu dalam kondisi yang berantakan.

Vino sibuk bernostalgia sementara Azrina sejak tadi tak nyaman merasa terus diperhatikan dari belakang. Cewek itu memasak dengan tidak tenang, lalu saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat, dia semakin menahan napas.

"Kalau lo sakit, nggak usah diterusin. Mending beli. Jangan bohong, kepala lo sakit, kan?" tanya Vino, seolah sangat tahu apa yang dirasakan Azrina.

"Nggak, kok. Paling benjol doang...."

Vino pergi. Azrina melirik cowok itu yang berjalan mengambil kain, lalu menuju kulkas dan memasukkan es batu di kain itu. Azrina kembali fokus dengan masakannya saat merasa kepalanya tiba-tiba dingin.

"Kenapa berhenti? Lanjut aja." Vino menahan kain itu di atas kepala Azrina dengan tangannya. "Sori kalau netes. Semoga aja bengkaknya ilang. Nggak tahu ini bagus apa enggak."

Mau tak mau, Azrina membiarkan Vino. Berada di sampingnya terus.

Dan sepanjang itu, Azrina merasa jantungnya semakin tidak sehat.

[]


thanks for reading!

love,

sirhayani

SayangWhere stories live. Discover now