46 : Bitna's Decision

2.9K 647 73
                                    

Mau up lagi malem kalo rame😋

Mau up lagi malem kalo rame😋

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

⚜⚜⚜

Sakit. Sakit sekali. Rasanya tubuhnya hancur lebur saat berusaha melahirkan buah hatinya ke dunia. Tetes ke sekian air matanya jatuh membasahi pipi wanita itu. Tak ada seorang pun di ruangan itu selain dirinya dan beberapa perawat rumah sakit yang membantu persalinannya. Tak ada sosok suami yang menyemangatinya, tak ada sosok suami yang mengecup keningnya dan berbisik bahwa semuanya akan baik–baik saja setelah ini, bahwa kedua anak mereka akan lahir dengan sehat dan selamat, bahwa berkat kegigihannya melahirkan kedua buah hati mereka ke dunia kehidupan rumah tangga mereka menjadi sempurna.

Tidak ada alasan bagi Bitna untuk tetap kuat. Tidak ada alasan bagi Bitna untuk tetap berusaha mati–matian seperti ini.

Tiga detik terakhir, selain hanya daripada suara deru nafasnya yang menggebu, suara tangisan bayi untuk yang kedua kalinya terdengar menggema ke seluruh ruangan. Bitna menangis tersedu saat sang dokter menggendong bayi kecil yang berlumuran darah. Anak keduanya telah terlahir ke dunia, menyusul sang kakak yang lahir beberapa menit lebih cepat sebelumnya.

"Selamat ya, Bu. Kedua anaknya lahir sehat dan selamat,"

Bitna mengangguk kecil. Bahagia? Jelas. Bitna sangat bahagia atas kehadiran buah hatinya ke dunia. Namun rasa bahagianya tetap terkalahkan oleh sakit hati yang wanita itu rasakan. Tak ada suaminya di sini. Tak ada kabar darinya sama sekali.

⚜⚜⚜

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Johnny yang terlihat sudah lebam. Penampilan pria itu terlihat semakin kacau. Melihat tatapan kecewa dan marah dari kedua orangtuanya, Johnny semakin merasa bersalah. Tanpa sepatah katapun yang terucap dari mulut pria itu, ia melangkah masuk ke dalam sebuah ruangan. Lengannya menarik gagang pintu dengan perlahan, berusaha tak membuat bunyi sedikitpun.

"Na?"

Bitna yang terduduk sembari menggendong salah satu dari putra mereka menoleh. Entahlah, Bitna tak yakin harus bahagia atau marah atas kehadiran Johnny yang sangat–sangat terlambat.

Bitna tak menjawab. Menarik kembali pandangannya, menatap bayi kecil di pangkuannya.

Johnny melangkahkan kakinya, semakin dekat dengan Bitna dan buah hati mereka. Kedua bayi yang kecil dan masih merah itu sukses membuar Johnny menitikkan air matanya, merasa bahagia bercampur haru.

"Na, maaf..." Suara Johnny bergetar. Pria itu terlihat begitu payah. "Ponsel aku tadi—"

"Dari mana?" Bitna menoleh lagi. "Kenapa pipinya?"

Johnny mendudukkan dirinya dengan perlahan di kursi yang ada di sebelah ranjang yang Bitna tempati. Tatapannya jatuh pada bayi yang berada di pangkuan Bitna, tertidur dengan nyenyak tanpa terusik dengan pembicaraan mereka.

"Aku boleh gendong?"

"Aku tanya tadi. Habis dari mana? Kenapa pipinya luka?"

"Ini?" Johnny menyentuh pipinya yang terasa ngilu. "Ditampar Jessi, ditampar papi... kamu mau nambahin? Aku layak ditampar."

Mendengar nama Jessi, Bitna cukup terganggu. Matanya mulai berkaca–kaca, menahan tangis yang semenjak tadi ia tahan. "Oh, ketemu Jessi disaat aku hampir mati ngelahirin bayi–bayi ini? Keterlaluan."

"Ini demi keluarga kita, Na. Supaya Jessi nggak ganggu kamu lagi. Supaya keluarga kita hidup tenang, tanpa ketakutan apapun." Johnny mengusap puncak kepala Bitna dengan lembut. Matanya menatap lekat wanita yang mulai menitikkan air matanya itu. Bahkan hanya dengan menatap wanita itu, Johnny bisa merasakan bagaimana sedih dan sakit yang istrinya itu rasakan. Tentu saja semua luka itu berkat ulah Johnny sendiri. "Setelah ini, Jessi nggak akan ganggu kita lagi. Kita nggak akan berhubungan lagi sama Jessi. Kita bebas. Kita bisa bahagia, Na."

"Oh ya?"

Johnny mengangguk dengan yakin. "Semuanya selesai. Aku janji nggak ada yang ganggu keluarga kita lagi."

Bitna menyeka air matanya. Nafasnya kembali berhembus dengan teratur. Sebenarnya, Bitna tak peduli dengan apa yang Johnny ucapkan. Semua itu semata–mata hanyalah janji manis yang kemudian menjadi kenyataan pahit, lagi dan lagi. Bitna tak mau berekspetasi.

"Anak kita dua–duanya sehat," ucap Bitna pelan. Senyum tipis terbit di wajahnya yang sendu. "Kalau aku udah pulih bisa langsung dibawa pulang."

Johnny ikut tersenyum. Ia lega melihat respon Bitna yang seperti ini. Rasanya seperti melihat sebuah masa depan untuk keluarganya kelak. Semuanya telah selesai, termasuk Jessi yang Johnny jamin tidak akan mengganggu kehidupannya lagi.

"Mau coba gendong?"

Johnny mengangguk.

"Jangan yang ini," ucap Bitna sembari menjauhkan bayi yang ada di pangkuannya. "Yang satunya. Kasian."

Johnny terkekeh pelan. Pria itu beranjak dari tempat duduknya dan meraih buah hatinya yang satu. Bayi itu terlihat terlelap dan sedikit terusik saat Johnny menggendongnya. Namun, untungnya tak sampai menangis.

"Yang lahir duluan yang mana?"

"Kata dokter, yang ada tanda lahir di tangan. Cuma beda sepuluh menit."

"Yang ini ya? Dia kakaknya." Lagi–lagi, tanpa alasan yang jelas pria itu kembali menitikkan air mata. Meski sudah ditahan sekuat mungkin, sampai kedua bahunya bergetar, air mata pria itu tetap jatuh tak tertahankan. "Maaf ya, Nak, Papa nggak ada di sini waktu kamu lahir."

Lengan Bitna bergerak meraih kain kemeja Johnny, menariknya perlahan sampai pria itu menoleh ke arahnya. "Sambil duduk," ucap Bitna, khawatir jika anaknya terjatuh saat Johnny terisak seperti ini. "Duduk disini."

Johnny mengikuti arahan Bitna, mendudukkan dirinya dengan perlahan di atas kursi tanpa membuat bayi di pangkuannya terusik. Pria itu tak lagi bisa berkata–kata, ia hanya menatap buah hatinya dengan segenap kehangatan yang ia punya sebagai bentuk kasih sayangnya yang teramat.

"Mami sama papi masih diluar?"

Johnny mengangguk kecil sebagai respon.

"Mereka yang anter aku ke rumah sakit," tukas Bitna. "Aku sempet telepon kamu, tapi yang angkat orang lain."

Johnny terdiam pelan. "Junmyeon," lirih pria itu. "Ponsel aku ketinggalan waktu ketemu sama Junmyeon. Maaf ya, Na."

"Dia juga yang kasih tau kamu kalau aku di sini?"

Johnny mengangguk.

Hening lagi. Johnny kembali menundukkan kepalanya, menatap bayi dipangkuannya dengan mata yang berkaca–kaca. Tangisnya telah berhenti sepenuhnya. Johnny mulai bisa mengendalikan dirinya lagi.

"Nggak usah diliatin gitu, nggak akan hilang," sahut Bitna tiba–tiba.

Johnny terkekeh pelan. Lagi–lagi, responnya hanya berupa anggukan kepala.

Dari apa yang Bitna amati, rasanya baru kali ini ia melihat Johnny dengan ketulusan yang terlihat begitu nyata. Pria itu terus menatap bayi kecilnya dengan senyum dan kehangatan yang terpancar begitu besar. Senang rasanya melihat pemandangan seperti ini. Bitna benar–benar merasakan atmosfer bahagia yang begitu tebal mengeliling mereka.

"Johnny..."

"Hm?"

"Ada yang perlu kita bicarain."

Sayang sekali, tampaknya Bitna harus menyudahi semua kebahagiaan yang ia rasakan saat ini. Setelah mempertimbangkan banyak hal, Bitna yakin akan tekadnya.

Johnny mengangguk dengan semangat. "Iya. Nama anak kita—"

"Bukan." Bitna menyela dengan cepat. "Perceraian kita."

⚜⚜⚜

[3] Marriage | Seo Johnny ✔ [end]Where stories live. Discover now