11 : Restless

12.4K 2.3K 347
                                    

530 votes
90 comments
for next, please?

530 votes90 commentsfor next, please?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ah—pelan, Na!"

Aku nggak menghiraukan ucapan pria dengan wajah lebam di depanku, hanya mengobati luka yang tersebar di wajahnya. Sesekali ia meringis, padahal tanganku sudah sangat hati–hati. "Tahan," ucapku saat menempelkan sebuah plester di rahang pria itu yang kulitnya sedikit mengelupas.

"Sini tangan kamu." Aku meraihnya, lalu beralih pada buku jarinya yang terluka, hampir semua, dari jari telunjuk hingga kelingkingnya. Tanganku bergetar begitu hendak menuangkan sedikit alkohol ke atas kapas. Teringat kejadian satu jam lalu.

"Na, nggak apa–apa?"

Aku mengangguk. "Nggak apa–apa, Gyu."

Salahkah? Secercah rasa berdosa menghantui pikiranku. Ini salah, kan? Seharusnya aku membantu Johnny, pulang bersamanya, mengobati lukanya. Bukankah lebih baik begitu, meski aku harus membohongi perasaanku. Memaafkan Johnny dan kami akan baik–baik saja.

"Makasih, Na," ucap Mingyu, "dan sorry, gue tadi keluar batas ya?"

Aku hanya tersenyum simpul, nggak bisa menanggapi ucapannya.

"Udah malem, lo bisa tidur di atas. Ada kamar yang kosong," ucap Mingyu, "gue tidur di bawah, kalo lo butuh apa–apa bisa ketok pintu kamar asisten rumah tangga gue, yang kamarnya deket tangga."

"Um, aku pulang aja, Gyu." Ucapku, sambil mengambil semua barang–barangku.

"Pulang ke mana?"

"Johnny."

Mingyu menghela nafas, lalu memasang wajah frustasi, seolah disini dialah yang punya masalah. Pria itu merampas semua barang–barangku, kembali menyimpannya di sofa, seperti tadi. "Na, lo masih aja mikirin bajingan sialan yang udah bikin lo kayak gini?" Lagi–lagi dia menghela nafas. "Sehari aja lo di sini, besok lo boleh pulang. Kita nggak tau kan apa yang bakal Johnny lakuin ke lo, setelah kejadian tadi. Ya?"

Aku menggeleng. "Johnny bicaranya emang kurang ajar, tapi nggak pernah main tangan. Kamu tenang aja."

Mingyu menatapku lamat, lalu tersenyum. "Johnny bener–bener nggak layak punya istri sebaik lo, Na. Dia seharusnya bersyukur, bukannya malah sia–siain lo." Pria itu kemudian mengembalikan semua barang–barangku yang sebelumnya kembali ditaruh di sofa. "Gue anterin. Kalo dia macem–macem, telepon ya."

Aku mengangguk. "Iya. Makasih, Gyu."

"Ayo."

Pukul sepuluh malam, aku tiba di rumah. Awalnya Mingyu mau menunggu kalau–kalau saja terjadi sesuatu. Tapi aku melarangnya dan memintanya pulang. Sebelumnya, aku memantapkan hati bahwa semua akan berjalan baik. Tapi begitu kakiku menapak tepat di depan pintu, lagi–lagi aku harus menelan kenyataan pahit bahwa Johnny nggak membutuhkanku. Sepasang heels di depan pintu sudah membuatku yakin bahwa Johnny sudah baik–baik saja.

[3] Marriage | Seo Johnny ✔ [end]Where stories live. Discover now