RavAges

By E-Jazzy

1.1M 111K 44.4K

[Completed Chapter] Pada kepindahaannya yang ke-45, Leila kabur dari rumah. Dia melihat kacaunya dunia, serta... More

Keset Kaki
#1
#2
Guide to RavAges
#3
#4
#5
#6
#7
#8
#9
#10 - #29
#30
#31
#32
#33
#34
(~‾▿‾)~Check Point~(‾▿‾~)
(~‾▿‾)~Worldbuilding~(‾▿‾~)
#35
#36 - #51
#52
#53
#54
#55
#56
#57
#58
#59
#60
#61
Kalian Question, Saya Answer
Kalian Masih Question, Saya Tetap Answer
#62
#63
#64
#65
#66
#67
#68
#69
#70
#71
#72
#73
#74
#75
#76
#77
#78
#79
#80
#81
#83
#84
#85
#86
#87
#88
#89
#90
#91
#92
#93
#94
#95
#96
#97
#98
#99
#0
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- Tiga Tahun di RavAges -
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- QnA yang Terlambat 7 Bulan -
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- PO Buku & Readers' Gallery & Fun Facts -
ˎ₍•ʚ•₎ˏ MARI WAR ˎ₍•ʚ•₎ˏ
ˎ₍•ʚ•₎ˏ MARI WAR LAGI ˎ₍•ʚ•₎ˏ

#82

6.9K 1.1K 1K
By E-Jazzy

| RavAges, #82 | 4127 words |

SEPERTINYA AKU sempat pingsan saat kami mendarat. Samar-samar, aku mendengar suara kaca pecah, desingan peluru, ledakan, teriakan, dan tangisan yang tercampur tawa histeris.

Dengan kesadaran makin menipis, aku tidak bisa menjerit atau mengeluh. Aku membuka mulut satu kali, memohon agar Raios langsung membunuhku saja, tetapi pemuda itu tidak menggubrisku sedikit pun.

Raios terus membawaku sampai ke belakang pagar tembok tinggi berlumut, lalu menjatuhkanku ke tanah berbau pupuk.

"Psst!" Seseorang memanggil dari atas.

Aku mengerjap-ngerjap dan berusaha mendongak di tengah rasa pening. Di balik tembok, berdiri bangunan semen tanpa cat—barak anak laki-laki. Aku melewatinya satu kali tadi pagi saat disuruh berkumpul ke lapangan tengah.

Dari salah satu jendelanya di lantai dua, seorang pemuda yang perawakannya mirip Raios mengeluarkan setengah badannya. Dia melemparkan sebuah ransel gemuk serta jaket parka besar dan kotor, yang langsung ditangkap oleh Raios.

"Tanya dia, Alatas," seru suara lain dalam kamar itu, "berapa yang selamat?"

Alatas—si pemuda yang melemparkan ransel—mencondongkan badannya ke depan sampai dia nyaris jatuh. "Yos! Chandra bertanya, berapa yang selamat dari orang-orang yang ikut denganmu malam ini?"

Raios mengangkat bahu. "Mana kutahu."

"Raios nggak tahu." Alatas melapor ke balik bahunya.

"Tanya lagi," kata suara lain lagi. "Cewek yang kata Giok itu—dia benar-benar membawanya?"

"Ali tanya, cewek yang—oh, itu dia!" Alatas akhirnya mendapatiku yang meringkuk di tepi tembok. Aku bisa melihat beberapa anak cowok berdesakan dengannya di jendela sempit, berseru dan bersiul-siul seolah aku adalah tontonan hebat. "Kok, kau bisa selamat, Yos?!"

"Mantap, Raios—dia benar-benar menjemputnya!"

"Dia betulan mengeluarkan cewek itu dari bangunan angker di sebelah?!"

"Kalau tahu bisa, tadi aku titip satu!"

Raios mengabaikan mereka semua dan menyandang ranselnya. Kubiarkan pemuda itu membungkusku dengan jaket parka kebesarannya karena aku merasa butuh bersembunyi—tatapan para anak cowok di atas membuatku jengah.

Aku bahkan tidak protes saat Raios mengangkatku lagi karena; satu, aku tidak sanggup berjalan; dua, suara ledakan senjata api terdengar makin dekat; dan tiga, aku benar-benar ingin pergi dari bawah tatapan para anak cowok itu.

"Raios, tunggu!" Para anak laki-laki itu saling dorong di tepi jendela. "Bantu kami kabur juga—"

Namun, Raios dan aku menghilang dari sana. Kami berteleportasi ke antara semak tajam, lagi-lagi di tepian pagar.

Lampu sorot memenuhi lapangan dari menara-menara pengintai. Tembakan terdengar jauh, tetapi ada dua drone yang melayang di atas kami.

"Kau bisa Teleportasi." Aku menggeliat di dalam jaket parkanya. Rambutku tersangkut semak. "Kenapa kita tidak langsung keluar?"

"Aku tidak hafal tempat ini."

"Aku hafal," kataku. "Ini tidak jauh dari gerbang utama. Ada dua pos di depan dan satu menara pengintai. Parit besar menghadang di depan gerbang, diseberangi satu jembatan yang mengarah langsung ke jalan dan hutan. Asal kau ingat rute dan penampakan jembatannya, kau bisa membawa kita ke sana, 'kan?"

"Bagaimana dengan penjaganya?"

"Air tidak pasang dan hujan tidak turun belakangan ini. Paritnya pasti kering. Teleportasi ke bawah jembatan saja."

Raios mengeratkan pegangannya padaku, dan kami berteleportasi lagi.

Bebas dari semak, kami diimpit dinding tanah dan bebatuan. Tanah kering di bawah kaki, bagian bawah jembatan begitu dekat sampai ubun-ubun Raios membenturnya. Ketika dia memelototiku, aku berpura-pura tak melihatnya.

"Di dekat sini ada pondokan kecil," kataku. "Kita bisa minta bantuan—"

Raios malah duduk bersandar pada dinding parit. "Giok belum keluar."

"Baiklah," kataku. Dia ternyata setia kawan. "Semoga temanmu selamat—"

"Aku tidak peduli dia selamat atau tidak," tukasnya. "Dia berjanji membawakan sesuatu dari ruang administrasi Herde."

"Eh ... baiklah." Aku merapatkan jaket ke sekeliling tubuhku dan ikut mendempet bebatuan parit di sampingnya. Cahaya dari dalam Herde masih menyorot sesekali ke luar, membentuk siluet jeruji gerbang yang jatuh pada dinding parit di depan kami. Suara derap sepatu para Agen mendekat dan menjauh silih berganti. "Bagaimana kalau kita tertangkap lagi di bawah sini?"

Raios mengeluarkan sebuah garpu makan dari dalam ransel.

"Itu buat apa?" tanyaku getir.

"Senjata," jawabnya singkat.

Garpu makan sebenarnya adalah benda yang konyol buat dijadikan senjata, terutama kalau garpu itu dari plastik dan melengkung gemuk. Namun, Raios benar-benar mampu membuat benda apa pun jadi tampak berbahaya di tangannya.

"Boleh tidak," kataku, "jangan membunuh orang lagi di depanku?"

"Balik badan saja."

"Jangan membunuh orang lagi di dekatku." Mataku menelaah hutan dan jalan. Terlintas di pikiranku untuk kabur sendirian, tetapi dalam jarak ini penjaga masih bisa melihatku. Kecuali kalau Raios mau membantuku. "Hmm, kau Fervent apa?"

Dia melirikku dari sudut matanya, tajam dan berbahaya. Tampaknya aku tidak berada dalam posisi untuk membuat percakapan.

"Tidak jadi," lirihku sembari beringsut menjauhinya.

Saat itulah suara tembakan terdengar, amat dekat hingga aku yakin tembakan itu dilepaskan di dekat gerbang. Raios mengintip keluar dari bawah jembatan. Apa pun itu yang dilihatnya membuatnya berjengit. Lalu, tanpa sempat kuhentikan, dia menghilang, berteleportasi ke suatu tempat.

Aku ditinggal ....

Kurapatkan jaket parka punya Raios ke sekeliling badanku, lalu bangkit dan memelesat keluar dari parit. Apa pun yang terjadi, terjadilah.

Baku tembak masih terjadi, dan lampu sorot makin benderang, tetapi tak seorang pun mengejarku. Malah, semua tembakan itu tampaknya tidak ditujukan ke arahku. Maka, dengan kenekatan terakhir yang kupunya, aku berlari ke arah hutan. Aku menjauhi jalan, melewati pondok, dan menabrak semak-semak tinggi yang menghadang karena aku terlalu takut untuk berhenti atau pun menoleh ke belakang.

Bunyi kepakan sayap burung dan daun bergemerisik sempat membuatku melambat, tetapi kemudian kurasakan seseorang mengejarku dari belakang.

Hantu! Aku menyemangati diriku sendiri dengan rasa takut. Itu hantu!

Aku berlari lebih cepat meski kakiku mulai sakit dan dadaku sesak. Udara begitu dingin sampai-sampai jaket parka tebal ini rasanya tidak terlalu berguna. Sesuatu menggores sikuku, mungkin ranting. Ada yang berdesir di atas kepalaku, mungkin cabang pohon yang kerendahan. Ada yang mengikutiku ... mungkin hantu.

Rasanya mending dikejar hantu daripada Agen Herde atau Raios. Aku memang sempat berniat mati sebelum ini, tetapi aku tidak mau tewas ditusuk garpu plastik.

Saat mencoba menghindari semak setinggi pinggang, kakiku terpeleset humus. Tanah ternyata melandai sampai membawaku memerosot jatuh, lalu landaian itu menurun lebih curam setelah aku menabrak semak berduri. Aku terguling sampai menabrak sebatang pohon. Dedaunan berjatuhan dan menguburku.

Aku berbaring sebentar untuk mengatur napas, merasakan denyut rasa sakit mulai menyerbu di sekujur tubuhku. Kuangkat tubuhku untuk duduk, tetapi punggungku berderak protes. Pergelangan kakiku bengkak, kedua lututku berdarah, tetapi yang terparah adalah lengan kananku—ia robek dan darahnya menyecer ke tanah, membuatku hampir pingsan melihatnya. Aku tidak berani mengecek yang kiri karena rasa sakitnya hampir sama.

Keinginan besarku yang menggebu-gebu untuk melanjutkan berlari langsung padam. Kurasakan akar pohon bergetar saat darahku menggenanginya, dedaunan berubah warna, dan tunas-tunas tumbuh menjadi bunga liar di sekitar kepalaku.

"Ibu." Aku mulai terisak-isak di antara dedaunan. "Aku capek ...."

Kubiarkan kesadaranku menyelinap pergi. Mati di sini barangkali bukan pilihan terburuk.

Dalam kegelapan, aku melihat cahaya lampu yang temaram. Lalu, wajah ibuku muncul. Tangannya membawa nampan berisi secangkir teh hangat untukku. Separuh diriku sadar ini mungkin mimpi, tetapi rasa nyaman dan kerinduan memblokir kesadaran itu. Bahkan meski ini hanya realitas bohongan, semata kilas balik ingatan, aku ingin tetap tinggal.

"Apa masalahnya sudah beres?" Kudengar suaraku sendiri bertanya.

"Belum, Sayang." Ibu menjawab sedih. Aku mengerjap lemah, merasakan tangannya di pipiku. "Ayahmu masih mencoba membujuk orang itu."

Orang itu bisa jadi siapa saja yang tinggal di sekitar rumah kami. Entah itu nenek tua dan cucunya yang pemarah di sebelah, atau pria setengah baya dan istrinya di seberang rumah, atau seorang janda yang tinggal di sebelahnya lagi. Mereka tahu aku ini apa, dan kenyataan itu mengusik mereka. Sejak Kesatuan NC datang ke kota dan mengadakan razia tiap bulan, ayah harus berurusan dengan semua orang di lingkungan ini agar aku bisa tetap tinggal bersama mereka. Agar para tetangga itu diam. Agar petugas razia tidak menemukanku.

"Ibu dan ayah selalu baik pada mereka," keluhku. "Teganya mereka membalas kebaikan itu dengan meminta uang tutup mulut."

"Mereka punya kebutuhan sendiri, Sayang."

"Kita juga, 'kan?" desakku. "Kebutuhan kita juga banyak!"

"Tapi, berkat dirimu kita bisa mencukupi semua kebutuhan itu." Ibu mengalihkan perhatianku ke ambang jendela, di mana sepot besar geranium disiram cahaya. Semua tanaman hias selalu tumbuh lebih subur jika diletakkan di kamarku. "Kau bilang, ingin punya rumah kaca sendiri."

"Dan memperbesar toko bungamu," kataku penuh harap. Bisa kulihat ibuku tersenyum lagi, lebih sedih dari sebelumnya. "Dan membuat taman sendiri. Dan kita bisa punya rumah yang lebih besar dan luas, mungkin dengan pagar tanaman dan pintu depan yang menghadap matahari pagi—"

Aku belum selesai bicara, tetapi mataku sudah terbuka. Aku berbaring di atas tempat tidur dengan seprai hijau-cokelat di dalam kamar yang berdinding suram dan berbau jeruk dari pengharum ruangan yang bercampur pendingin udara. Tidak ada cahaya matahari yang menembus kaca jendela, atau tanaman hias di pot-pot. Tidak ada ibu. Tidak ada teh hangat.

Lenganku yang terluka sudah diperban, tetapi hanya itu. Kakiku masih bengkak dan wajahku masih sakit. Pakaianku berbau tanah dan keringat.

Saat aku duduk, pintu di seberang tempat tidur mengayun terbuka. Seorang anak laki-laki berkacamata muncul dan membelalak melihatku.

"Dia sudah bangun?" Suara lain bertanya di luar.

"Tidak, belum," jawab laki-laki itu. Dia masih bertahan di ambang pintu, menghalangi jalan dengan badannya. "Kau mau sekalian kuambilkan cetak biru Kompleks Sentral, Raios?"—Dia menoleh ke balik bahunya, melihat respons orang yang diajaknya bicara. "Oke, kucari dulu."

Cowok itu menutup pintu. Ketika dia mendekat, barulah aku teringat. "Giok, 'kan? Antek-anteknya Raios?"

Dia memutar bola mata. Baru kusadari ternyata cowok itu jauh lebih kecil dari yang kukira, hanya tiga jari lebih tinggi dariku. Dia agak kerempeng, bahunya seperti akan jatuh ke depan, dan kesannya dia akan terbang kalau aku bersin telalu keras. Kacamata bundar memerosot di hidungnya, yang kemudian didorongnya kembali dengan jari tangannya yang kurus panjang-panjang. Rambutnya yang tipis disisir ke samping. Kalau dijajarkan dengan Raios yang menggenggam pisau dan garpu makan, Giok tampak seperti hidangan pencuci mulutnya Raios.

Namun, semua kesan lemahnya itu hilang saat aku melihat matanya berkilat di balik kacamatanya, penuh perhitungan dan berkesan waspada.

"Biar kutegaskan beberapa hal," katanya dengan suara rendah. "Pertama, kita tidak berteman. Kita cuma terpaksa sama-sama di sini karena keadaan. Kalau Raios mendadak marah dan mencoba memasukkanmu ke pengaduk semen, ada kemungkinan aku akan duduk menonton."

"Aku di sini gara-gara kau," lirihku tak percaya. "Cowok itu mengira aku naksir padanya ... tunggu—dia tidak pernah sungguhan memasukkan orang ke pengaduk semen, 'kan?"

"Kedua," lanjut Giok seolah tak mendengar ucapanku, "Raios tidak suka kalau orang menyembunyikan sesuatu darinya. Jadi, kalau kau mau bohong, bohonglah yang bagus. Dan jangan seret-seret aku."

"Tapi kau menyeretku ke dalam masalahmu."

"Ketiga, bekerjasamalah." Matanya melirik pintu baja seolah Raios bisa muncul mendadak menembusnya. Giok melanjutkan, "Kau mau bertahan hidup?"

"Tidak terlalu ...."

"Nah, aku mau bertahan hidup. Jadi, ikuti saja! Cara terbaik bagi mangsa seperti kita untuk bertahan hidup adalah dengan menempel di punggung predator. Untuk saat ini, yang paling aman adalah menempeli Raios. Pura-pura saja jadi pelayannya atau apalah!"

"Aku mau pulang ...."

"Pulang ke mana? Seluruh tempat sudah di bawah injakan NC. Berani taruhan, rumahmu sendiri pasti sudah tidak ada sekarang." Dia mendorong kacamatanya lagi. "Lagi pula, aku sudah tidak tahan jadi pelampiasan sendirian. Tiap dia kesal, orang pertama yang kena hajar pasti aku."

"Dia?"

"Raios."

"Kau sendiri yang menempel di pantat predator," ucapku.

"Punggung," ralatnya.

"Dan sekarang kau menyeretku supaya kau tidak dihajar sendirian."

"Hei, aku menolongmu, tahu!" Telunjuknya menghujam ke arahku. Dia mendesis, mati-matian menahan volume suaranya tetap rendah. "Sampai saat ini, orang-orang yang bisa bikin Raios kesal dan masih bertahan hidup cuma kita!"

"Aku, 'kan, tidak minta dibantu!" Aku jadi terpengaruh menahan suaraku. "Waktu itu kau tidak berniat membantuku juga! Kau takut kena hukum Agen Herde kalau Raios sampai membunuhku. Kau takut rencana kalian kabur dari sana kacau."

"Dan rencana kami memang sempat kacau!" balasnya. "Raios mendadak jadi goblok gara-gara kau—dia memanipulasi datamu supaya kau dikira Peledak murni! Padahal kau tergolong Cyone langka dan hampir pasti kau bakal dikirim ke Kompleks Sentral untuk dikuliti di lab kalau ketahuan!"

"Aku, 'kan, tidak minta!"

"Kalau saja dia tidak berusaha mengeluarkanmu, semua yang mengikutinya semalam ada kemungkinan selamat! Dan aku dikepung cewek-cewek psikopat karena Raios meninggalkanku di bangsal Jara sendirian—tiga cewek memegangiku ke tanah dan hampir memotong anuku andai saja Agen tidak menembaki mereka!"

"Rasain!"

"Kalau kau memang tidak merasa butuh bantuan—oke!" Dia mundur dariku. Tangannya mengacak-acak laci lemari di samping pintu, lalu mengeluarkan beberapa gulungan kertas biru besar. Sambil mengapit bawaannya di bawah lengan, Giok membuka pintu. Kepalanya mengedik keluar, seperti menantangku. Aku pun terpincang-pincah menyeret langkah keluar.

Ruangan ini tampak suram—semuanya semen, dinding-dinding berplester yang tidak dicat dan dibiarkan gelap. Tidak ada jendela di mana pun, hanya ada ventilasi. Raios sendiri duduk membelakangi kami di atas kursi-kursi kayu yang mengepung meja persegi. Di seberang ruangan, ubin lantai berubah warna menandai area dapur yang tampak berjamur jorok dan berantakan. Piring-piring kotor bertumpukan seperti menara di atas bak cuci.

Aku mengepalkan tangan untuk membulatkan tekad, lalu memukul daun pintu dengan tangan terkepal sampai Raios menoleh. Matanya yang biru terang masih tanpa ekspresi, seolah-olah dia tidak benar-benar menatap apa yang dilihatnya.

Aku ingin pulang ke rumahku! Kau tidak bisa menahanku di sini! Aku merancang-rancang kalimat dengan penuh keyakinan.

"Aku ingin—" Suaraku mengecil saat Raios berdiri. Satu tangannya memutar-mutar pena. "Aku ingin tahu apakah kau suka teh ... soalnya aku pandai bikin teh."

Aku menyeret langkah ke dapur, lalu mengambil ketel. Kulihat Giok menyengir lebar di ambang pintu kamar. Di bawah lengan kanannya yang terlipat, tangan kirinya mengacungkan ibu jari padaku.

Sementara aku membuat teh, Giok dan Raios membicarakan sesuatu sambil menatap cetak biru yang dihamparkan di atas meja. Kudengar mereka menyebut-nyebut "kapal bongkar muat", "bungker bawah tanah", dan "Rav" berkali kali.

"Masalahnya adalah kawasan di sekitar Pusat Karantina," kata Giok saat aku menunggu air mendidih. "Ada banyak drone pengintai di sana. Memutari area itu akan makan waktu. Jadi, menurutku kita masuk saja sekalian dan hancurkan tempat itu. Ada banyak sekali barang berguna yang bisa kita rampas di sana."

Aku membongkar laci-laci atas dan di bawah konter. Ada kotak biskuit, sebungkus keripik yang sudah terbuka, beberapa bumbu dapur yang tercampur-campur dan saling menempel. Untuk sesaat aku hampir berpikir pergi ke pasar atau supermarket untuk mengisi lemari, tetapi kemudian teringat ini bukan rumahku.

"—kudengar Truck dan yang lainnya juga bakal kabur kalau kita berhasil," kata Giok lagi saat aku mematikan kompor. "Mereka menghimpun Teleporter. Kalau rencana menyeberangkan Teleporter itu sukses, kita bisa nebeng. Aku kenal beberapa—kita bisa minta para Teleporter itu berangkat ke Kompleks 1 lebih dulu dan menghafal jalurnya. Dengan begitu, kita selangkah lebih dekat."

Sementara aku menyeduh teh, aku mulai memerhatikan polanya—Giok itu ular, Raios itu elang. Kalau salah langkah, Giok jadi mangsa. Namun, untuk saat ini, Giok mengendalikan situasi dan membuat elang menuruti arah kepalanya. Lagi pula, aku cukup yakin kalau Giok jadi ular, dia itu jenis ular yang berbisa.

Aku baru akan mengembalikan stoples gula yang sudah kosong ke tempatnya saat musuh-musuhku menampakkan diri. Dengan kaki yang masih bengkak, aku mendapat kekuatan misterius untuk melompat ke atas konter dan menjerit gila-gilaan. Raios dan Giok mendatangiku; Giok membentakku untuk diam, sementara Raios terbengong-bengong melihatku berjongkok di atas konter dapurnya.

"Lihat itu!" bentakku seraya menunjuk seekor tikus yang menghilang ke dalam lubang gelap dekat kompor dan dua ekor kecoak di antara piring-piring kotor dalam bak cuci. "Dapur kalian benar-benar jorok!"

Raios mengangkat tangannya ke arah dua kecoak bersaudara. Lalu, dengan satu gerakan mencengkram, keduanya meletup sampai meninggalkan bekas kecokelatan para piring. Salah satu antenanya masih utuh dan jatuh ke lantai.

"Apa yang kau lakukan?!" Aku menjerit lebih keras, terutama saat Raios mengarahkan tangan ke lubang di antara kompor dan konter. "Jangan! Hentikan!"

"Tapi, kau takut pada mereka," kata Raios seraya menautkan alisnya.

Seekor tikus melayang keluar dari lubang, tergantung pada ekornnya di udara, membuatku makin histeris. Jika Raios merapatkan kepalan tangannya, aku tak tahu lagi apa yang akan tersisa dari si hewan pengerat.

"Memang takut! Tapi bukan berarti aku menginginkan mereka diledakkan atau diremas sampai mati dengan Phantom! Hentikan itu! Buang saja keluar!"

"Jika kau biarkan makhluk ini kabur hari ini," kata Raios tajam, "dia akan terus kembali dan mengusikmu lagi. Satu-satunya pilihan adalah melenyapkannya."

"Ya Tuhan! Makhluk apa pun dia, tidak ada yang pantas mendapat kematian seperti itu!" Aku mulai sesenggukan. Aku takut tikus, tetapi aku lebih takut pada Raios. Sambil terisak-isak, aku memohon agar pemuda itu mengampuni si tikus.

"Turuti saja," desah Giok. "Suara cewek ini akan menarik patroli kemari."

Raios melepaskan tikusnya. Si hewan pengerat malang (tetapi tetap menjijikkan) langsung pergi dengan linglung setelah menghantam lantai dan menghilang ke belakang kompor. Kedua cowok itu bubar untuk mengecek apakah ada petugas patroli yang mendekat sementara aku masih berjongkok di atas konter, mencoba menenangkan diri.

Setelah Raios dan Giok kembali duduk mengelilingi cetak biru di atas meja, aku masih butuh semenit penuh sampai isakanku berhenti total.

Sambil terhuyung-huyung, aku menyajikan teh ke atas meja. Aku berdiri memeluk nampan dan menunggu seperti pelayan yang baik sampai disuruh duduk, tetapi tidak ada satu pun dari dua cowok itu yang menawariku untuk duduk.

Saat Raios menyeruput tehnya, dia mengernyit sedikit. Aku hampir yakin pulpen di tangannya akan menancap ke kerongkonganku kalau tehnya mengecewakan. Dengan gugup, aku berkata, "Gulanya tidak cukup banyak ... dan beberapa tehnya ada yang rusak ... jadi, aku ... anu ... kalau tehnya tidak enak ...."

"Tidak, tehnya sangat enak," katanya. Dia mengangkat wajah, dan entah karena pengaruh asap dari gelas teh atau ternyata dia memang manusia, tatapan mata birunya yang nyalang tampak menghangat untuk sesaat.

"Terima kasih," ucapku terlena oleh pujian singkat itu. Aku menyengir dan duduk tanpa disuruh.

"Kau harus berganti pakaian, bukan? Baumu seperti cucian kotor di wastafel," kata Giok di seberang meja. Dia melepaskan kacamatanya yang berembun dan mengelapnya ke baju. Aku langsung tahu dia mengusirku dari pembicaraan mereka.

Kutelan rasa sebalku. "Aku tidak punya baju selain yang melekat di badanku."

"Kau bisa pakai bajunya Giok," usul Raios.

"Ih!" Aku dan Giok berseru bersamaan, lalu kami saling tatap dengan sengit.

"Atau bajuku," desah Raios. "Hanya sementara. Jika petugas patroli sudah ditarik mundur dari sini nanti, kita bisa cari baju buatmu."

"Kau sangat baik," kataku terkejut. Anehnya, Raios sendiri tampak berkedut kaget di kursinya setelah mendengarku berkata begitu. Aku melirik Giok dan berucap sepenuh hati, "Beda dengan seseorang."

Giok menggerutu seraya memasang kembali kacamatanya, sedangkan aku beranjak kembali ke kamar untuk berganti pakaian.

Setelah memilih, aku mengenakan sweter dan celana training kepanjangan, lalu duduk merenung di atas tempat tidur. Giok dan Raios masih membicarakan sesuatu yang hanya bisa kudengar setengah-setengah, tetapi aku bisa menangkap garis besarnya bahwa mereka berencana menyeberangi perairan, pergi ke Pulau Baru di mana NC mulai membangun peradaban baru pula di sana.

Suara cicit tikus terdengar lagi, tetapi aku menahan diri agar tidak menjerit. Aku tidak mau melihat Raios beraksi dua kali.

Sembari bengong tak berguna, aku mengelupasi bekas luka di kakiku. Pikiranku melayang sesekali ke rumah, keluarga, dan teman-temanku. Kurasa, aku takkan pernah bertemu mereka lagi. Kalau pun bisa, mustahil aku bisa menyapa mereka dengan lagak biasa. Tidak ada orang normal yang mau dekat-dekat Fervent.

Pintu lalu terbuka dengan Giok yang masuk untuk mengembalikan semua cetak biru ke tempatnya semula. Dia mengamatiku untuk sesaat, lalu berjengit jijik pada luka di kakiku. Dia lantas menunjuk nakas di samping tempat tidur di mana kotak obat berada dan menyuruhku merawat lukaku sendiri.

"Raios ke mana?" tanyaku saat mendengar suara pintu ditutup.

"Berburu ubur-ubur."

"Kau Fervent apa?" tanyaku lagi sembari mengeluarkan kotak obat.

"Kalau kubilang aku Relevia, kau akan diam?"

"Relevia itu apa?"

Giok membuka salah satu laci meja di samping pintu, lalu mengeluarkan sebuah buku yang distapler. Tampak seperti buku buatan sendiri, berisi gambar-gambar tempelan dan tulisan tangan yang menerangkan tentang Fervor sampai ke detail terkecilnya. Saat Herde masih diadakan secara tidak resmi dan belum menjadi nama bangunan karantina seperti sekarang, yang dibagikan hanya selebaran-selebaran penuh tulisan yang menjelaskan gejala Fervor, bukan buku seperti ini.

"Kau membuatnya?" tanyaku lagi, yang dibalas anggukan kepala Giok. Dia duduk di atas lemari rendah berlaci, menekuri kotoran di sela kuku jari kakinya. Sementara aku mulai membaca bukunya dan lupa mengobati lukaku sendiri.

Lengkap sekali. Dengan tulisan kecil-kecil, Giok sampai merangkum sejarah NC, T. Ed Company, dan semua tragedi yang pernah melibatkan Fervent. Dia mengkategorikan Fervent-fervent itu pergenerasi, lalu memisahkan antara Multi-fervent dan Fervent biasa. Beberapa tabel penuh angka dan diagram terlampir di bagian belakangnya, menunjukkan perbandingan jumlah dan karakterisasi Fervor. Ada empat halaman yang masih kosong, diberi judul "Ledakan Fervor", "Rav", "Kompleks Sentral", dan "Proyek Arasy Raven". Kurasa, halaman-halaman itu kosong karena dia tidak punya data untuk diletakkan di sana.

Lalu, aku sampai pada halaman jenis-jenis Fervor. Relevia berada di halaman terakhir. Fervor ke-12 yang hampir tidak pernah disinggung oleh orang Herde.

"Benarkah kau punya kekuatan sehebat ini?" tanyaku sambil membelalak tak percaya. "Kesebelas Fervor jadi satu?"

Dia berdecak. "Polos amat. Tentu saja tidak. Raios yang Relevia."

Jawaban itu tidak membuatku lega sama sekali. "Berarti ... bukankah itu artinya dia tidak terhentikan?"

"Tidak juga. Justru Relevia yang paling rentan. Fisik manusia tidak bisa menanggung Fervor sebesar itu, mereka membutuhkan peranti untuk membendung Relevia agar tidak meledakkan badan mereka sampai musnah. Relevia yang mampu mengendalikan kekuatannya bisa jadi raja dunia; kalau salah sedikit, nyawa taruhannya. Lagi pula, Raios itu cacat."

Aku berjengit. "Kau jahat sekali."

"Tidak. Raios sungguhan cacat. Relevia mestinya punya semua fitur sempurna dari masing-masing Fervor, tapi Raios tidak. Cyone-nya tidak berguna untuk dirinya sendiri, energi api pada Calor-nya cenderung kecil, dan Brainware-nya pun bermasalah. Jadi, kau tidak perlu takut pikiranmu dibaca olehnya. Brainware-nya aneh, hanya sebatas merekonstruksi ingatan seseorang—dan ingatannya sendiri."

"Hah?"

"Dia bilang ibunya masih hidup, namanya Melynn. Tapi terakhir kucek, ibunya bernama Nava, dan wanita itu mati waktu umur Raios 4 tahun. Melynn itu ternyata bibinya—saudari ibunya—yang merawat Raios dari kecil, lalu menjualnya ke Herde saat umur Raios 12."

"Jadi, maksudmu Raios membuat ingatan palsu buat dirinya sendiri?" Mataku berkaca-kaca. "Kasihan sekali."

"Yang benar: goblok sekali. Kalau aku jadi dia, bakal kubunuh bibiku itu."

Aku menyeka mata. Rasanya memang salah kalau aku bersimpati dengan Raios, tetapi ....

"Bibinya juga Fervent?"

"Manusia normal. Kemungkinan besar, ibunya Raios yang Fervent, tapi entahlah. Tidak ada informasi jelas tentang ibunya. Bibinya juga tampak menyembunyikannya, barangkali malu bersaudara dengan Fervent."

Aku mulai mengeluarkan obat merah dan kapas dari kotak obat untuk kakiku. "Orang-orang normal memang jahat."

Giok mengangkat alis. "Bukannya orang tuamu orang normal."

"Iya, tapi mereka berbeda," tukasku. "Jadi, tentang Relevia ... kenapa Herde tidak mengeksposnya?"

"Kekuatan macam itu berbahaya kalau jadi buruan, 'kan? Lagi pula, Relevia itu sendiri adalah hasil mutasi. Ia baru saja dikategorikan jadi Fervor ke-12."

Aku mengernyit. "Tapi, dari tulisanmu tadi ... awal mula membludaknya jumlah Fervent justru sejak Relevia ditemukan ...."

"Kau harus lihat rekam jejaknya dari halaman pertama. Dulu, Fervent tidak dikategori seperti sekarang. Dulu jumlahnya sedikit sekali: telekinesis, pyrokinesis, teleporter—yah, klasifikasinya bahkan tidak seketat sekarang. Baru kemudian muncul yang namanya Relevia—ada beberapa nama penting yang kucatat kalau kau memerhatikan: Bintara, dia sekarang jadi Komandan NC; Timothy Edison, salah satu ketua T. Ed Company yang menjadi tonggak NC; Aga Morris, petinggi NC sekaligus T. Ed Co, tapi kabarnya kini dia jadi buronan karena bermasalah dengan Bintara dan menyalahi prosedur dalam pekerjaannya.

"Jadi, setelah para Relevia itu bermunculan, kekuatan super hasil mutasi itu mulai menurun ke generasi berikutnya. Mutasinya tidak lagi terjadi secara acak—mungkin masih ada segelintir yang acak, tapi mayoritasnya adalah faktor keturunan. Kekuatan supernya mulai bervariasi, dan muncullah istilah Fervent. Istilah Icore menjadi nama Fervor pertama yang dipatenkan."

Sementara dia berbicara, aku selesai merapikan perban di kakiku. Aku kembali berkutat dengan bukunya. "Jadi, pada dasarnya semua ini berawal dari Relevia? Tapi, Relevia baru dipatenkan setelah 11 Fervor lain diklasifikasikan lebih dulu?"

"Bisa dibilang begitu. Lagi pula, kalau kau telisik lagi, semua jenis kekuatan itu tampak tumpang tindih. Aku hampir yakin klasifikasi itu sendiri hanya demi kepentingan NC—untuk memudahkan mereka menangani Fervent dan memegang kendali. Phantom, Icore, Brainware, Peledak, atau apalah—semua itu hanya label yang dibuat NC dan T. Ed Company untuk membuat lingkup Fervor lebih sempit dan spesifik. Padahal variasinya sendiri seringkali tidak mewakili namanya. Contohnya saja, ada Brainware yang bisa membaca pikiran orang tapi tak bisa mengendalikannya, ada pula yang mampu mengendalikan pikiran dan ingatan orang lain tanpa tahu sama sekali isi pikiran yang bersangkutan, atau ada pula yang menguasai keduanya. NC hanya menyamaratakannya sebagai 'Brainware'. Semua kekuatan ini mengalami perubahan dengan sendirinya sampai fungsi mereka jadi tampak tumpang tindih."

"Bagaimana denganku?" tanyaku seraya membuka halaman Cyone. "Kekuatanku hanya berguna buat tumbuhan. Aku mempercepat pertumbuhan mereka, atau mengubah warnanya, kadang saat aku lepas kendali aku membuat tanaman tumbuh ke ukuran raksasa. Aku juga pernah menghidupkan bunga yang sudah layu walau jarang sekali itu terjadi."

"Aku punya teori: Cyone-mu bermutasi." Giok mencondongkan badannya ke depan seperti hendak mengatakan rahasia. "Aku kenal seorang Detektor di Herde, dia sekabin denganku. Kau tahu Detektor tidak bisa melacak Fervent yang sudah mati, 'kan? NC sampai menarik kesimpulan bahwa, saat Fervent mati, Fervor-nya ikut sirna—karenanya tidak ada Detektor yang mampu mendeteksinya pada mayat Fervent. Padahal, seseorang di T. Ed pernah mengajukan asumsi bahwa Fervor masih ada meski inangnya mati, tapi NC menolaknya. Nah, anak yang sekabin denganku ini, dia bisa mendeteksi Fervor orang yang sudah mati, tapi tampaknya anak bodoh itu tak menyadari kekuatannya sendiri. Ini membuktikan NC salah."

"NC dipenuhi orang-orang normal jahat sok berkuasa yang gemar memanfaatkan Fervent semaunya."

Giok menyengir. "Sepertinya kau benci banget sama manusia normal."

"Karena aku kenal banyak manusia normal egois yang tidak mau berdamai dengan Fervent di sebelah rumahnya," kataku. "Tak ada Fervent dan manusia normal yang bisa bekerja sama."

"Masa? Buktinya, Raios dan aku bisa kerja sama walau beberapa kali dia hendak membunuhku dan aku hampir menusuknya saat dia tidur. Kami hanya saling menyayangi dengan cara yang ekstrem, tahu?"

"Iya, tapi—" Aku mengerjap. "Tunggu, apa kau bilang?"

"Kejutan," ujar Giok tanpa semangat sungguhan. "Aku bukan Fervent. Aku manusia normal."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan



Yeaaay akhirnya bisa updateeeee

Mau main tebak-tebakan? Kalo ada yang bisa jawab, besok saya akan usahain langsung update chapter #83 \( '-' )/ udah siap sih, tapi belum di-edit, banyak typo-nya ._.

Kalo nda, hmm, mungkin tertunda beberapa hari (paling parah beberapa minggu) lagi ._.

Nih:

- Chapter berapa nama Raios dan Meredith pertama kali disebut dalam cerita?

- Chapter berapa nama Giok pertama kali disebut dalam cerita?

Pertanyaannya beranak

Dan ini bukan strategi marketing untuk /uhuk/ bikin kalian bolak balik buka RavAges sampai view-nya nambah /ehem/ bukan kok /uhuehekk/

Muehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehehe



Fanart Raios dan Meredith untuk mengambyarkan kita semua

∑d(°∀°d) dari iyan_akari



Fanart super UwU

(ノ◕ヮ◕)ノ✧ dari winnie_bukanberuang

Terima kasih para pemuda-pemudi bertalenta yang mewujudkan secuil demi secuil RavAges dalam bentuk art kece dan keren, di mana pun kalian berada ('。• ω •。') ♡ 


P.S. untuk para pengirim fanart tercinta, jangan lupa kasih uname wattpad-nya biar bisa di-tag saat di-repost yaaaaa.

Jika fanart-nya hanya untuk simpanan pribadi saya atau namanya pengen disamarkan, just tell me  (* ̄▽ ̄)b







Continue Reading

You'll Also Like

446K 33.1K 24
[ BUDAYAKAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] @rryaxx_x8 Adrea tidak percaya dengan yang namanya transmigrasi. Mungkin didalam novel itu wajar. Tapi bagai...
375K 23.7K 54
Mengandung kata kata kasar⚠ Ini hanya khayalan Author⚠ " kumohon..berhenti... jangan siksa paman kami, kumohon" teriak Aisyah. set set "berhenti...
26.2K 2.5K 17
if you don't like it, skip it INI FIKSI JANGAN DIBAWA KE REAL LIFE. Ga pandai buat deks jdi baca aja ya..
17.6K 884 22
Tentang anak berandalan yang di jodohkan dengan CEO yang sangat amat terkenal di kota nya. Ini tentang MARKNO ‼️ Jangan salah lapak‼️ BXB‼️ BL‼️ ga s...