Prolog

226 71 60
                                    

Diantara ramainya orang yang berlalu lalang di bandara, terselip dua orang yang sedari tadi diam tak berkutik setelah perbincangan yang cukup panjang. Keduanya saling tatap dalam diam, tak ada yang membuka suara untuk memecah keheningan. Hanya suara riuh yang terdengar ditelinga keduanya. Lelaki itu menatap gadis dihadapannya dengan tatapan sedih, sedangkan gadis dihadapannya saat ini hanya menunduk menahan isakan tangis yang mungkin akan keluar lagi nantinya.

"Apa yang Layla pahami?" tanya lelaki itu membuka perbincangan dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Tatapan dingin dan nada bicara yang serius.

Gadis itu terdiam membisu seakan lupa bagaimana caranya berbicara. Pertanyaan Bima membuatnya berpikir keras untuk menemukan jawabannya. Matanya terus bergerak seiring otaknya berpikir. Pertanyaan yang mampu membuatnya kehilangan semua kosakata yang selama ini ia pelajari. Seakan mempelajari banyak kosakata hanyalah hal sia-sia baginya. Otaknya mencoba tuk merangkai kata-kata yang tepat.

"Layla paham kalo Bima ..." ucapnya menggantung saat mata coklat milik Bima menembus netranya, terlihat jelas kesedihan dari pancaran matanya saat ini. Apa yang sebenarnya Bima sembunyikan darinya?

Layla selalu gugup jika Bima menatapnya lekat seperti itu. Terbesit suatu rasa di hatinya, desiran halus mulai memenuhi rongga dadanya. Layla menggigit bibir bawahnya menunjukkan kegugupannya. Tidak biasanya ia merasakan hal seperti ini di rongga dadanya.

"Kalo?" tanya Bima penasaran dengan penuturan Layla tadi.

"Layla tau kalo Bima sayang sama Layla," ujar gadis itu mantap untuk menyembunyikan kegugupannya. Meski ia tidak benar-benar yakin atas jawabannya yang menurutnya absurd.

"Gak cuma itu, La," batin Bima menatap gadis itu sendu.

"Bima harus pergi sekarang !" tegas lelaki itu megambil ancang-ancang untuk melangkah.

"T-tapi Bima," cegah Layla.

"Bima udah gak punya waktu lagi, Layla," ujar lelaki itu beranjak pergi.

"Bima please," mohon Layla sambil mencengkram erat lengan Bima.

"See you again ..." ucapnya pelan sambil melepas cengkraman gadis itu.

"My dear," sambungnya lirih hingga tak terdengar di telinga gadis itu.

Perlahan ia melangkah menjauh dari gadis itu, sejujurnya ia tidak tega meninggalkan gadis itu disini tanpanya.Tetapi sebisa mungkin ia mengukuhkan hatinya untuk melakukan hal itu. Hatinya memerintahkan untuk tetap tinggal, namun otaknya menyuruhnya pergi.

Sedangkan Layla hanya bisa menangis untuk kesekian kalinya. Air matanya tak mampu tertahan lagi saat melihat seseorang yang ia sayangi pergi meninggalkannya. Pandangannya menyapu sebuah kotak yang ia pegang sejak tadi, perlahan bibirnya bergumam mendapati secarik kertas yang terselip di sana. Air matanya berhenti mengalir, ia menatap kosong secarik kertas dihadapannya, berbeda dengan otaknya yang lagi-lagi harus berpikir keras untuk memahami sejumlah kata yang tertulis di atas kertas itu. Hatinya begitu tertusuk membaca kalimat tersebut.

"Haruskah aku tersenyum karena mengetahui kenyataan ini ?atau haruskah aku menangis karena baru menyadari semua ini ?"pikir Layla.

"Memang benar kata orang, status sahabat tak akan pernah bertahan untuk selamanya, seperti kita. Sepertinya mengharapkan kamu akan kembali saat ini adalah hal yang tak berguna sama sekali."









Hai semuanya! Perkenalkan namaku Zezkya. Nama panjangnya ga usah di sebut kali ya ? Bisa habis satu lembar lebih kalo aku sebutin sangking panjangnya.

Canda hehe :)

Aku menulis cerita ini karena mengikuti event menulis 60 hari yang diadakan oleh ArunikaPublisher.

Mohon doanya ya, semoga aku bisa menyelesaikan challenge ini sampai tuntas.

Salam,

Zezkya FC

Diary Layla [ SELESAI ]Where stories live. Discover now