Mengenai segala hal tentang Shotaro, Jaemin mencoba untuk menahan dirinya dan tidak bertanya pada Jeno hampir tiga hari ini. Dia terus berusaha menenangkan dirinya sendiri. Sebagai seorang pria, dia tidak boleh bersikap terus khawatir seperti itu. Tapi nyatanya di dalam hati Jaemin merasa terus terganggu.
Dan saat ini, Shotaro tengah duduk di kursi yang seharusnya merupakan tempat Jaemin duduk. Dia sibuk membicarakan sesuatu dengan Jeno. Sedangkan Jaemin kini duduk di kursi belakang, masih terus menatap ke arah mereka berdua yang berada di depannya, merasa terganggu.
Jeno biasanya selalu bersikap dingin ketika bersama orang lain, tapi kenapa ketika dia tengah mengobrol dengan Shotaro, Jeno terlihat lebih bersahabat?
Dan 'kebetulan' hari ini mobil Shotaro tiba-tiba rusak. Akhirnya Jeno menawarkan untuk mengantar Shotaro pulang. Tapi di mata Jaemin, Shotaro sengaja melakukannya.
Entah dari sudut manapun Jaemin melihat Shotaro, tidak bisa dipungkiri kalau pria itu benar-benar memiliki wajah yang menarik. Seperti wajah seorang wanita. Shotaro seperti memiliki kualifikasi untuk menjadi seorang uke kualitas terbaik. Dan dia terus saja tersenyum ke arah Jeno. Tetapi saat Shotaro bertatapan dengan Jaemin, dia akan terlihat seperti ingin membunuhnya.
"Tunggu sebentar di sini. Aku akan mengambil beberapa dokumen di kantor." Jeno beranjak keluar dari dalam mobil.
Saat ini di dalam mobil hanya tinggal mereka berdua. Jaemin bisa merasakan kalau suasana terasa tegang. Jaemin berpura-pura bermain game di ponselnya. Dia mencoba untuk mengabaikan suasana canggung yang ada.
"Tak perduli sebanyak apapun aku memikirkannya, aku masih tidak mengerti kenapa Jeno bisa menyukaimu."
"Ini sudah kedua kalinya kau mengatakan hal seperti itu." Sejak awal Jaemin sudah tidak menyukai Shotaro, kini dia semakin tidak menyukainya.
"Jeno meninggalkan perusahaan pusat begitu saja. Dia menyerah untuk mengurusnya dan malah memilih untuk mengurus perusahan cabang. Ku pikir orang yang dia sukai kali ini pasti adalah seseorang yang begitu istimewa, tapi ternyata, begitu mengecewakan. Ternyata kau lah Na Jaemin—" Shotaro mengalihkankan tatapannya pada Jaemin. "—-yang bisa kulihat, kau bahkan tidak lebih baik daripada aku."
Jaemin tidak membalas perkataan Shotaro. Karena semua yang pria itu katakan benar adanya. Pria ini benar-benar seperti rubah.
Shotaro dengan sengaja mengabaikan ekspresi sedih diwajah Jaemin dan melanjutkan perkataannya.
"Terakhir kali yang aku tahu, banyak orang yang bahkan terlihat lebih baik dari aku yang mengejar-ngejar Jeno, tapi dia tidak memperdulikan mereka. Tidak pernah kusangka bahwa saat ini dia memilih pria seperti kau. Aku sungguh merasa kasihan padanya."
Ternyata benar apa yang Jaemin duga sebelumnya, mereka berdua sudah saling mengenal sejak lama. Bahkan keduanya seperti sudah saling memahami dibandingkan Jaemin dengan Jeno. Selama Jaemin bersama Jeno, dia belum pernah sekalipun mendengar mengenai Shotaro. Apa Jeno menganggap dirinya seperti orang asing? Jaemin mencubit tangannya sendiri. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Setelah terdiam cukup lama akhirnya Jaemin pun mengatakan sesuatu.
"Kau bukan Jeno. Bagaimana kau bisa mengatakan kau merasa kasihan padanya?"
"Na Jaemin, seberapa banyak kau mengetahui soal masa lalu Jeno?"
Merasa seperti dirinya diingatkan, Jaemin terdiam. Jaemin benar-benar tidak tahu apapun soal masa lalu Jeno. Karena Jaemin tidak pernah bertanya sebelumnya. Dan Jeno juga tidak pernah menceritakan apapun padanya. Selain soal kedua orang tua Jeno, Jaemin tidak mengetahui sedikitpun soal masa lalunya. Jaemin benar-benar tidak tahu apapun.
Jaemin menggantungkan kata-katanya.
🐁🐁🐁
Jeno tidak mengatakan apapun, dia mendengarkan Jaemin yang berkata cukup banyak. Jeno bisa melihat ekspresi di wajah Jaemin yang terlihat sedih. Jeno menekan puntung rokoknya ke asbak, duduk di atas sofa lalu menyalakan televisi.
"Hanya karena hal sepele seperti itu kau marah?"
"Hal sepele? Itu bukanlah hal yang sepele! Kau... kau..." Jaemin yang sedang marah merasa sulit untuk berbicara.
"Kau... kau.... Apa yang kau?"
"Apa kau tidak mendengarkan apa yang aku katakan tadi? Apa karena aku sudah memergokimu lalu kau ingin mengelak? Katakan padaku, apa Shotaro inilah yang akan menghancurkan hubungan kita berdua nantinya? Rubah licik itu."
Ekspresi di wajah Jaemin terlihat campur aduk karena perkataan seriusnya tadi dianggap sepele oleh Jeno. Jaemin nyaris terlihat seperti akan menangis.
Jeno menepuk-nepukkan tangannya di tempat kosong disebelahnya. "Kemarilah, aku akan mengatakan padamu kenapa aku menganggap hal itu persoalan sepele."
Jaemin menurut dan duduk di sebelah Jeno.
"Pertama, benar kalau aku memperlakukan Shotaro berbeda jika dibandingkan dengan pegawai lainnya—" belum selesai Jeno bicara, Jaemin sudah langsung melompat bangun dari sofa.
"Inilah yang tadi aku katakan, apa yang akan kau katakan selanjutnya... Tidak! Aku tidak akan sanggup menanggung stres seperti ini."
Jeno sekali lagi menarik Jaemin untuk kembali duduk.
"Dengarkan aku dulu. Shotaro adalah temanku sejak masih kecil di Busan. Ayahnya adalah pegawai di kantor Ayahku, karena itulah kami berdua sudah saling mengenal sejak kecil. Dan soal semua hal yang sudah terjadi di masa lalu itu, aku pikir tidak ada hal penting apapun yang harus aku ceritakan padamu. Memang benar kalau dia tahu banyak mengenai masa laluku dulu, lalu kenapa? Sekarang kau lah satu-satunya orang yang tahu semua tentang diriku dan juga segala hal yang akan terjadi nanti kedepannya. Kau merasa kalau aku menganggapmu seperti orang asing? Apa orang asing akan mau memberikanmu uang saku setiap hari? Apa orang yang menganggapmu sebagai orang asing akan tidur bersamamu setiap malam? Apa orang asing akan bersedia mengantar dan menjemputmu kerja setiap hari? Dan hal yang terakhir, jika dia memang terlihat lebih menarik daripada kau, tapi bukankah aku sudah pernah mengatakan sebelumnya padamu— Jika aku hanya menyukai seseorang dari tampilan luarnya, maka aku tidak akan memilihmu sejak awal."
Perkataan Jeno terdengar lembut dan menenangkan. Tapi sikapnya saat mengatakan hal itu tidak benar, Jeno terlihat sibuk mengganti-ganti siaran televisi. Matanya tidak menatap ke arah Jaemin, tetapi ke layar TV.
"Kalau begitu, kau tidak pernah sekalipun menyukainya?"
"Kenapa aku harus menyukainya? Jika aku benar-benar ingin mencari seseorang yang berwajah cantik seperti dia, lebih baik aku langsung saja mencari seorang wanita. Untuk apa aku memilih dia?"
"Tapi tadi dia mengatakan kalau kau menolak untuk mengurus perusahan besar milik Ayahmu, dan dia juga mengatakan kalau sebelumnya banyak orang yang lebih menarik daripada aku tetapi kau malah memilih bersama denganku. Dia bilang dia merasa kasihan untukmu."
"Bocah itu. Dia sudah bicara terlalu banyak! Aku hanya tidak ingin mengurus perusahaan Ayah, tapi aku tetap masih memiliki sahamku disana. Apa yang perlu aku sesali? Dan soal mereka yang mengejar-ngejarku, apa yang bisa aku lakukan? Begitu banyak orang yang menyukai priamu ini diluar sana, aku tidak bisa melakukan apapun."
Jeno membantu Jaemin menjawab setiap pertanyaan yang mengganggunya. Jaemin mendengarkan dengan seksama. Kenapa ketika Jaemin sudah mendengarkan penjelasan dari Jeno, dia mulai merasa kalau persoalan itu sebenarnya hanya persoalan sepele?
Kenapa tadi dia begitu marah? Jaemin sendiri pun lupa kenapa.
Jaemin kini merasa lebih tenang dan santai dari pada sebelumnya. Walaupun dia tidak tahu bagaimana dengan Shotaro, tapi setidaknya Jaemin tahu kalau Jeno tidak tertarik dengan pria itu. Sambil berpikir seperti itu, semua kekhawatiran dan kesedihan Jaemin lenyap. Jaemin pun beranjak bangun dari sofa.
"Aku akan memasak makan malam untuk kita."
Sambil berkata seperti itu, Jaemin terkikik senang menuju ke dapur. Jeno memanggil Jaemin tetapi tetap dengan pandangannya yang kearah layar TV.
"Na Jaemin, jangan selalu membandingkan dirimu dengan orang lain. Karena bagiku, kau lah satu-satunya yang paling istimewa. Hanya alasan itu saja sudah membuatmu menang dibandingkan lainnya."
Jaemin tidak mengatakan apapun lagi. Dari sejak dia mulai memasak hingga selesai, Jaemin terus menyanyi nada-nada bahagia di dapur.
Tbc~
[ piceboo & Angelina, 2020 ]