. , 26

10.2K 1.4K 544
                                    

Wajah Raksa terlihat sangat kusut. Ia sangat frustasi dengan situasi saat ini. Setelah otaknya diajak berpikir keras, akhirnya Raksa berniat pergi ke Jakarta. Semoga keputusannya saat ini benar, dan dapat menyelesaikan masalah.

Ayel belum mengetahui rencananya ini, wanita itu sedang pergi kuliah. Rencana Raksa pergi ini pun mendadak. Ahhh tidak!! rencana ini tidak terlalu mendadak, sudah terencana, namun dirinya selalu menolak mewujudkan hal itu. Jika saja kondisi tidak semakin parah seperti saat ini, sungguh Raksa tak berniat untuk meninggalkan Ayel di sini.

Berulang kali Raksa melihat jam di tangannya dengan gelisah. Ayel tak kunjung juga datang, padahal waktu keberangkatannya sudah semakin dekat.

"Assalamualaikum.." Ucap Ayel yang baru masuk ke dalam apartemen dengan lemas.

Raksa melihat Ayel dengan pandangan yang sedih.

"Kok lemes gitu. Di kampus ada masalah lagi? Temen-temen kamu belum berhenti bahasnya?" Tanya Raksa terlihat biasa saja, namun keadaan hati sesungguhnya sangat kacau. Raksa tak sanggup melihat Ayel seperti ini. Raksa ingin memaki dirinya sendiri, karena telah membuat wanitanya mengalami hal berat. Apalagi ia akan meninggalkan Ayel. Apa sanggup dirinya membiarkan Ayel dengan kondisi yang tak baik-baik saja Ini sendiri, sudah pasti jawabannya, TIDAK!

Tapi bagaimana?

Keadaan benar-benar terdesak. Berulang kali Raksa merapalkan doa, berharap keputusannya ini adalah yang terbaik.

"Kayaknya emang nggak akan berhenti deh, mas. Semakin parah aja, sampe-sampe hampir satu kelas, dan semua tempat bahas itu." Ucap Ayel cemberut, ia mendudukkan tubuh ke sofa. Belum menyadari penampilan Raksa yang sudah rapi, dan ransel yang sudah siap di bawa itu.

Raksa melihat jam tangannya sebentar. Lalu ia mendekat kearah Ayel. Dipengangnya tangan Ayel dengan lembut.

"Mas tahu, ini semua pasti berat banget buat kamu, kan?" Raksa berucap lirih, berulang kali menguatkan dirinya untuk tidak lemah di depan Ayel. Berulang kali juga ia meyakinkan dirinya bahwa keputusan yang diambilnya ini terbaik. Meski hatinya tak sanggup untuk itu, tak sanggup melihat istrinya mengalami hal-hal yang semakin berat.

"Mas juga tahu banget, istri mas ini wanita yang sangat kuat, dan hebat. Ayel bertahan ya, doakan sebentar lagi masalah ini selesai. Mas paham banget, seberapa sulitnya hidup kamu, seberapa beratnya melangkah pergi ke kampus untuk ketemu teman-teman, dan mendengarkan pembahasan mereka, yang setiap kata saja bisa menyakiti hati kamu. Mas tahu seberapa sulitnya terlihat biasa-biasa saja di depan temen-temen kamu, padahal hati kamu lagi kacau, otak kamu lagi panas, kepala kamu pusing, mas paham banget, ayyy.. makasih ya udah bisa sekuat iniii, mas sayang banget sama kamu, mas bangggaaa banget pokoknya." Raksa menatap Ayel dalam, seolah berusaha menyalurkan kekuatan, dan memperjelas dangan tatapan itu seberapa cinta dan sayangnya dirinya kepada Ayel.

"Massss.." lirih Ayel, ikut memperhatikan Raksa. Hati Ayel bukan semakin baik mendengar ucapan Raksa, malah semakin kacau. Perasaannya menjadi gelisah, seperti ada hal yang mengganjal.

"Mas kenapa deh ngomong gitu." Ayel mengalihkan pandangannya dari Raksa.

"Ayyyy.. lihat mas dulu yukk, balas tatapan mas, denger baik-baik yang mas omongin, resapi dan mas mohon percaya dan selalu pegang omongan mas ya."

"Nihhh.. nihh.. udah liat." Ayel mendekatkan matanya kearah Raksa bercanda. Namun kegiatannya itu terhenti, ketika melihat wajah Raksa yang benar-benar serius, tak seperti biasanya jika Ayel bertingkah konyol akan di balas Raksa jauh lebih konyol.

"Massss." Panggil Ayel panik, ia takutt melihat tatapan Raksa itu.

"Ayyyy.. dengerin mas ya, tolong percaya sama mas, bagaimanapun kondisi ke nanti. Tolong tutup telinga kamu dengan gosip-gosip ke depan yang mungkin akan semakin panas. Kamu harus inget selalu, tanamkan dan rekatkan ingatan bahwa mas," Raksa menunjuk dirinya sendiri.

TITIK KOMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang