Zack berdiri di sana dengan wajah geram. Jelas sekali ia murka. Namun saat Alec dan Eliano menunggu semburan amarah dari ayahnya itu, Zack justru melengos gusar.

"Ke istana sekarang. Eliana sekarat lagi."

***

"Aku tidak mengerti." Alec menahan langkahnya saat hendak memasuki kamar Eliana. Arabella di dalam sana menemani adiknya itu, sedangkan Alec, Eliano, dan Zack masih berdiri di depan pintu kamar yang tertutup.

"Ugh, sudahlah. Masuk dulu saja." sentak Eliano tidak sabaran. "Urusan itu bisa nanti."

Alec meneleng pada Eliano dan menatapnya datar. "Kau masuk duluan saja. Aku akan menyusul."

Tanpa berbicara apapun lagi, Eliano mendorong buka pintu kamar Eliana dan masuk ke dalam. Pintu tertutup, kini menyisakan Zack dan Alec di luar.

"Apanya yang tidak kau mengerti?" tanya Zack masih dengan suara geramnya.

"Kenapa Eliana bisa ada di sini? Kami tadi sedang mencarinya yang hilang ..."

"Sihirnya meledak lagi," dengus Zack. "Ayah tentu saja bisa merasakannya dan langsung menjemput anak itu."

Alec mengernyit tidak puas. "Bukan itu, tapi---"

"Ayah tahu." Zack menghembuskan nafas dalam. "Nanti kita bicarakan ini. Sekarang kau masuk, Eliana baru saja sadar."

Zack mendorong Alec memasuki kamar. Terlihat Eliana yang berbaring menatap langit-langit kamar dengan sayu. Aliran darah kecil mengalir keluar dari hidungnya dan diseka beberapa kali dengan sebuah kain oleh Arabella. Meski alirannya kecil, namun darahnya tidak berhenti, hanya mampu diseka agar tidak mengotori pakaian dan tempat tidur Eliana.

Eliano terlihat mengomel, tapi wajahnya terlihat seperti merajuk dan tatapan matanya sendu.

"Kenapa kau terus-terusan begini, huh?" omel Eliano. "Apakah kau tidak lelah? Memangnya tidak sakit? Lihat-lihat, kau tidak kunjung berhenti mimisan."

Eliana hanya diam. Tanpa diduga air matanya mengalir.

"Sakit," rintihnya.

Alec yang mendengar itu langsung menegak, kakinya melangkah maju mendekati ranjang Eliana. Eliano mendekat dan duduk di ranjang, sedang Arabella memajukan kursinya lebih dekat.

"Apa yang sakit?" tanya Arabella cemas.

"Sakit semua," keluh Eliana. Ia kemudian terbatuk kecil, serak dan tercekat.

"Kenapa, ya?" gumam Eliana putus asa. Pandangannya kosong dan redup. "Rasanya selalu semakin parah."

Tak ada jawaban. Kamarnya masih hening.

"Aku sebenarnya kenapa?" Air mata Eliana mengalir lagi. "Kalau sudah cacat begini tak mungkin bisa sembuh."

Arabella mengelus rambut Eliana. "Nanti sembuh, Sayang. Tinggal beberapa tahun lagi. Sihirmu akan sempurna di usia 25, ingat?"

"Ibu," Eliana memanggil. Kepalanya perlahan menoleh pada Arabella. "Katakan yang sejujurnya. Aku ... memang tidak bisa sembuh, 'kan?"

"Apa-apaan itu?" sentak Eliano marah. "Kenapa cewek bar-bar sepertimu jadi lembek penuh drama begini?"

"Eliano," Alec menegur pelan.

the CastleWhere stories live. Discover now