27 : Last Chance

10.4K 2K 228
                                    

"Masih ada lagi?"

Bitna mengulurkan tangan kanannya, membiarkan Johnny menempelkan plaster di bekas luka cakaran yang terlihat kontras di kulit Bitna. "Yang di muka, mau aku—"

"Nggak."

"Aku bersihin dulu, takut infeksi—"

"Nggak, sakit."

"Kalau kamu tau itu bakal sakit, kenapa harus ngeladenin Jessi? Kamu tau sendiri kan Jessi itu udah nggak waras, nggak perlu kamu tanggapin, Na." Johnny menghela nafas frustasi begitu melihat cengkraman Jessi yang berbekas dan bekas-bekas cakaran yang tercetak begitu kontras di lengan istrinya itu.

"Liat sini!" Johnny menarik lengan Bitna, membuat wanita itu dengan otomatis menghadap padanya. "Kamu yang bilang sendiri, jangan bikin diri kamu terluka , jangan nyakitin diri sendiri. Siapa yang kesakitan? Kamu sendiri. Kalau kamu nggak mulai duluan, Jessi nggak akan terpancing!"

"Jessi yang mulai."

"Kamu yang nyerang Jessi duluan."

"Iya." Bitna mengangguk, tak menyalahkan karena memang faktanya seperti itu. Ia yang melayangkan tamparan lebih dulu, lalu Jessi yang tak terima langsung bangkit dan mulai membalas menyakiti Bitna. Dan keduanya terlibat perkelahian meski tak lama dipisahkan oleh petugas keamanan. Tapi Bitna akui, memang ia yang salah, dan ia yang harus disalahkan. "Aku yang salah. Aku yang duluan nyerang. Aku... nyakitin ibu dari anak kamu ya?"

Johnny mengernyit bingung. Tapi pada detik berikutnya, ia langsung tahu alasan Bitna menyerang Jessi dan berkata demikian. "Jessi bilang apa?"

"Dia bilang kalau dia hamil. Kemarin kalian check up ke dokter kandungan. Dan kamu mau gugat cerai aku?" Bitna mendengus geli, namun sorot matanya yang nanar nyatanya tak sejalan dengan kekehan kecil yang ia lontarkan. "Mana suratnya? Aku tanda tangan di sini, biar kamu puas, biar jalang sialan itu puas. Dari awal ini kan yang kamu mau?"

"Kamu udah janji nggak akan terhasut sama ucapannya Jessi."

Bitna menyandarkan kepalanya ke belakang, duduk dengan nyaman di kursi mobil. Hari ini, Bitna sudah meyakinkan diri untuk tak menangis lagi. Bitna sudah lelah menangis, lelah terus berseteru dengan Johnny, dan ia ingin kembali ke kehidupannya yang dulu.

"Aku harus percaya sama siapa?" Bitna menoleh pada Johnny, masih dengan nafas yang teratur. Ja masih bisa menahan emosinya, membuat dirinya sendiri tenang meski hatinya berkecamuk marah. "Sekarang yang bohong itu kamu atau Jessi?"

"Jessi. Percaya sama aku, Na."

"Kalau aku pilih percaya kamu, aku nggak terhasut ucapannya Jessi, itu artinya aku jatuh di perangkap kebohongan kamu lagi, kan?"

Johnny menghela nafas, sudah mulai frustasi dengan semua ini. "Denger, oke, aku salah. Kemarin aku nggak bilang dan kamu jadi salah paham kayak gini. Di awal Jessi bilang dia hamil, itu bener. Aku bawa Jessi ke dokter kandungan, itu juga bener. Tapi faktanya dia nggak hamil, dia bohong. Kamu bisa tanya dokter yang periksa Jessi, atau tanya petugas yang antar ke rumah sakit. Aku punya bukti kalau Jessi nggak hamil dan itu valid. Sekarang Jessi punya bukti apa? Kamu lebih percaya sama Jessi karena ucapannya yang kedengaran meyakinkan?"

"Na, semua orang bisa bohong, terlepas orang itu pernah bohong atau nggak. Orang baik, orang berilmu, semua bisa bohong. Dan Jessi? Kamu tau sendiri, Na, Jessi itu nggak baik, dia jahat, dia nggak waras, semua yang dia ucapin itu bohong!"

Bitna menganggukkan kepalanya, sekali lagi. Helaan nafas keluar dari bibirnya. Bitna mengerti, sangat mengerti dengan apa yang Johnny bicarakan. "Tapi sayangnya kamu lupa satu hal, orang jahat juga bisa jujur."

[3] Marriage | Seo Johnny ✔ [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang