RavAges

Galing kay E-Jazzy

1.1M 110K 44.4K

[Completed Chapter] Pada kepindahaannya yang ke-45, Leila kabur dari rumah. Dia melihat kacaunya dunia, serta... Higit pa

Keset Kaki
#1
#2
Guide to RavAges
#3
#4
#5
#6
#7
#8
#9
#10 - #29
#30
#31
#32
#33
#34
(~‾▿‾)~Check Point~(‾▿‾~)
(~‾▿‾)~Worldbuilding~(‾▿‾~)
#35
#36 - #51
#52
#53
#54
#55
#56
#57
#58
#59
#60
#61
Kalian Question, Saya Answer
Kalian Masih Question, Saya Tetap Answer
#62
#63
#64
#65
#66
#67
#68
#69
#70
#71
#72
#73
#74
#75
#76
#77
#78
#79
#80
#81
#82
#83
#84
#86
#87
#88
#89
#90
#91
#92
#93
#94
#95
#96
#97
#98
#99
#0
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- Tiga Tahun di RavAges -
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- QnA yang Terlambat 7 Bulan -
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- PO Buku & Readers' Gallery & Fun Facts -
ˎ₍•ʚ•₎ˏ MARI WAR ˎ₍•ʚ•₎ˏ
ˎ₍•ʚ•₎ˏ MARI WAR LAGI ˎ₍•ʚ•₎ˏ

#85

9.5K 1.3K 1.1K
Galing kay E-Jazzy

| RavAges, #85 | 4559 words |

SABANG MENJEMPUT kami dengan mobil sedan yang entah didapatnya dari mana. Sepanjang perjalanan, tidak seorang pun di antara kami yang bersuara. Sabang masih marah, sedangkan Alatas mendadak jadi gelisah.

Aku? Seandainya bisa, akan kukatakan bahwa aku menanggapi situasi dengan sangat kalem. Sayangnya, aku merasa kalau jantungku mendadak punya kembaran di segala tempat, berdetak di saat bersamaan—di leher, di kepala, di perut ....

Pipiku menggembung. Aku sendiri bingung apakah aku sedang berjengit sakit, menyengir sinting, atau keduanya. Dan, menyadari bahwa beberapa kali Alatas mencuri lihat ke arahku membuatku ingin meledakkan sedan yang kami tumpangi. Namun, itu akan membuat Sabang membuang kami di tengah jalan.

Satu kali, Alatas menghela napas cukup keras sampai aku menoleh ke arahnya. Tangannya terentang ke sepanjang sandaran jok, hampir seperti merangkul, tetapi tidak mengenaiku sedikit pun. Matanya menelaah ke luar jendela mobil, tetapi tampangnya seperti menunggu. Dan, aku kebetulan tahu dia memang menunggu.

Dengan gerakan yang kuusahakan tidak kentara, tetapi aku yakin ini amat sangat kentara, aku bergeser ke arahnya. Ujung jarinya menyentuh bahuku, dan saat itulah Sabang berkata, "Ada apa dengan kalian?"

Aku tergesa mengambil jarak saat menyadari Sabang memerhatikan dari kaca spion, sedangkan Alatas buru-buru menunjuk ke luar. "Wah, apa itu? Bagusnya!"

"Itu iklan deodoran, dengan ketiak berotot seorang pria," kata Sabang dengan nada jengkel setelah mengikuti arah telunjuk Alatas ke salah satu televisi pajangan di balik kaca sebuah toko elektronik. "Apa, sih, yang salah denganmu?!"

Kami tidak bicara atau cari mati lagi setelahnya. Begitu sampai di depan motel, Sabang bersiap pergi lagi.

"Kau mencari para Calor?" tanya Alatas. "Mereka mengejar-ngejar kami tadi."

"Aku tahu," jawab Sabang gelisah. "Aku sudah meminta pengiriman bantuan tadi, tapi ditolak, padahal mereka baru saja berhasil merekrut para Teleporter. Sayangnya, ada yang lebih mendesak—T. Ed menemukan Meredith dan Raios."

Berita perekrutan Teleporter langsung menguap di benakku. Aku langsung mencengkram kaca pintu mobil Sabang sebelum dia menaikkannya. "Meredith?!"

"Masih hidup, tapi keadaannya tidak bagus. Tampaknya Raios sempat melindungi mereka, tapi ledakan dan benturan dalam medan energi membuat keduanya kritis—gegar otak, patah tulang, pendarahan .... Sejauh yang kuketahui, Meredith sempat sadar sebentar—dia kehilangan sebelah pendengarannya. Hanya sampai sana yang bisa diketahui. Soalnya tiba-tiba ada laporan dua anak yang seharusnya jadi tanggung jawabku tersesat di tengah kota." Matanya berkilat jengkel menatapku dan Alatas.

Aku mengerjap. "Jadi ... apa yang akan T. Ed lakukan terhadap keduanya?"

"Menunggu." Sabang mengusap wajahnya dengan cemas. "Jika Meredith yang lebih dulu sadarkan diri, kita mungkin bisa memakainya untuk membuat Raios berpaling dari Bintara."

Aku mendengkus. "Memakai. Bagus sekali pemilihan katamu."

Sabang mengabaikanku dan melanjutkan, "Tapi, jika Raios yang lebih dulu bangun ... nah, kau tahu apa jadinya, 'kan?"

Setelah percakapan yang membebani itu, Alatas dan aku kembali ke kamar motel Truck. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu dan beristirahat.

"Kau mencemaskan Meredith?" tanya Alatas, yang kubalas dengan anggukan. Tangannya menelusup ke genggamanku dengan gerakan lembut. "Aku yakin dia tidak akan apa-apa. Meredith sudah pernah bertahan hidup melewati Raios—dia pasti bisa melewati gegar otak dan patah tulang juga."

"Semoga saja."

Di depan pintu, Alatas mendesah, "Kita belum beli lilin ultah."

Meski masih murung karena memikirkan Meredith dan Raios, akhirnya aku mampu tertawa sedikit. Aku membuka pintu, dan tawaku tertelan lagi. Kulihat sesosok pemuda yang duduk di tepi ranjang, menyambutku dengan cengiran. Di belakangnya, Truck dan Erion duduk mengerubungi sesuatu.

"Hai, Say," sapa Pascal.

Kami batal masuk. Kututup pintu kembali. "Apa kita salah kamar?"

"Itu tadi mirip Pascal." Alatas berkomentar

"Memang aku," kata Pascal di balik pintu. Saat aku membukanya lagi, Pascal menghambur keluar. "Aku tahu semua kebohonganmu, Leila."

"Apanya?" tanyaku dengan suara mencicit. Darah seolah menyurut dari wajahku karena merasa dikhianati oleh Embre. Padahal dia sendiri yang melarangku memberi tahu Pascal tentang ayahku, tetapi sekarang malah—

"Kau bukan pacarnya." Pascal menunjuk Alatas. "Truck kelepasan omong—kalian tidak pacaran, dan pacarmu sebenarnya orang Kompleks, tapi kalian sudah putus sekarang."

Spontan, aku menarik napas dan berteriak, "TRUCK!"

"Apa?" Yang bersangkutan menjawab dari dalam.

"Hei, mari kita luruskan ini." Alatas menarik Pascal sampai mereka berhadapan. "Leila tidak berbohong. Kami sungguhan pacaran sekarang."

Rasanya aku hendak menonjok kedua pemuda ini sekaligus, lalu ambruk sendiri untuk pingsan. Kalau nanti Truck memutuskan mengecek keluar, dia akan menemukan tiga orang tergolek di keset kaki.

"Masa?" Pascal menatap kami bolak-balik sambil berjengit. "Kapan?"

"Baru saja—"

"Maksudku," potong Pascal lagi, "kapan kalian putusnya?"

Cara Alatas memelotot dan usahanya memasang tampang seram yang gagal hampir menggodaku untuk menciumnya sekali lagi. Namun, kuputuskan untuk berderap masuk dan menutup pintu di belakang punggungku. Kuabaikan Alatas dan Pascal yang menggedor-gedor pintu dari luar.

"Apa yang kalian makan itu?" tanyaku seraya menelaah dua kotak makanan cepat saji di atas tempat tidur: burger, kentang goreng, dan ayam tepung berminyak.

"Ini," kata Truck seraya mengangkat kentang goreng ke depan wajahku, "ini namanya kentang goreng. Kau butuh aku menyebutkan yang lainnya?"

Kuangkat kotak kue. "Jadi, kuasumsikan kalian tidak butuh bolu—"

Erion, dengan wajah belepotan saus dan tangan penuh minyak, menyambar kotak kue dari tanganku. Dia mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dengan tatapan memuja. Aku duduk di sebelahnya dan menyenggolnya. "Jadi, kita akur?"

Erion menatapku dengan wajah kaget dibuat-buat. Kapan kita berkelahi?

Aku mendengkus seraya mengelap saus di jidatnya. "Kenapa bisa nyasar ke sini? Kau menghantamkan kepala langsung ke dalam kotak, ya?"

Di luar, Alatas dan Pascal menggedor pintu lebih keras. Truck menyempatkan diri berkata di sela kunyahan, "Kapan dua congor itu sadar pintunya tak kau kunci?"

Sepuluh detik kemudian, mereka menyadarinya dan membuka pintu sendiri.

"Kenapa kau kemari? Mana Embre?" tanyaku pada Pascal. Lalu, aku menatap Truck. "Sabang tahu?"

Truck menggeleng.

"Posisi kami sedang tidak bagus sekarang," kata Pascal seraya menarik salah satu bangku tanpa sandaran dan mendudukinya. Alatas mengunci pintu, lantas bergabung dengan kami. "Bintara menaruh banyak sekali orang-orangnya di koloni. Sebagian besar Calor terpaksa tunduk padanya. Jadi, Embre dan aku kabur."

Sementara dia bercerita, aku membuka kotak bolu. Saat memotongnya untuk dibagi berlima, dorongan tak kasat mata membuat tanganku melenceng sampai salah satu potongan tampak lebih gempal daripada yang lain. Erion mengklaim potongan itu dengan cepat.

Sebelum Pascal bercerita, aku lebih dulu menceritakan pada mereka huru-hara di tengah kota: dikejar Calor dan petugas NC, membeli kue-kue, jadi maling mobil, dan wajah kami yang sudah kepalang tersebar jadi buronan. Aku berusaha tak menyinggung sedikit pun kejadian di gang lembap di atas bak sampah.

Pascal mengangguk-angguk mendengarku. "Yang kalian lihat baru sedikit—Bintara pasti menurunkan lebih banyak dari teman-temanku untuk mencari kalian."

Setelah menelan satu gigitan bolu, aku bertanya pada Pascal, "Kau tidak bersama Embre?"

Pascal membuang muka. "Kami terpisah. Aku tidak tahu harus ke mana lagi."

Truck menghabiskan bolunya dalam satu gigitan besar dan menyimpulkan, "Intinya, kau mau menumpang ke kami sekarang? Jadi, semua makanan yang kau bawa ini sogokan?"

"Aku menawarkan hubungan timbal-balik," ralat Pascal. "Kalian sembunyikan aku sementara sampai aku bisa menemukan Embre, maka aku akan bantu kalian lolos dari teman-temanku sendiri. Adil?"

"Menurutku lumayan adil," kata Alatas. "Lagi pula, kita memang mau mencari Embre."

Truck mencibir. "Dan bagaimana kita menjelaskan kehadirannya ke Sabang?"

"Pria itu masih pergi," kataku. "Artinya salah satu dari kita harus berjaga di depan dan siap diamuknya kalau dia melihat ada satu Calor di sini."

Kami semua menatap Alatas.

"Oke." Alatas mendesah. "Tapi kalian harus langsung bangun kalau mendengarku teriak minta tolong."

"Trims." Pascal mengerjap. "Kau begitu baik sampai-sampai aku hampir merasa bersalah kepingin merebut Leila darimu."

Aku berdeham dan mengalihkan pembicaraan, "Truck, kau punya lilin?"

"Buat apa aku bawa-bawa lilin?"

Karena terlalu salah tingkah, aku jadi terlambat menyadari betapa konyolnya pertanyaan itu. Kepalang basah, aku sekalian berkata, "Alatas sudah 20 tahun—mungkin bulan lalu. Dan kita melewatkannya."

Pascal berjengit. Matanya menelaah Alatas dari kepala sampai ujung kaki. "Jadi, kau lebih tua dariku?"

"Ya, kau harus mulai memanggilku kakak dan berhenti mencoba merebut—"

"Kau Calor," selaku cepat. "Kau bisa buat api lilin atau semacamnya."

"Enteng." Pascal mengangkat salah satu jarinya yang berada di antara telunjuk dan jari manis, menyalakan api di ujung jari itu, dan disodorkannya ke depan wajah Alatas. Meski ragu sesaat, Alatas tetap meniupnya. Tidak ada yang bertepuk tangan atau bersorak. Dari segi mana pun, pemandangan itu tampak menyedihkan.

Setelahnya, kami makan dalam hening. Pascal bahkan lebih pendiam, mungkin memikirkan Embre dan koloninya. Dia tidak bicara kecuali diajak. Alatas dan aku pun terlalu lelah hingga kami menunda untuk membahas Meredith dan Raios.

Sementara Pascal ke toilet, dan aku memaksa Erion berhenti makan sebelum perutnya meledak, Truck bergumam, "Aku tak yakin dia di sini hanya minta suaka."

"Maksudmu Pascal membohongi kita?" tanyaku. Kujejalkan sekotak jus yang sebelum ini kubelikan ke tangan Erion agar dia berhenti mengincar sisa ayam jatah Alatas. "Kau lihat wajahnya, Truck. Kurasa, dia tidak berbohong."

"Mungkin. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang tidak dikatakannya." Tangannya membersihkan remah bolu dari seprai. "Kau tidak membaca pikirannya?"

"Aku tidak bisa baca pikiran Calor." Kuakui hal itu dengan jengkel. "Mereka punya cara bertahan sendiri dari Brainware—aku pernah mencobanya, dan kepalaku seperti dibakar dari dalam. Walau menurutku, yang terparah adalah para Steeler dengan nyanyian mereka yang sangat mengganggu."

"Nyanyian?" tanya Alatas.

"Semacam itulah." Aku menolak memberi tahu Alatas detailnya. Aku tidak mau dia belajar menyanyikan lagu anak-anak berulang kali untuk menghalauku.

"Apa pun itu, harus menunggu sampai Sabang datang," lirih Alatas. "Aku sudah tidak punya tenaga untuk berkelahi, apalagi dengan orang seperti Pascal."

Aku mengangguk setuju. "Tidur dulu. Setelahnya, kita cari Embre."

"Oke," desah Truck. Dia masih melirik pintu toilet dengan curiga, tetapi matanya pun sudah memerah karena mengantuk. "Mana tasku? Semua senjata dan obat-obatan dari T. Ed ada di sana."

Aku menyenggol ransel besar di kaki kasurnya. "Tapi, kurasa kau tidak perlu cemas diserang Pascal saat tidur. Suara mengorokmu sudah cukup untuk menakut-nakuti harimau dari kejauhan."

Truck cuma mendelik, tangannya berhenti di atas kentang goreng untuk beberapa detik, lalu menyuapnya. Artinya, dia benar-benar letih sampai-sampai melepaskanku kali ini. Yah, kami semua capek. Erion pun sudah hampir terpejam dengan sedotan jus masih di gigitannya.

Kuperhatikan Alatas yang terseok di depan pintu. Tangannya menyeret bangku dengan loyo untuk dibawa keluar, berjaga-jaga jika Sabang muncul di depan.

"Teriaklah yang kencang kalau pria itu mencoba membunuhmu, ya," kataku.

"Aku mungkin akan lari ke kamarmu." Alatas memberiku cengiran nakal. "Selamat tidur kalau begitu."

Tanpa sempat kuhentikan, Alatas mendaratkan satu kecupan kilat di pipiku. Truck menjatuhkan kentang gorengnya yang sudah separuh jalan ke mulut, sedangkan Erion terperangah dengan jus yang berceceran disudut mulut.

Alatas melenggang keluar begitu saja.

"Aku bisa jelaskan," kataku, masih dihujam tatapan Truck dan Erion. Setelah beberapa detik jeda yang mengerikan, aku hanya berkata, "Aku tidak bisa jelaskan."

Truck memulai, "Kalian—"

"Jangan tanya!"

"Barusan itu Alatas—"

"Selamat tidur!" bentakku seraya menyeret Erion ke kamar sebelah. Dengan wajah panas luar biasa, aku berpura-pura tak memerhatikan Alatas yang menyengir padaku di bangkunya.

Erion langsung tertidur begitu jusnya habis, sementara aku butuh waktu lebih lama. Aku menyempatkan diri untuk mandi, memeriksa bawaan, dan merenungi atap motel. Aku berbaring seperti mayat, kaku dan nyaris tanpa pergerakan kecuali dada yang naik turun untuk bernapas. Sesaat kemudian, aku berguling tidak keruan.

Alatas sialan.

Aku lelah, penat, pegal-pegal, dan sekujur badanku seolah remuk meski luka-luka yang tampak di permukaan kulit sudah mulai samar oleh Cyone. Namun, aku tidak bisa tidur. Aku memejamkan mata hanya untuk membukanya lagi tanpa alasan jelas. Kudapati diriku menyengir pada plafon.

Plafon yang indah.

Erion sangat pulas di sisiku. Anak itu bergeming meski beberapa kali tersenggol olehku. Di tengah aktivitas bodohku yang sia-sia, aku mendengar sesuatu berkelotak jatuh di luar.

Aku merangkak turun dari tempat tidur dan berjalan ke jendela di samping pintu. Kusibak tirai hanya untuk menutupnya kembali buru-buru.

Ada enam atau tujuh orang di luar, berseragam hitam—mungkin para Calor. Aku tidak bisa melihat dengan jelas seragam mereka, tetapi aku yakin salah satunya menindih Alatas ke tanah dengan lengan dipuntir ke belakang dan mulut dibekap.

Dengan tangan bergetar dan pikiran kacau, aku menggenggam gagang pintu, tetapi berhenti sebelum memutarnya. Tujuh Calor, semuanya hampir sebesar Truck dan Pascal. Jika aku keluar, aku tidak bisa menang. Jika aku ikut tertangkap, itu tidak akan memperbaiki apa-apa.

Aku melompat ke sisi ranjang dan menepuk-nepuk Erion. Anak itu tidak mau bangun. Bahkan saat aku mengguncangnya sekuat tenaga dan membopongnya, Erion tetap bergeming seperti orang pingsan.

Jantungku berdegup kencang. Padahal tipe tidur mati di antara kami cuma Truck. Erion tidak pernah seperti ini.

Orang-orang itu mulai bergerak—aku bisa melihat siluet mereka dari tirai.

Kuangkat Erion paksa, dan kuselimuti bantal kami sebagai pengganti. Dengan kepanikan dan sisa-sisa tenaga yang kupunya, kubawa Erion serta ke dalam lemari pakaian besar yang kosong. Kututup pintu dengan meninggalkan sedikit celah.

Tiga orang membobol pintu kamar kami tak lama kemudian. Mereka menyibak selimut, lalu celingukan waspada ke sepenjuru kamar saat melihat bantal-bantal di atas ranjang. Jaket hitam dengan lambang api putih di bagian dalam tudung kepala mereka yang tak terpasang itu memang seragam Calor.

Jika Steeler menghalau Brainware dengan nyanyian mengganggu, para Calor punya cara yang lebih brutal: mereka membentuk nyala api di dalam benak, membayangkan panasnya. Brainware yang coba-coba membaca pikiran mereka akan merasa ikut dilalap api, terjebak dalam isi kepala mereka yang destruktif.

Aku belajar dari pengalaman, nyaris mustahil bagiku untuk membaca pikiran mereka, maka kulangkahi tahapan itu. Tanpa melihat ke dalam benak siapa pun, aku berbisik: Jika kau ingin terbakar, terbakarlah.

Hanya dua Calor yang menangkap sugestiku. Satu-satunya Calor yang tersisa terjengkal menyaksikan kedua temannya dilalap api dari kepala sampai lutut. Kumanfaatkan kelengahannya untuk keluar dari lemari, masih menggendong Erion.

"Apa yang kalian lakukan di tempat sempit seperti ini?! Padamkan!"

Aku menyelinap keluar dengan sangat lambat. Persendianku ngilu. Erion pasca menelan dua potong ayam, dua burger, dan seiris bolu besar benar-benar berat. Setelah aku berada di serambi dan menutup pintu, kedua Calor itu padam. Dan punggungku menabrak seseorang.

"Kau tidak menyentuh makanan yang kubawakan sama sekali," kata Pascal tanpa ekspresi. Kedua tangannya menangkapku di bahu. "Aku tersinggung, Leila."

"Ayahku tak pernah suka aku makan makanan cepat saji," kataku seraya balas menatapnya dengan geram. "Sekarang aku paham kenapa."

"Jangan coba-coba membuat ricuh, oke?" Pascal mendesakku ke pintu, tiga temannya sudah keluar dan menahanku dari belakang. "Kami berdelapan, dan hanya ada enam pengunjung motel tak berdosa di sini—kita tidak ingin melibatkan mereka, bukan? Dan jika api menyala lebih terang di sini, T. Ed yang memiliki motel ini akan repot. Kita hanya akan bicara sebentar."

Kueratkan peganganku pada Erion. "Bicaralah."

"Tidak di sini." Pascal dan aku bergulat sesaat. Andai kata saat ini aku tak sedang kelelahan, aku barangkali punya kesempatan—setidaknya, lari sambil membawa Erion. Aku bisa bertahan dengan lari ke jalan. Namun, beberapa menit kemudian, Pascal menang. Salah satu temannya membawa Erion dariku.

Pascal mengikat kakiku, dan mengikatkan Arka ke punggungku. Dia lalu melilitkan sisa tambang untuk mengeratkan kedua tanganku ke depan leher. Aku dilempar ke sisi Alatas, yang juga terikat dengan posisi serupa dan Arka di belikat. Bahkan saat aku mencoba menggigit tali di bahu Alatas untuk melepaskan Arka-nya, kedua tanganku yang berposisi di bawah dagu menghalangiku untuk itu.

"Periksa kamar itu." Pascal mengedik ke kamar Truck. "Mereka lama sekali."

Salah satu temannya mengangkat bahu. "Mungkin si besar itu terlalu berat."

"Mungkin kau harus memeriksanya," geram Pascal.

"Obat tidur itu ampuh buat menidurkan seekor gajah, tahu? Biar pun dia Cyone, mustahil tubuhnya menolerir dosis itu," gerutu temannya, tetapi mereka tetap memeriksa ke dalam.

Pintu menjeblak tertutup, dan terdengar benturan di dalam kamar. Pascal hampir memeriksanya saat pintu terbuka lagi.

Di ambangnya, Truck berdiri dengan sengal napas yang merangkap dengkusan marah. Matanya merah, hampir tidak fokus, tetapi dia masih sadarkan diri. Salah satu tangannya mencengkram kerah seragam seorang Calor yang teler dengan wajah babak belur.

Menyadari keadaannya, Pascal menyalakan apinya.

Aku yakin bakal ada kebakaran besar tak lama lagi, tetapi kemudian sesosok Calor lain berjalan ke tengah mereka. Dari balik tudung yang terpasang itu, aku melihat perak berkilat di lehernya. Suara Embre terdengar kemudian, "Sudah kubilang, ini takkan berhasil."

"Hampir berhasil," geram Pascal dengan suara terdistorsi dalam nyala apinya.

Embre mengangkat sebelah tangannya. Api Pascal padam hampir seketika.

"Lepaskan dia. Baru kita bicara." Embre menunjuk teman Calornya di cengkraman Truck.

"Teman-temanku dulu." Truck menggerung parau. Untuk menekankan tuntutannya, Truck menjatuhkan si Calor dan menginjak dadanya. "Ikatan mereka dan semua Arka-nya—lepaskan semuanya."

Embre menggeleng. "Kalian akan kabur lagi jika kami lakukan itu."

"Kalian berdelapan." Aku menggeram sambil berusaha menarik tanganku dari ikatan. "Bahkan tanpa diikat, kami sudah kepayahan! Kami baru saja lolos dari tembakan Specter Bintara di perbatasan! Dan kalau perlu kuingatkan, Erion—yang paling mungkin menghajar kalian semua—tertidur seperti orang mati saat ini."

Embre butuh waktu satu menit penuh untuk memutuskan. Pada akhirnya, mereka melepaskan ikatan kami, tetapi menjaga Arka tetap dekat denganku dan Alatas. Calor yang menjaga kami berdua mungkin ikut teredam, tetapi Pascal dan Embre menjaga jarak sehingga mereka bisa menjadi api kapan saja mereka mau.

Kami dibiarkan membawa barang-barang kami, lalu digiring masuk ke dalam mobil bus besar berlogo NC. Kami mengemudi entah ke mana—semua jendela ditutup dengan kertas koran.

Kami duduk berjejalan di belakang, dengan Embre dan Pascal yang berdiri di lorong antara kedua baris kursi, memblokir jalan kami. Embre memulai dengan berkata, "Kami dijepit tenggat waktu. Bintara menawan para manula dan anak-anak Calor di koloni. Tiap 12 jam, para pesuruhnya akan membunuh satu sandera secara acak—kecuali kami bisa membawa kalian plus Aga Morris ke hadapannya."

"Tinggal 7 jam lagi," ujar Pascal, "sebelum salah satu anak atau orang tua terbunuh lagi di tempat kami."

Ke koloni. Aku memejamkan mata. Aku memikirkan ibuku, Sir Ted, atau siapa saja. Aku tidak tahu apakah telepati sejauh ini bisa berhasil. Sampai sekarang, satu-satu orang yang bisa bicara denganku melalui telepati yang begitu jauhnya hanya Erion. Namun, aku tetap mencoba. Ke koloni. Kami dibawa ke koloni Calor.

"Kami baru akan menawari kalian untuk bergabung dengan T. Ed." Aku berusaha mengulur waktu. "Mereka bisa membantu kalian membebaskan—"

"Gencatan senjata palsu lagi?" Mata Embre berkilat, tampak menyala oranye dan putih sekilas. "Kau lupa, Leila? Hubungan kami dengan T. Ed tidak bagus. Mereka sudah menawarkan gencatan senjata belasan kali, tapi separuh tim kami yang mereka tawan masih belum dipulangkan sampai sekarang."

"Mereka tidak ditawan," desisku. Aku mungkin masih meragu terhadap T. Ed, tetapi saat ini hanya sisi itu yang paling aman untuk kupijak. Maka, aku melanjutkan, "T. Ed merekrut mereka—aku melihatnya sendiri. Para Fervent di T. Ed bekerja sukarela. Lagi pula, kau kira teman-temanmu mau dikirim pulang ke tempat Pyro? Mereka pasti masih berpikiran Pyro yang berkuasa di koloni kalian. Dan, kuingatkan lagi, ya—awal mula perang kalian dengan T. Ed adalah tim-tim yang kalian kirim—"

"Yang Pyro kirim." Pascal mendengkus.

"—untuk menjarah komoditas mereka."

"Baiklah, asumsikan kali ini gencatan senjata sungguhan," kata Pascal. "Apa yang bisa mereka lakukan buat kami? Ada 100 personel bersenjata, 33 di antaranya Fervent, dan 40 drone pengintai yang ditaruh di koloni kami. Bahkan si cabai kecil itu,"—dia mengangguk ke arah Erion yang terlelap di sampingku—"takkan sanggup untuk membebaskan semua tawanan."

"Teleporter," kataku lagi. Saat wajah mereka berdua berubah, aku tahu aku sudah menang. "T. Ed sekarang disokong sekoloni Teleporter. Salah satunya Op. Terkutuklah bakatnya—dia memang memuakkan, tapi dia dan teman-temannya bisa membebaskan semua tawanan di koloni kalian."

Embre dan Pascal bertukar pandang. Di belakang mereka, di deretan kursi-kursi depan, para Calor lainnya mendengarkan dalam diam.

"Kita lihat nanti," putus Embre, "setelah kami membawa kalian ke hadapan Bintara."

"Tunggu—apa?!" Aku meronta ketika Pascal mengikatku lagi. Sempitnya lorong bus tidak berpihak pada kami sama sekali. Dua Calor lain melompati kursi-kursi dan menahan Alatas yang mencoba berdiri. Truck, yang menyerbu ke depan, di tangani dengan cepat oleh Embre dengan kuncian tangan yang lihai. "Kalian tidak bisa begini!"

Erion hampir berguling jatuh di sisiku, tetapi Pascal menahannya.

"Kami tidak punya pilihan." Pascal menghindari mataku. "Sudah ada satu anak yang mati di tangan mereka. Akan bertambah satu lagi dalam tujuh jam ke depan jika kami tidak bisa membawa kalian."

Dalam sekejap, kami bertiga terikat ke kursi dengan posisiku di tengah. Arka digantung di belakang sandaran kursi yang kami duduki. Erion masih terlelap tak bergerak di kursi di depanku. Para Calor bergerak ke depan, duduk di sekitar pengemudi bus, masih mengawasi kami dari jauh. Embre membicarakan sesuatu yang tak bisa kudengar pada temannya yang menyopir.

"Sir Ted." Aku berbisik putus asa. "Ibu. Sir Ted. Ibu. Ryan. Mo. Siapa saja yang mendengar ... Meredith, ibu, Sir Ted ...."

"Apa yang kau lakukan?" Truck beringsut ke arahku, seolah ruang yang kududuki masih kurang sempit.

"Menyanyi," jawabku sarkastis dalam suara melirih pelan. "Aku sedang mencoba Brainware! Sekarang, tutup mulut."

"Coba Op," usul Truck. "Kau pernah masuk ke kepalanya."

Menjijikkan. Namun, aku tidak punya pilihan. Truck ada benarnya. Maka, dengan hati berat, aku mencoba.

"Tidak bisa," keluhku sambil menjejak-jejakkan kaki dengan jengkel. "Aku bahkan tidak tahu apakah semua telepati ini sampai atau tidak! Selama ini aku mengetahui telepatiku sampai hanya jika mendapat respons!"

Alatas mendesah di sampingku, kepalanya mendongak ke sandaran kursi. Tubuhnya berkeringat.

"Dia sempat makan ayam dan kentangnya," kata Truck saat aku menyenggol bahu Alatas, tetapi pemuda itu tak kunjung menanggapi. Bola matanya bergetar, kelopak matanya menutup sebentar, lalu membuka sayu.

Aku teringat kalau Alatas pernah mengalami hal serupa saat akan menjalani operasi pengangkatan peluru. Dia tidak bisa tidur, tetapi masih ada kemungkinan kesadarannya hilang saat menerima bius ... yah, nyaris hilang. Dia bisa saja masih melihat dan merasakan keadaan di sekitarnya tanpa mampu mendengar, berucap, dan bergerak sedikit pun.

Aku menoleh pada Truck. "Bagaimana bisa kau masih sadarkan diri?"

"Flumazenil." Truck mengangguk ke tas kami yang bertumpukkan di samping Erion. Matanya mengerjap-ngerjap untuk mengusir keringat. "Aku memintanya dari rumah sakit T. Ed."

"Kenapa?" tanyaku.

"Karena aku punya kondisiku sendiri."

"PF13?" Aku menerka, tetapi Truck tidak mau menjawab.

Kami tak bicara apa-apa lagi selama hampir setengah jam berikutnya. Bus bergoyang, melonjak, melaju dan memelan. Para Calor mulai sibuk sendiri, dengan Pascal yang masih waspada mengamati kami sesekali.

Aku bergerak tidak nyaman. Tangan serta kakiku sakit, pantatku pegal, tempat duduknya sempit, dan Alatas jatuh menyandar ke bahuku saat bus menikung. Matanya setengah terpejam dan wajahnya pucat sekali sampai aku tidak tega untuk mengedikkan bahu mengusirnya.

"Truck," bisikku seraya merenungi lututku sendiri, "apakah kau tidak senang aku bersama Alatas?"

Truck mengernyit dan diam cukup lama. Aku hampir menyangka dia tidak mau menjawab, tetapi kemudian dia balas bertanya, "Kenapa kau berpikir begitu?"

"Entahlah ..." kataku. "Kau dan Erion tampak terkejut dengan agak—terlalu, malah—berlebihan."

"Jelas saja terkejut," katanya. "Alatas bertingkah seperti anak anjing di bawah kakimu selama berbulan-bulan dan tidak satu kali pun kau menunjukkan tanda-tanda bakal membalas perasaannya. Tiba-tiba malam ini kalian pulang bawa bolu dan sudah pacaran. Padahal, saat tempo hari aku menanyaimu, kau masih mencoba menyangkalnya."

Aku melirik Alatas. Matanya tidak fokus, hampir seperti orang pingsan dengan mata terbuka. Entah dia mendengarnya atau tidak ....

"Aku masih tidak yakin saat itu karena kukira sebagian dari diriku masih terikat pada Ryan." Aku mengakui. "Baru setelah menemui Ryan lagi dan membereskan perasaan kami, aku ... barulah aku yakin."

"Kita sedang terikat di bus, dan yang kita bicarakan malah masalah pacaran."

"Kau mungkin lupa, Truck, tapi aku masih 17 tahun. Kita berdua masih 17 tahun. Kita tidak seharusnya diikat di bus, diawasi manusia yang bisa jadi api, diseret ke hadapan seorang komandan militer yang mencoba membunuh kita. Kita seharusnya sekolah, berteman, pacaran, dan membuat onar sampai orang tua kita sakit kepala! Tapi, tidak! Kau bahkan bersikap seperti pria setengah abad penggerutu yang lupa sama umurnya sendiri!"

Truck ikut mengamati lututnya. "Nah, seperti yang kau bilang kalau begitu—kau masih 17. Kau masih muda dan sebagainya. Kau dan Alatas sekarang pacaran, dan semuanya terjadi dalam beberapa jam saja—ya sudah. Apa lagi yang kau permasalahkan?"

"Seperti yang kaubilang—terlalu tiba-tiba. Aku juga merasakannya kalau aku bergerak terlalu cepat. Aku bahkan menciumnya."

Wajah Truck mengerut tidak nyaman seolah dia tengah dipaksa mengecap lemon asam. "Kau tidak perlu memberitahuku sampai ke detail sana. Aku cukup tahu kalian pacaran—habis perkara."

"Aku bahkan tidak pernah mau dicium Ryan," lanjutku tanpa mengacuhkan ekspresi wajah Truck yang jengah. "Tapi waktu itu wajah Alatas dekat sekali dan, jujur saja, saat mendengar pikirannya aku jadi terdorong. Rasanya aku hanya menginginkannya dan—"

"Hentikan sampai sana." Truck bergidik dengan berlebihan. "Kau bisa membuatku demam di sini."

"—dan sejak berada dalam kepala Meredith, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kupikirkan." Aku melanjutkan tanpa memedulikan Truck yang gemetar hebat. Kurasa, aku hanya butuh teman bicara dan bercerita, dan hanya dia yang paling dekat untuk jadi korban curahan hatiku. "Rasa takut. Gelisah. Seseorang bisa mati kapan saja saat ini, dan sudah berkali-kali aku menyangka Alatas akan tewas di depan wajahku: saat kita terlibat dengan Raios, saat dia tertembak, saat di sarang Calor, dan sekarang ...."

"Hmm." Truck, di luar dugaanku, menanggapiku dengan anggukan kepala samar-samar. "Itu tidak terlalu salah. Kau merasa mumpung kau punya kesempatan, kau kepingin menghabiskan waktu dengannya lebih dekat lagi."

"Alatas sempat berpikir kalau dia takkan keluar hidup-hidup dari Kompleks Sentral, dan aku menganggapnya pesimistis serta konyol; tapi sekarang aku juga merasakannya. Saat ayahku mati di depan wajahku, ide tentang kematian itu tampak terlalu mudah kucerna, sampai-sampai kesannya dia bisa hidup kembali kapan saja—jujur, sampai sekarang pun aku berharap demikian. Tapi, waktu berjalan ... dan dia tidak kunjung kembali. Aku mulai takut kalau aku juga mati, maka aku takkan pernah melihat ibuku lagi. Aku tidak sempat meminta maaf pada teman-teman lamaku. Aku tidak sempat memperlakukan Alatas dengan baik. Masih banyak sekali yang ingin kulihat dari Erion dan kau. Dan ... aku terus terbayang bagaimana caraku mati. Aku mulai memikirkan siapa yang akan pergi lebih dulu di antara kita. Alatas, kau ... Erion—dan pemikiran bahwa aku bakal kehilangan kalian sama sekali tidak tertahankan."

"Pikiran Meredith mungkin berpengaruh terlalu besar padamu."

Aku tercenung. "Sebetulnya bukan hanya Meredith. Erion, kau, dan Alatas juga. Perasaan muram, gelisah, dan takut mati itu berasal dari kalian semua. Aku jadi paham saat dulu kau pernah berkata kalau kita semua rusak. A-aku ... tidak percaya kalian mengalami perasaan mengerikan macam ini sejak dulu, tiap hari."

"Tidak lagi," tukas Truck dengan suara yang nyaris tidak terdengar. "Aku tidak tahu dengan Alatas dan Erion—tapi aku sudah melalui tahap itu. Aku sudah membuang perasaan yang menyusahkan itu jauh-jauh hari."

"Bagaimana caranya?"

Truck tidak menjawab. Alih-alih, sebagian pertahanan pikirannya justru mulai melonggar. Wajah seorang anak perempuan menyeruak keluar dari benaknya, menyerbuku seperti siraman air es. Seolah-olah pintu baja yang selama ini Truck kunci rapat-rapat mulai terayun, membentuk celah, dan memuntahkan air bah di dalam kepalanya ke arahku.

Lalu, secepat munculnya, secepat itu pula Truck menguncinya kembali. Seluruh pikirannya kembali menutup dariku.

Spontan, aku bertanya, "Siapa Aria?"

Wajahnya berubah jadi kelabu. "Dari mana kau tahu nama itu?"

"Kau pernah mengigaukannya."—Aku separuh jujur untuk yang ini.

Pertama kalinya aku mendengar nama Aria memang dari mulut Alatas—itu saat kami menuju bungker Raios untuk pertama kali, Alatas menggendongku, mereka mengira aku tidur; lalu membicarakan Aria. Namun, satu kali aku juga mendengarnya saat melihat mimpi Truck tanpa sengaja.

"Kita sudah berempat berbulan-bulan, Truck. Kau tidak bisa berharap aku tidak memerhatikan kalau kau sedang mencari seseorang. Maksudku ... kau sudah sering ganti celana, sendawa, muntah-muntah, dan kentut di depanku—kenapa kau takut sekali aku mengetahui satu nama?"

Truck diam dan tidak mau menatapku lumayan lama. Namun, pada akhirnya dia tetap menoleh.

"Kau tadi ingin tahu bagaimana aku mengunci perasaan takut mati itu, 'kan?" tanyanya dengan suara parau. "Dimulai dengan melupakan satu nama."

"Tampaknya kau tidak melupakan nama Aria sedetik pun."

"Bukan melupakan namanya," tukas Truck. "Tapi, namaku sendiri."

Aku menjadi bungkam.

"Membuang nama lahirku, melupakan identitasku," lanjutnya, "lalu berpura-pura bahwa semua orang yang dulu pernah kukenal sudah mati. Dengan meyakini bahwa mereka sudah mati, aku tidak perlu takut kehilangan mereka lagi. Toh, mereka sudah hilang. Termasuk Aria."

Aku berjengit. "Tapi, kau mencari Aria, artinya kau masih peduli—"

"Kurasa, kau salah paham, Leila," potongnya. "Aku mencari Aria untuk memastikan kalau dia sudah mati. Aku berharap dia sudah mati. Dengan begitu, aku bisa membuang identitas lamaku sepenuhnya."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



FANART FANART UWU NGEEEEEENG

Thank u (ノ◕ヮ◕)ノ*:・゚✧ Roikha217





Thank u ╰(*'︶'*)╯♡ seirin11_04

Pas Aria pertama kali disebut, waktu menuju bungker Raios, mereka gini:


;-;


Alatas kayang ._. klo nda salah direkues sama Ratu Kayang yg ingin sekali liat Alatas kayang


Adegan di chapter #53. Gambar di bawah ini bisa bikin humor ambruk, nembus bumi, dan melanting keluar di sisi satunya ;-; 



See u next chapt
❤ (ɔˆз(ˆ⌣ˆc) ❤

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

129K 5.9K 36
"Dia seperti mata kuliah yang diampunya. Rumit!" Kalimat itu cukup untuk Zira menggambarkan seorang Zayn Malik Akbar, tidak ada yang tidak mengenal d...
2.3M 204K 68
[FOLLOW SEBELUM BACA] Refara, seorang gadis cantik yang hidup sebatang kara. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan dan memutuskan untuk hidup mandir...
484K 2.8K 8
hanya cerita tentang jimin yang memenya sering gatel pengen disodok
4.2K 333 11
Tentang anak berandalan yang di jodohkan dengan CEO yang sangat amat terkenal di kota nya. Ini tentang MARKNO ‼️ Jangan salah lapak‼️ BXB‼️ BL‼️ ga s...