My BadBoy Only One [slow Upda...

By fadiahnur_fn

143K 5.3K 162

Ketika hati kamu mulai menjatuhkan dirinya pada sosok yang sudah menjatuhkan hatinya di tempat lain. Apakah k... More

Part1
Part2
Part3
Part4
Part5
Part6
Part7
Part8
Part9.
Part 10
Part 11
Part 12
Part13.
Part14
Part 15
Part16
Part17.
Part 18.
Part19
Part 20
Part 21
Part 22.
Part 23.
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28.
Part29
Part30
Part31
Part 32.
Part 33.
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40.
Selembar Kisah
Part 41.
Part 43.
Part 44
Part 45
Part 46

Part 42.

388 19 4
By fadiahnur_fn

Jangan lupa di klik dulu bintangnya!
Vote jangan lupa yaaa ☆
Jaga kesehatan kaliaan!!!
Oh ya, maafin aku yaa. Aku lupa kalau Nadia itu kelas 11 bukan kelas 12 😂😂
Pantesan kemarin Nadia ngomel-ngomel ke aku*canda deng boong😊

Iris mata coklat madu itu menatap lurus kedepan menatap lebar layar televisinya yang sangat besar di depannya. Tetapi, pikirannya selalu saja mengarah pada pembicaraan tadi tentang ia dan Robi Bagaswara. Pria yang sudah berkepala empat itu masih terlihat cukup tampan untuk orang seusianya.

Tatapan tajam bak elang itu tak pernah lepas menatap Nadia saat itu. Bertanya keberadaan putranya dengan suara yang mengintimidasi untung ada Ditho disampingnya saat itu walaupun cowok itu hanya diam tak bergeming.

Nadia sering bertemu dengan Robi dulu saat ia masih bersama dengan Rahardian. Ya, Robi adalah ayah dari laki-laki yang pernah mengisi hatinya waktu itu. Robi bercerita bahwa Rahardian kembali menerbitkan senyumnya setelah sekian lama ia meninggalkan Indonesia. Ia sempat melamun sebentar sebelum Robi kembali menyadarkannya. Benarkah Rahardian mengeluarkan senyumnya hanya untuk dia?

Perlakuannya selama ini selalu membuatnya geram. Rahardian terlalu berbahaya, ia sangat menyeramkan. Mengingat saat malam itu, malam dimana Rahardian menjadi seperti apa yang belum pernah ia melihatnya. Iris mata yang gelap semakin gelap saat malam itu. Air mata yang mengalir begitu saja saat itu. Tapi, ia masih ingat sangat jelas tatapan lembut Rahardian saat melihatnya menangis walau secepat kilat berubah begitu saja. Rahardian terlalu banyak teka teki.

Tuk

Nadia mengerjap-ngerjap beberapa kali. Merasakan ketukan di kepalanya. Ia melihat didepannya sudah ada Fikri yang tertawa terbahak melihatnya kemudian beralih duduk disebelahnya mengalungkan tangannya di pundak Nadia.

"Lagi mikirin abang yang ganteng ini ya?"

Nadia menoleh lalu mendelik melihat abangnya yang super super sangat tinggi kepercayaan dirinya itu. Tatapan Nadia jatuh pada rambut abangnya yang masih basah serta wangi woody bercampur wangi mint khas abangnya sekali.

"Loh kok?"

"Kenapa lagi zeyeng?" Ucap Fikri sambil menaik turunkan alisnya.

Nadia melepaskan rangkulan abang nya lalu duduk menyamping memperhatikan abangnya.

"Kapan pulang? Kok aku ga tau?"

Fariz memutar kedua bola matanya lalu ikut duduk menyamping mengikuti Nadia.

"Kamu yang dari tadi diem serius nonton tv. Tapi pas abang balik lagi kamu masih diem dengan posisi yang sama. Ternyata bukan tv yang kamu tonton."

"Mau cerita? Hmm..."

Tatapan Fikri dalam menatap iris mata coklat madu itu didepannya. Nadia tetap bungkam tanpa ada sepatah kata keluar dari mulutnya. Tetapi lama kelamaan Nadia mendekat menidurkan kepalanya diatas paha Fikri. Dengan segera Fikri pun mengubah posisinya agar Nadia lebih nyaman tidur di pahanya.

"Bang, abang sama yang namanya Dira-dira itu udah pacaran atau belum?"

Kepala Fikri menunduk menatap Nadia yang menatapnya. Tangannya sibuk mengelus surai hitam milik Nadia.

"Kenapa nanya gitu?"

"Sebelum sama Dira abang pernah gak cinta sama cewek? Atau sebelum sama Dira abang pernah ga pacaran gitu sama orang?"

"Pernah, tapi ternyata makin berjalannya waktu abang sadar gak seharusnya abang punya perasaan sama cewe itu."

"Kenapa?"

"Perasaan ingin melindungi lebih mendominasi, dan cewe itu pun ga pernah menganggap lebih dari sekedar itu."

"Ternyata permasalahan soal perasaan itu lebih sulit ya, bang."

"Kamu udah gede ternyata."

Fikri mendongak menatap tv yang sedari tadi hanya menyala terabaikan. Hatinya menghangat merasakan dirinya sedekat ini dengan Nadia. Hatinya merasa lebih lega. Ia sadar kata-katanya sangat ditujukan untuk Nadia walaupun cewe itu tak menyadarinya.

"Apa yang sebenarnya ingin kamu ceritain Nadia?"

"Aku cuma takut sama perasaan bimbang yang terus-terusan ada dihati aku."

"Rahardian, membuat aku bingung sama semua ini. Rahardian selalu berhasil buat aku goyah, bang. Aku ga suka perasaan ini, bang. Sementara Fariz, dia udah berjuang sampai segininya buat aku."

"Kenapa... kenapa Rahardian selalu datang disaat yang ga tepat, Bang."

Suara keputusasaan keluar begitu saja dari mulut Nadia. Kelopak matanya menutup menghilangkan segala pemikiran yang ada pada pikiran dan hatinya. Terkadang ia begitu yakin, sangat yakin hatinya hanya untuk satu orang, Fariz. Ya, hatinya untuk Fariz. Tetapi waktu terus saja mengombang-ambing perasaannya. Dirinya selalu saja menyalahkan waktu.

Rahardian sudah begitu dalam memasuki relung hatinya sampai-sampai dirinya tak tau sudah berapa jauh Rahardian melangkah didalam hatinya.

"Kamu tanya hati kamu sendiri, Nadia. Perasaan kamu itu bisa nyakitin kamu sendiri nantinya. Kamu harus terus terang sama hati kamu. Kamu terlalu takut untuk mengambil resiko. Jangan pernah lari dari itu semua. Jangan sampai kamu menyakiti hati seseorang yang sudah sangat tulus sama kamu. Jangan sembarangan mempersilahkan seseorang masuk ke hati kamu dengan begitu mudah."

Mendengar itu, Nadia menghembuskan napasnya berat. Otaknya sudah menyimpan dengan baik kata-kata panjang Fikri yang seakan begitu pas menampar hatinya.

Tiba-tiba saja bunyi bel rumahnya begitu nyaring terdengar membuat Nadia bangkit begitu saja.

"Aku aja, bang." Ucapnya saat Fikri akan bangkit.

Tangannya perlahan membuka pintu lalu berjalan menuju gerbang hitam tinggi rumahnya. Ia melihat pada layar yang menunjukkan siapa yang datang kali ini. Tatapan matanya membelalak membuat Nadia langsung menyuruh penjaga rumahnya untuk membuka pintunya.

Cowok itu masuk dengan terburu-buru mengesampingkan banyaknya luka pada tubuhnya. "Cepat tutup pintunya." Ucap cowok itu dengan lirih.

Tubuhnya langsung berhambur begitu saja di pelukan Nadia. Tangannya mendekap erat tubuh Nadia dihadapannya menghirup dengan begitu dalam aroma tubuh Nadia di dekapannya.

Nadia merasakan detak jantung begitu cepat dari cowok didepannya. Tangannya masih menggantung belum membalas pelukan yang sangat erat dari cowok didepannya walaupun ia tau tubuh tegap dihadapannya ini sedang menahan sakit karena ringisan yang keluar begitu pelan tetapi telinga Nadia berhasil mendengarnya.

Ada perasaan khawatir, hatinya bergejolak begitu cepat. Nadia berusaha melepaskan pelukan erat cowok dihadapanya tetapi cowo itu semakin mengeratkan pelukannya.

"Beri aku waktu lima menit."

Lima kata yang keluar dari mulut cowok itu pun seperti sulit keluar dari bibir merah yang terdapat luka itu.

Beberapa menit setelahnya, cowok itu melepaskan pelukannya. Iris mata hitam gelap itu menatap Nadia begitu dalam yang membuat Nadia berusaha memahami tatapan itu. Tetapi nihil, tatapan mata itu sulit diartikan, tak bisa terbaca sama sekali.

Nadia menatap wajah cowo didepannya begitu banyak luka lebam.

"Ayo masuk kedalam dulu."

Ucap Nadia sembari mengalungkan tangan cowo itu di lehernya.

"Jangan memegang pergelangan tanganku Nadia." Tatapan mata Nadia pun langsung memperhatikan tangan besar itu.

"Ya tuhan, Rahardian. Kau benar-benar, gak habis pikir gue sama lo." Ucap Nadia melihat luka di pergelangan Rahardian dengan penuh prihatin. Bekas luka itu membentuk gelang di pergelangan tangannya.

Tatapan Nadia pun jatuh di pergelangan Rahardian yang satunya. Bekas luka itu sama. Apa cowo ini di ikat? Tapi dengan apa sampai begitu mengerikannya.

🍁🍁🍁

Pria berkepala empat itu masih terus berusaha menenangkan istrinya yang seminggu lebih ini menangisi putranya dengan pola makan yang sudah berantakan, tak ada senyum menghiasi bibir itu. Perasaannya mengatakan bahwa putranya sedang dalam kondisi bahaya.

"Tenanglah, aku juga sedang berusaha mencarinya. Ku pastikan semuanya akan baik baik saja." Tangannya tak berhenti mengusap bahu wanita yang sangat dicintainya itu.

Tiba-tiba saja ada yang masuk kedalam membuat Robi memandang laki-laki didepannya tajam. Entah sudah keberapa kali ia memecat orang-orang yang tidak bisa menemukan putranya itu. Robi melepaskan pelukannya lalu menyuruh pembantunya mengajak Lisha masuk ke kamarnya.

"Ma-maafkan saya tuan. Tidak ada rekam data apapun yang bisa saya temukan-"

Hembusan nafas kasar kembali keluar membuat laki-laki didepannya menunduk takut.

"KELUAR! SAYA PECAT KAMU HARI INI. JANGAN PERNAH KEMBALI!" Lagi emosinya kembali menguar.

Matanya mendesah frustasi. Matanya terpejam beberapa saat sebelum akhirnya bunyi pada telponnya membuatnya tersadar. Nomor tanpa nama tertera begitu saja.

Tanpa pikir panjang ia mengangkat telpon itu. Menunggu disebrang sana berbicara.

"Apa kabar kau, Dude?"

Suara berat itu masuk kependengarannya membuat giginya bergemelatuk. Tangannya mengepal keras. Betapa bencinya ia mendengar suara ini.

"Kau!"

"Rupanya kau masih mengingatku Robi Bagaswara."

"Jangan pernah mencoba untuk mengangguku lagi Arvandi Utama!"

Disebrang sana pun terdengar seringaian. Lihat betapa liciknya orang itu.

"Calm down. Rahardian Putra Bagaswara itukah nama putramu?" Dengan nada yang meremehkan.

"Kau! Apa yang kau lakukan pada anakku sialan!"

Tawa meremehkan kembali terdengar. Robi berusaha menahan napasnya sebentar untuk mengurangi amarahnya.

"Kau tau, aku akan membuat hidupmu seperti di neraka."

Tawa meremehkan lagi lagi terdengar membuat emosi Robi perlahan muncul. Gigi bergemelatuknya dengan urat-urat di sekitar dahinya sangat menunjukan bahwa ia sedang mati-matian menahan amarahnya meledak.

"Kalau begitu, anakmu akan lebih dulu ku celupkan ke api neraka. Kau tau? Anakmu dengan beraninya menembak putra semata wayangku. Akan kubuat Putramu lebih menderita."

"Ingat Robi anakmu akan kubuat ia selalu meraung dan meringis kesakitan."

"Kau-"

Tiba-tiba saja telponnya terputus. Tangan dengan kencangnya melempar ponsel yang baru ia gunakan membuat ponsel itu hancur menimpa dinding tinggi nan kokoh di istananya.

"FUCK YOU ARVANDI!"

Teriakan yang menggema membuat para maidnya bergidik ketakutan. Sungguh suara itu sangat menyeramkan.

"DAMIAN! KELUAR KAU SIALAN!" Teriakan yang masih dipenuhi amarah itu memanggil orang kepercayaannya. Tak ada lagi yang bisa ia tunggu.

Tak lama kemudian, pria tegap dengan kemeja putih berbalut jas hitam menghampirinya sembari menunduk saat sudah berada di depan Robi.

"Cari anakku di setiap persembunyian milik Arvandi. Bawa putraku kembali ke hadapan ku hidup-hidup jika aku melihat putraku tak bernyawa..."

Tatapan tajam Robi menembus iris mata abu didepannya. "Kau juga akan kubuat tak bernyawa."

"Siap, Tuan."

☠☠☠

Setelah Arvandi mematikan telpon itu sepihak. Tiba-tiba pria berjas hitam memasuki tempatnya dengan tatapan gelisah.

"Aku tidak mau mendengar berita buruk darimu, Juan."

Pria didepan Arvandi semakin dibuat menunduk. Ada ketakutan besar didalam dirinya. Arvandi adalah orang di luar nalarnya.

"Tapi, ini sangat penting Tuan." Ucap Juan sembari mendongak menatap penuh keyakinan ke arah Arvandi.

Melihat Arvandi diam dengan tatapan tajam menusuk ke arah Juan didepannya. Juan yang ditatap begitu tajamnya membuatnya menelan salivanya dengan sulit.

"Anak itu berhasil lolos Tuan. Dia sangat cerdik."

Kediaman menyelimuti dua orang pria tersebut. Tiba-tiba saja Arvandi berdiri mendekat ke arah Juan dengan tatapan yang tak lepas mengarah kepada pria dihadapannya.

"Kau benar-benar tidak berguna!"

Bisik Arvandi rendah. "Tapi aku senang sudah berhasil menyiksanya. Biarkan dia kabur, biarkan dia sekarat."

"Ku ingin kau mencari tau tentang gadis yang sedang dekat dengan anakku."

Tenggorokan yang begitu menyempit itu pun akhirnya bisa dengan mudah menelan salivanya saat ini.

"Baik, Tuan."

"Ada kabar penting lain Tuan."

Arvandi hanya menaikkan alis tebal yang tertata begitu rapih.

"Kita telah berhasil mendapatkan kerja sama dengan Mr. Abraham."

"Kerja yang bagus, Juan."
"Cari kelemahannya dengan cepat."


🍁🍁🍁

Iris mata coklat gelap milik Fikri pun terbelalak melihat siapa kini yang di bawa Nadia. Segera langkahnya mendekati dua orang tersebut. Tatapan bertanya Fikri hanya diabaikan begitu saja. Akhirnya Fikri langsung membantu membawa Rahardian ketempat dimana ia duduk tadi.

Helaan napas keluar begitu saja. Tanpa niat bersandar Rahardian hanya diam membungkuk merasakan sekujur tubuhnya kesakitan. Benar-benar Ayah dari bocah brengsek itu sama brengseknya dengan anaknya. Dia sama sekali tidak diberi waktu untuk bernapas sama sekali.

Beruntungnya semua penjaga mengikuti Pria sialan itu keluar untuk mengantarnya pulang-ke neraka kalau perlu. Rahardian tidak tau harus melangkah kemana. Tidak akan mungkin baginya jika ia pulang dengan keadaan yang tidak bisa dikatakan baik. Pasti Bundanya akan memarahinya habis-habisan. Apalagi Papanya ia akan begitu keras. Amarah Papahnya sering sekali membuatnya takut. Pria itu tidak kalah bengis dari manusia brengsek itu sialan. Berani-beraninya mereka mempermainkannya.

"Lo ga pernah berubah ya."

Entah itu pernyataan atau pertanyaan yang pasti suara Nadia membuat Rahardian tersadar dari lamunannya.

Rahardian hanya tersenyum tak sanggup berkata-kata. Mulutnya sangat perih.

"Ambil P3K Nad." Ucap Fikri lalu duduk disamping cowok itu.

"Oh iya" Nadia baru ingat karena dari tadi tatapannya hanya tertuju pada Rahardian yang kembali menunduk.

Setelah dilihatnya Nadia mulai menjauh. Fikri menoleh lalu menepuk bahu Rahardian tetapi hanya tepukan pelan sudah membuat Rahardian meringis.

Tangan Fikri langsung saja membuka sedikit baju bagian belakang milik Rahardian. Matanya terbuka lebar, ini diluar ekspetasinya. Fikri tau jika Rahardian ini berada di tangan bokapnya Fariz. Tapi, benarkah ? Ini yang dilakukan. Sungguh kali ini benar-benar diluar ekspetasinya. Luka cambukkan berada di punggung laki-laki itu sangat merah. Tak bisa membayangkan kalau itu dirinya. Apalagi cowok disampingnya berhasil kabur.

"Lo kesini naik apa?"

"Motor"

"Motor?"

Lagi dan lagi Rahardian hanya mengangguk posisinya benar-benar serba salah. Kali ini dirinya butuh berbaring tapi ia tak bisa. Berbaring sama saja menyakitinya. Berbicara saja rasanya sulit.

Tatapan mata Fikri menatap Nadia yang datang dengan kotak P3K nya serta Baskom air itu pun membantunya.

"Kamu jangan lupa bersihin punggungnya juga Nadia. Abang mau naik, ngantuk."

Ingin rasanya Nadia protes tapi apa boleh buat Abangnya tidak pernah mau mendengarkan jika rasa ngantuk padanya belum hilang. Memang kebo!

"Punggung lo kenapa?"

Tatapan Nadia menunggu jawaban Rahardian yang hanya menatapnya lembut. Nadia langsung membuang pandangannya kesamping. Jantungnya tak akan pernah kuat jika harus menatap iris mata itu.

"Boleh gue buka?" Lagi dan lagi Rahardian mengangguk membuat Nadia hanya bisa mengerti.

Dengan ragu-ragu Nadia membuka punggung tegap cowok disampingnya ini. Mulutnya terbuka melihat apa yang dilihatnya.

"Dian kamu?"

Senyum Rahardian terukir tipis walaupun Nadia tak bisa melihatnya. Tapi Rahardian tersenyum mendengar nama itu lagi. Hatinya menghangat. Sebenarnya jantungnya benar-benar tak bisa berhenti berdetak cepat saat berhadapan langsung dengan Nadia. Apalagi gadis ini sedang memegang dengan pelan punggunggnya.

"Maaf yaa kalo sakit."

"Hmm."

Sesekali Rahardian meringis. Pikiran Nadia selalu berpikir kenapa orang yang dekat dengannya selalu seperti ini? Selalu kesakitan. Memang ini bukan dirinya lah yang menyakiti. Tetapi selalu,

Tiba-tiba saja Nadia menitikan air matanya yang dengan cepat dihapusnya. Kenapa harus menangis Nadia? Airmatanya ternyata malah tumpah bertambah banyak. Mendengar suara helaan napas membuat Rahardian menoleh menatap Nadia. Lalu dengan cepat menghapus air mata Nadia.

"Ssstt jangan nangis."
"Kalau ngobatin aku bikin kamu nangis lebih baik gausa Nadia. Aku hanya butuh kamu disamping aku. Ngeliat kamu aja udah ngurangin rasa sakit aku perlahan."

Kepala Nadia dengan cepat menggeleng. Tatapan mata Nadia melihat Rahardian saja berbicara dengan sulit. Pasti itu sangat sakit.

"Diam, Dian. Aku mau ngobatin kamu dulu."

"Berbalik, Rahardian." Tukas Nadia saat melihat Rahardian masih belum berbalik.

"Jangan-"

"Ssst, cukup berbalik." Ucap Nadia pelan.

Tubuh tegap itu pun kembali memunggunginya membuat Nadia melakukan aktivitas sebelumnya.

Setelah selesai memoleskan salep di bagian luka Rahardian pun Nadia menyuruh cowo itu menghadap ke arahnya.

Tatapan Nadia sangat fokus membersihkan lukanya sebelum ia mengobatinya. Berbeda dengan Rahardian yang fokus memandang Nadia lekat-lekat. Ia sangat merindukan gadis di depannya ini. Bolehkah ia mengulang waktu dan membiarkan Nadia terus berada disampingnya tanpa orang-orang yang terus saja mengganggu mereka.

"Aku akan terus perjuangin kamu Nadia."

Suara rendah itu membuat Nadia berhenti mengusap kening Rahardian. Tatapan mereka bertemu membuat Nadia lagi-lagi menoleh memutuskan kontak mata mereka. Setelah itu Nadia melanjutkannya.

"Papa lo nemuin gue tadi di kafe. Dia nanyain lo dimana dan gue beneran ga tau kalau malam ini lo bakal dateng kesini."

"Mau ditelfon?" Tanya Nadia yang langsung mendapatkan gelengan dari Rahardian.

"Kenapa?"

Rahardian menggeleng lagi. Nadia hanya pasrah dengan jawaban itu.

"Boleh nginep disini? Seenggaknya sampai lebam dan luka di wajah aku menghilang."

Ucap Rahardian berusaha menahan rasa sakitnya.

"Kamu mau ngapain?" Seru Nadia saat melihat Rahardian ingin membuka bajunya.

Rahardian hanya diam lalu membuka bajunya. Nadia yang melihat itu pun langsung menutup matanya dengan cepat.

"Aku butuh kamu ngobatin aku Nadia."

Nadia pun membuka matanya. Lagi dan lagi Nadia hanya bisa terbelalak menatap tubuh Rahardian dipenuhi luka lebam.

Tanpa disadari Nadia maju mengusap bagian legam pada dada Rahardian dan menyusuri perut. Rahardian mati-matian menahan degup jantungnya. Apakah gadis didepannya ini tak sadar dengan tindakannya?

"Sakit ga?" Ucap Nadia polos mendongak menatap Rahardian yang ternyata jaraknya cukup dekat.

Tangan Nadia pun naik menggaruk tengkukknya yang tidak gatal. Pipinya mendadak memanas. Rahardian mengacak rambut Nadia gemas lalu mencubit pelan pipi Nadia yang merah.

"Eh kok malah makin merah pipinya." Ledek Rahardian saat pipi Nadia semakin memerah atau ini cuma perasaannya.

"Dian!"

Orang yang dipanggil pun hanya terkekeh saat di panggil namanya.

"Yaudah lanjutin lagi."

"Obatin sendiri." Kesal Nadia bangkit dari duduknya.

Sebelum Nadia berjalan, lengannya sudah ditarik oleh Rahardian membuat Nadia kembali terduduk di sofa.

"Apa?" Ketus Nadia mebuat Rahardian terkekeh lagi.

"Jangan ngambek dong, Ca."

"Makanya gausa ngeselin!"

"Iya iya"

Nadia pun mengambil obatnya lalu mengoleskan ke luka lebam milik Rahardian yang hanya terdiam sambil menatap Nadia didepannya.

"Aku masih punya kesempatan buat dapetin kamu kan, Ca?"

Mendengar itu membuat Nadia diam sebentar memilih untuk tidak menjawab tangannya pun fokus mengobati.

"Ada atau engga. Aku ga bakal lepasin kamu, Ca. Inget kamu punya aku. Selamanya akan selalu begitu."

Iris mata coklat madu itu memutar. Nadia sudah sangat hafal dengan kalimat itu. Kalimat yang selalu Rahardian ucapkan.

💫💫💫

Tadinya aku mau publish malem minggu tapi baru sempet hari ini.

Besok aku lanjutin USBN gais!
Doain ya biar lancar, aamiin😊

Kalian harus jaga kesehatan kalian!
Jangan lupa cuci tangan dan selalu menjaga kebersihan tubuh.
Kebersihan adalah sebagian dari iman.

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 217K 65
Kesepian yang selalu menemaninya. Ketakutan yang selalu menghantuinya. Beribu pertanyaan dan kebingungan yang selalu dipikirkannya. Ia adalah gadis b...
30.9M 1.8M 67
DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 3 SUDAH TAYANG di VIDIO! https://www.vidio.com/watch/7553656-ep-01-namaku-rea *** Rea men...
233K 3.6K 4
Beberapa kali #1 horor. #1 horror Februari 2022 Versi lengkap Bisa di baca di Dreame/Innovel. Jangan lupa tap Love untuk dukung Author. Sebelum baca...
6.6M 496K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...