36 : This Should be Good News

8.5K 1.5K 276
                                    

Bitna terbangun dari tidurnya

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Bitna terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap perlahan, berusaha mengimbangi intensitas cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden. Matanya langsung menjurus ke satu arah, tepatnya ke sebuah sofa panjang yang terletak di sebelah kanan tempat tidurnya. Di sana, Bitna tak mendapati Johnny. Selimut yang biasa pria itu pakai untuk tidur sudah terlipat dengan rapi di tepi sofa. 

Bitna lantas melirik jam dinding dan mendapati bahwa saat ini sudah pukul setengah enam pagi. Tanpa memikirkan banyak hal, ia lantas bergegas dari tempat tidur dan mengambil handuk yang selalu ia gantungkan di belakang pintu. Wanita itu bergeming sementara waktu saat lengannya menggenggam knop pintu kamar mandi, memikirkan banyak hal yang terus menggerayangi kepalanya. Bitna benar-benar frustasi atas semua permasalahan di dalam kehidupannya akhir-akhir ini. Ia hanya bisa melarikan diri dan berharap semua selesai begitu saja. Menjadi orang dewasa ternyata tak semenyenangkan saat dulu ia membayangkannya. Hidup mandiri, mempunyai orang yang dicinta, menikah, memiliki anak, dan hidup bahagia selamanya; nyatanya semua tak berjalan semulus itu.

Bitna hanya bisa tertawa saat mengingat diriny yang bodoh karena ingin cepat-cepat beranjak dewasa tanpa tahu bagaimana kejamnya cara kerja dunia.

Cklek!

"AH!" Bitna memekik kuat karena terkejut saat melihat Johnny di dalam kamar mandi. Pria itu mengunggingkan giginya yang tertutupi busa, tengah menggosok giginya. "Sebentar," ucap Johnny, lalu menyudahi kegiatan menggosok giginya. Setelah berkumur-kumur, pria yang hanya memakai celana pendek itu keluar dari kamar mandi, mempersilahkan Bitna masuk ke dalam. Namun, sebelum Bitna benar-benar masuk, Johnny menyahuti nama wanita itu. "Na!"

Bitna menoleh ke belakang. Tak menggubris, hanya menatap Johnny dengan pandangan bertanya-tanya. 

"Aku pulang besok," ucap Johnny, yang kemudian tersenyum kecil sebelum melanjutkan ucapannya. "Kamu nggak perlu pulang dan dateng ke ke pengadilan kalau mau, nanti aku cari pengacara untuk ngewakilin."

Bitna terdiam cukup lama, menatap pria yang masih menjadi suaminya itu tepat pada manik hitamnya. "Iya," ucapnya, "kamu atur aja." Bitna lantas masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Johnny yang masih terlihat berharap ada satu kesempatan lain untuknya. Johnny tak mau semuanya berakhir secepat ini.

Pria itu langsung mengenakan pakaiannya, mengambil koper, memasukkan pakaiannya ke dalam sana, dan menyisakan sepasang untuk ia kenakan esok hari. Semua barang-barang perlengkapan--selain pakaian--yang Johnny bawa pun dimasukkan ke dalam koper.  Ia membereskan semuanya tanpa terkecuali karena tak ingin kerepotan di hari keberangkatannya untuk kembali pulang ke rumah. Jadi, besoknya Johnny hanya perlu menggiring koper miliknya berserta semua penyesalannya dan hidup dengan rasa bersalah di tempatnya.

"Jam tangan..." Johnny mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari jam tangan yang selalu ia pakai kemana-mana. Terakhir kali, Johnny menyimpannya di atas nakas, tetapi hari ini benda itu tak terlihat di sana. Matanya dengan cermat memeriksa ke segala tempat, termasuk sela-sela sofa tempat ia tidur sehari-hari. Namun, hasilnya nihil. Matanya kini beralih ke nakas di sebelah tempat tidur Bitna. Untuk kali kedua, Johnny mencari jam tangannya di sekitar sana karena ia yakin meletakkan benda itu di  atas nakas. Kali ini fokusnya jatuh pada sebuah laci di nakas tersebut. Tanpa ragu-ragu, Johnny membukanya, dan ya--ia menemukan jam tangannya.

[3] Marriage | Seo Johnny ✔ [end]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora