14 : You're More

13.2K 2.4K 407
                                    


550 votes
100 comments
for next, please?

550 votes 100 commentsfor next, please?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Johnny!"

"Hm?"

"Bangun dulu," ucap Bitna, seraya mengguncangkan tubuh suaminya. Wanita itu melirik pintu yang masih diketuk, lalu kembali melirik pria yang masih tertidur dengan pahanya sebagai tumpuan. "Ada yang ketul-ketuk pintu."

"Siapa?" tanya pria itu.

"Nggak tau. Pintunya kenapa kamu kunci segala?"

"Biar nggak ada yang ganggu," ucap Johnny, yang kemudian meregangkan kedua lengannya ke atas, "sebentar, saya buka—"

"Tunggu!" Potong Bitna, seraya menahan lengan Johnny yang hendak pergi. "Rambutnya," ucap wanita itu sambil menunjuk rambut pria di sebelahnya yang sangat berantakan. Pria itu berdehem, lalu mendekat. Menumpu kedua tangannya ke sisi tempat tidur dan sedikit menunduk. "Tolong."

Walaupun sedikit ragu, Bitna tetap melakukannya. Dengan perlahan ia merapikan surai hitam Johnny dan menatanya agar lebih enak dipandang. Sikap Johnny yang seperti ini yang membuat Bitna bingung. Johnny ini sebenarnya bagaimana? Terlihat seolah bergantung dan tulus pada istrinya, tapi tak membiarkan wanita itu berharap. Pemikirannya tak bisa ditebak.

"Udah."

Johnny mengangguk pelan, lalu berjalan menuju pintu dan membukanya. Rautnya yang semula terlihat santai berubah sedikit mengeras, Bitna bisa melihat itu. Tapi tak lama, karena sebuah senyum terukir di wajahnya. "Papa?" ucap Johnny, sambil tersenyum ramah pada pria yang dipanggilnya papa. "Ayo, masuk."

Helaan nafas terdengar saat Bitna melihat dua sosok yang membuatnya jadi gelisah. Sosok pria yang mengaku sebagai papanya, yang tentu saja datang sepasang dengan ibu angkatnya. Pria paruh baya itu menghampiri Bitna, tersenyum, seraya mengelus puncak kepala Bitna yang kini hanya menunduk diam. "Papa denger dari besan, kamu masuk rumah sakit. Kenapa nggak kasih kabar ke Papa?"

"Maaf," cicit Bitna. Wanita itu memasang senyum di wajahnya, menatap sang Papa dengan tulus. "Aku belum pegang ponsel hari ini. Dan lagi, aku kan nggak punya nomor Papa."

Johnny yang awalnya hanya diam kini ikut bicara karena ia rasa ucapan Bitna terdengar sedikit memancing perkara. "Maaf, Pa. Tadi saya lupa, jadi cuma kasih kabar ke Papi Mami. Lain kali saya kabarin ke Papa kalau ada apa-apa."

"Iya, nggak apa, John."

"Bitna kenapa sampai masuk rumah sakit?" Tanya wanita di sebelah Papa Bitna, seseorang yang seharusnya Bitna panggil dengan sebutan mama.

"Kurang istirahat aja, Tante."

Mendengar itu, Papa Bitna kembali menyuarakan diri. "Mama, Bitna. Bukan Tante," ucapnya.

Lagi-lagi, Bitna menghela nafas. Mulai jengah dengan pembicaraan dirinya dengan sang Papa yang hanya omong kosong. "Papa lupa aku pernah bilang apa waktu itu? Mama aku udah meninggal."

"Johnny, bisa tinggalin kami bertiga dulu? Papa perlu bicara sama Bitna."

Johnny melirik Bitna yang matanya terlihat berkaca-kaca. Terlihat dari rahangnya yang mengeras, sepertinya kali ini Johnny tak menghendaki Bitna kembali diperlakukan seperti waktu lalu oleh papanya. ..., saya lindungin kamu dari Papa. Sepertinya sekarang adalah saat yang tepat, pikir Johnny. Pria itu kembali memasang senyum di wajahnya dan berjalan mendekat ke tempat tidur Bitna, bukan malah keluar ruangan sesuai dengan arahan Papa Bitna.

"Maaf, Pa, tapi kan sekarang saya bagian dari keluarga. Jadi saya pikir saya juga perlu tau Papa dan Tante mau bicara apa sama istri saya." Pria itu melirik Bitna. "Ya, kan, Na?"

Bitna mengangguk, terlihat tak keberatan. "Iya, Johnny di sini. Papa mau bicara apa?"

Wajahnya terlihat geram, buru-buru Haeri—wanita yang kini resmi menjadi istri dari Papa Bitna—menahan lengan suaminya agar tidak bertindak keluar batas di rumah sakit.

Helaan nafas keluar dari pria paruh baya itu, sebelum ia memulai pembicaraan. "Papa nggak suka cara kamu nggak menghargai istri Papa," ucapnya, tegas, "bagaimana pun, Haeri itu sekarang mama kamu. Kamu harus sopan, Bitna!"

Bitna hanya menunduk, diam. Bicara pun sepertinya ia akan tetap disalahkan. Jika membela diri, kesannya ia hanya mencari alasan.

"Bitna butuh waktu, Pa." Johnny yang bicara kali ini. "Bitna kehilangan sosok mamanya dari kecil dan tiba-tiba Papa muncul dengan istri baru Papa, Bitna pasti syok. Jadi tolong pengertian Papa, istri saya butuh waktu untuk adaptasi."

"Sampai kapan?" Balas Papa Bitna, yang kini menatap Johnny dengan raut kesalnya. "Papa udah kasih tau sebelumnya kan, Papa nikah lagi, Papa punya istri baru, dan kamu punya Mama angkat. Tapi kamu masih aja bersikap nggak sopan, Bitna. Kakek nenek kamu di sana nggak ajarin kamu sopan santun?!"

"Nggak usah bawa-bawa kakek nenek! Seharusnya Papa berterimakasih sama kakek nenek, karena udah ngerawat anak yang Papa telantarin!" Bitna mulai terisak. "Papa emang nggak tau malu, ya?"

"Bitna! Jaga ucapan kamu—"

"Pa," Johnny menginterupsi, "Bitna lagi sakit, tolong jangan bentak–bentak. Dan tolong jaga sikap, ini di rumah sakit. Suara Papa bisa bikin orang lain terganggu." Pria itu kemudian berjalan menuju pintu dan membukanya lebar-lebar. "Bitna harus istirahat sekarang, Papa dan Tante bisa ke sini lagi lain waktu," ucap Johnny, dengan nada tegas.

Decakan yang cukup keras terdengar, sebelum Papa Bitna yang sudah diambang kemarahan dan istrinya itu memutuskan untuk keluar dari sana tanpa pamit. Amarahnya sudah terlanjur naik ke ubun-ubun, karena diperlakukan tidak baik di sana.

Sementara itu, setelah kepergian mertuanya, Johnny segera menutup pintu dan menguncinya kembali. Jujur saja, Johnny juga muak dengan pria paruh baya yang satu itu. "Seharusnya tadi saya nggak buka pintunya," ucap pria itu, bermaksud berbicara dengan istrinya. Tapi bukannya mendapatkan balasan, Johnny hanya mendengar isakan yang kian mengeras.

Pria itu menghela nafas, melihat Bitna yang lagi-lagi menangis. Kedua telapak tangannya menutup wajahnya yang dibasahi air mata. Suaranya teredam, tapi samar-samar masih terdengar.

"Na," panggil Johnny, yang kini sudah duduk di tepi tempat tidur wanita itu.

"K-keluar."

Johnny menghela nafas. Lagi-lagi ia bertindak melawan arus, karena sekarang ia mengabaikan ucapan Bitna. Pria itu menarik kedua tangan Bitna perlahan, membuat wajah yang telah basah sepenuhnya itu terlihat oleh mata telanjang milik Johnny. Ia kemudian menarik tubuh istrinya masuk ke dalam dekapannya, mengusap puncak kepalanya seolah perasaannya tulus. Berbisik, bahwa Bitna tak sendiri di sini dan kapanpun bisa berbagi dengannya.

"Kamu bisa nangis sepuasnya sekarang," ucap Johnny, yang masih mengelus surai hitam Bitna yang terurai, "saya di sini."

Johnny ada di sini, tapi hatinya tidak.

Seberapa besar kehangatan yang Johnny pancarkan dan ucapan-ucapan Johnny yang membuat Bitna tenang saat ini, tetap saja hanya ada satu yang menghantui pikiran Bitna. Hanya satu yang membuatnya selalu berpikir keras, tentang bagaimana sebenarnya jalan berpikir Johnny. Bagaimana sebenarnya perasaan pria itu. Na, saya udah bilang kan dari awal, jangan berharap sama saya. Jangan sampai jatuh hati sama saya, karena saya sama sekali nggak ada perasaan sama kamu. Johnny meminta Bitna tak berharap, tapi malah memberi panggung. Membuat wanita itu kembali tak punya pendirian kuat.

"Papa kamu brengsek, ya," gumam Johnny.

Sempat terdiam beberapa saat, Bitna menetralkan deru nafasnya sebelum menggubris ucapan pria yang masih memeluknya itu. "...kamu lebih."

"Iya, maaf."

⚜⚜⚜

Huaaaa,,, gimana nih???

[3] Marriage | Seo Johnny ✔ [end]Where stories live. Discover now