RavAges

By E-Jazzy

1.1M 110K 44.4K

[Completed Chapter] Pada kepindahaannya yang ke-45, Leila kabur dari rumah. Dia melihat kacaunya dunia, serta... More

Keset Kaki
#1
#2
Guide to RavAges
#3
#4
#5
#6
#7
#8
#9
#10 - #29
#30
#31
#32
#33
#34
(~‾▿‾)~Check Point~(‾▿‾~)
(~‾▿‾)~Worldbuilding~(‾▿‾~)
#35
#36 - #51
#52
#53
#54
#55
#56
#58
#59
#60
#61
Kalian Question, Saya Answer
Kalian Masih Question, Saya Tetap Answer
#62
#63
#64
#65
#66
#67
#68
#69
#70
#71
#72
#73
#74
#75
#76
#77
#78
#79
#80
#81
#82
#83
#84
#85
#86
#87
#88
#89
#90
#91
#92
#93
#94
#95
#96
#97
#98
#99
#0
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- Tiga Tahun di RavAges -
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- QnA yang Terlambat 7 Bulan -
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- PO Buku & Readers' Gallery & Fun Facts -
ˎ₍•ʚ•₎ˏ MARI WAR ˎ₍•ʚ•₎ˏ
ˎ₍•ʚ•₎ˏ MARI WAR LAGI ˎ₍•ʚ•₎ˏ

#57

8.9K 1.3K 533
By E-Jazzy

| RavAges, #57 | 3890 words |

SESAK. SEPERTI ada sesuatu yang membebaniku. Udara terasa lebih panas daripada biasanya. Aku nyaris menyangka bahwa aku kembali terjebak dalam bagasi mobil, atau digencet reruntuhan lagi. Lalu, aku sadar bahwa yang ada di atasku ini Erion.

Entah bagaimana bisa kami (kecuali Alatas) jadi tak sadarkan diri setelah dikepung para Calor. Ketika membuka mata, kami berempat sudah ditumpuk seperti barang gelondongan—Truck tengkurap paling bawah, Alatas di atasnya, yang kemudian ditindih olehku, dan Erion paling atas. Ketika aku mencoba mendongak, kurasakan tangan Alatas menahan kepalaku.

"Mereka bisa masuk sewaktu-waktu," bisik Alatas parau.

"Siapa?" tanyaku dengan suara teredam di atas dadanya. Bibirku terasa kering dan mataku berkunang-kunang. "Ini bukan akal-akalanmu untuk menahanku di atasmu, 'kan?"

"Setengahnya iya."

Aku memaksa untuk mengangkat wajah dan melihat sekeliling. Ruangan ini lengang dan diterangi sebuah obor menyala pada satu sisi tembok. Di samping pintu, ada ventilasi besar serupa jendela, menampakkan siluet beberapa orang yang mondar-mandir di luar. Kepalang kaget, aku berpura-pura pingsan lagi meski orang-orang itu tak masuk.

"Siapa mereka?" tanyaku.

"Calor," bisik Alatas. "Kurasa, mereka memasok Arka di sini. Kekuatan kita teredam, dan mereka berwujud manusia—bukan api."

Tampaknya baru aku yang bangun. Erion tak bergerak di atasku, mendengkur dengan tangan terentang seolah dia tidur di atas kasur. Truck sama diamnya, nyaris seperti bantal raksasa yang kebetulan memiliki tangan dan kaki di bawah Alatas.

Aku ingin berguling ke samping, tetapi takut orang-orang di luar itu menyadari pergerakanku. Ketika aku menggerakkan kaki kanan yang pegal, Alatas berdengap lantaran lututku menumbuk pangkal pahanya. Buru-buru kuluruskan lagi kakiku.

"Perutku kram," keluhku sebagai pengalih atas apa yang terjadi barusan. Wajahku terasa lebih panas dari sebelumnya. "Kenapa kita ditumpuk seperti ini?"

Alatas meringis, "Mungkin mereka mau menjadikan kita kayu bakar."

"Tidak lucu, Alatas."

Aku berusaha bertahan untuk beberapa detik yang menyiksa, disengat hawa panas dari obor dan ketiadaan ruang untuk bernapas. Keresahan yang dulu kualami saat terkubur dan terjebak di antara reruntuhan kembali mengemuka. Ketika aku nyaris pingsan lagi, pintu mengayun terbuka.

"Kenapa ditumpuk seperti ini?!" protes seseorang. Suaranya rendah dan hampir selembut ibu, tetapi ini suara laki-laki. "Mereka, 'kan, bukan tahanan!"

"Maaf, Embre," sahut lelaki lainnya. "Kebiasaan."

Lelaki bersuara lembut yang dipanggil Embre itu melangkah mendekati kami. Dia baru menepuk bahuku sambil berkata, "Hei, Nak—" saat aku bangun mendadak dan menghantam bawah dagunya dengan kepalaku.

Alatas ikut bergerak dan menarik Erion bersamanya. Ketika mereka berguling menjauh, Truck terbangun sambil berteriak karena Alatas menggilas kakinya.

Dalam keadaan urgensi macam ini, insting bertahan hidupku bekerja gila-gilaan. Lengan kananku bergerak menyekap leher Embre sementara tangan kiriku menahan kedua tangannya ke belakang. Dia sedikit lebih besar dari Alatas, hampir setinggi Truck. Kurasa pria ini 30 tahun paling tua.

"Jangan masuk!" ancamku pada teman-temannya di luar. "Aku bisa patahkan leher teman kalian!"

Alatas bersiul seakan bangga padaku, Truck masih meringis meratapi kakinya, sementara Erion menguap dan bertanya-tanya kami di mana.

Hening sesaat, dan kupikir aku telah mengendalikan situasi—lalu para Calor di luar pintu malah terbahak, seolah aku baru saja melawak.

"Aku serius!" bentakku, masih mati-matian melawan rasa pusing dan sekujur tubuh yang terasa lembab oleh peluh. "Satu langkah saja, dan teman kalian—"

Kedua tangan Embre mendadak bebas karena aku hanya menahannya dengan satu tangan. Terlalu terpaku pada tangannya, aku luput menjaga lehernya tetap dalam cengkramanku. Ketika dia bergeser, aku melakukan kesalahan lagi karena sibuk mencoba mempertahankan cekikan. Sikunya langsung menempel pada bagian bawah daguku. Dengan begitu mudahnya, dia menukar posisi kami.

Aku melakukan apa yang memang harus kulakukan: memekik.

Kejadiannya cepat sekali. Tahu-tahu satu lengan Embre membelit leherku, sementara satu tangannya yang lain menahan kepala belakangku.

"Nah," kekeh Embre. "Ini baru namanya mematahkan leher."

Aku bisa merasakan tengkukku didorong pelan-pelan.

Dia bahkan tak perlu menahan tanganku. Tekanan yang dia buat mengundang kedua tanganku untuk menahan cekikannya di leher. Tenagaku lenyap dan hanya rasa panik yang menguasaiku. Sementara aku meronta, Alatas dan Truck bergerak menyerbu Embre. Namun, pria itu amat tangkas.

Sambil masih membawaku, Embre berkelit. Dia membungkuk menghindari Alatas, satu kakinya menendang perut Truck. Gerakannya membuat cekikan di leherku mengetat, lalu melonggar lagi ketika dia menegakkan tubuh kembali untuk menghantam wajah Alatas dengan ubun-ubunnya.

Aku megap-megap, tanganku mencakari lengannya dengan sia-sia. Mataku perih, penglihatanku mengabur. Kukira sebentar lagi aku akan menyusul ayah, tetapi kemudian Embre melonggarkan sekapannya dan melepaskanku.

Sambil terbatuk dengan air mata bercucuran, aku jatuh ke pelukan Erion yang masih tampak syok. Alatas dan Truck segera pasang badan di depan kami, tetapi mereka pun tampak sudah kepayahan. Truck tersengal sembari memegangi perutnya, sementara Alatas menutupi bibirnya yang mengalirkan darah.

"Padahal tadi kau punya kesempatan besar melumpuhkanku karena aku tak tahu kalian sudah bangun," decak Embre. "Buat apa kau menahan tanganku? Kalau kau bisa mencekikku dengan kuat, tanganku sendiri bakal tidak punya daya."

Truck menggeram, kentara sekali kesal habis ditendang.

Embre meliriknya, lalu memberi tahu dengan santai, "Kau dehidrasi. Cyone-mu bekerja dua kali lipat saat ini. Kalau kau mendorong sampai melewati batas, kau malah akan membunuh teman-temanmu."

"Apa?" Truck mengejang di tempatnya berdiri. "Apa maksudmu—?"

Embre menyambut beberapa botol air kemasan dari temannya, lantas mengopernya ke Truck dan Alatas. Menyaksikan kami yang keheranan, Embre menyergah tak sabar, "Kalian mau mati kekurangan cairan?! Minum!"

Lama sekali aku tak mendapat sensasi macam ini, sampai-sampai aku hampir melupakannya. Aku putus sekolah di umur ketiga belas, terakhir mendengar seorang guru membentak mungkin sekitaran umur itu juga. Seperti murid-murid bandel yang ketahuan bolos dan diteriaki untuk dihukum, kami buru-buru menandaskan isi botol tersebut.

Usai menyalak, Embre kembali lagi pada suaranya yang lembut dan ekspresi netral. Saat aku membasuh muka dan membantu Erion membasahi kepalanya, si Calor bertanya, "Apa Steeler satunya itu teman kalian?"

Nyaris aku lupa pada seorang Steeler yang menyupiri kami sampai kemari—Steeler yang membunuh teman sesamanya sendiri hanya karena Davin membantu kami. Steeler menyebalkan yang berhasil menangkal Brainware-ku dengan lagu Potong Bebek Angsa. Dengan segera aku menjawab, "Bukan."

"Baguslah," desah Embre. "Soalnya dia sudah ... yah ... mati."

Salah satu lelaki yang lebih kecil membisikkan sesuatu kepada Embre. Pria itu mengernyit, lantas menoleh lagi padaku dan mengoreksi, "Oh, ternyata belum mati. Pyro sedang berusaha membakar organ dalamnya."

Refleks, kupegangi Erion dengan lebih erat seolah itu bisa menunda giliran pembakarannya.

"Siapa Pyro?" tanya Truck. "Kutebak, setelah Steeler itu, kalian mau membakar kami juga?"

"Pyro pimpinan kami. Walau tidak ada yang menyukainya di sini, tapi dia yang terkuat." Embre mengedikkan bahunya. "Dan tenang saja, teman-teman Pascal adalah teman kami juga. Asal kalian tetap di sini dan tidak menampakkan diri—"

"Pascal?" Aku melupakan ketakutanku dan langsung menyeruak maju. Ingatanku melayang pada pemuda Calor yang membantuku dalam fasilitas NC sampai aku bertemu ayah. "Dia di sini?"

"Ya, tapi dia tidak bisa kemari. Nanti Pyro curiga kalau Steeler yang tengah dibakarnya bukan satu-satunya tawanan yang kami dapat di sini. Pokoknya, kalian diam saja di tempat ini dan usahakan—"

Sebelum Embre merampungkan kalimatnya, seorang bocah lelaki datang dengan berlari dan menubruknya dari belakang. Anak itu berbadan pendek gempal dengan pipi kemerahan yang menggantung di wajahnya. Tangannya yang montok-montok mencengkram Embre. Kuperkirakan, dia lebih muda dari Erion.

Setelah melihat si bocah dan Embre berjajar, barulah aku sadar mereka memakai pakaian yang serupa—jaket dan celana panjang hitam mengilap serta sepatu bot serupa milik prajurit NC. Bukan hanya mereka, teman-teman Embre yang sejak tadi berdiri di luar ruangan menonton kami pun berpakaian serupa. Jika bukan karena tudung jaketnya, mereka pasti benar-benar menyerupai orang NC.

"Pyro sudah tahu!" Si bocah gemuk memekik panik. Tangannya menarik-narik Embre seperti hendak melucuti celana pria itu. Pipi tembamnya menggelepar. "Dia mau tawanan yang ini dibawa ke arena sekarang juga!"

"Kenapa?!" sergah Embre. Tangannya menarik bagian belakang jaket si bocah lelaki agar anak itu berhenti menarik celananya. "Kau yang mengadu, ya, Ash?!"

"Bukan aku!" sanggah Ash. "Tapi, Steeler itu yang bilang! Sebelum Pyro membakarnya, dia bilang dia bersama para Multi-fervent yang berharga tinggi!"

"Sampaikan saja padanya bahwa para tawanan ini sudah mati dehidrasi!"

"Pascal sudah bilang begitu! Jadi, Pyro mau mayat mereka dibawa ke sana!"

Embre melepaskan si bocah lelaki, lantas buru-buru menyambar lebih banyak botol air kemasan untuk diberikan kepada kami. Dia meneriaki teman-temannya yang lain untuk menyiapkan empat lembar baju seragam. Kurasa, itu untuk kami.

Embre mendekati obor yang terkait di dinding, lalu menekan sesuatu. Apa pun yang dilakukannya membuat Alatas terkesiap. Sedetik kemudian, Embre dan Ash terbakar hidup-hidup sampai kami mundur serempak—berarti, Arka-nya ada di balik obor itu dan sudah tak aktif.

Lalu, Api mereka mengecil, lantas padam kurang dari lima detik, menyisakan pakaian dan rambut berasap tanpa cedera berarti. Seolah bereaksi pada asap yang memenuhi ruangan, terdengar bunyi serupa keran yang diputar, lalu pancuran yang sebelumnya tak kusadari di langit-langit pun menghujani kami dengan air dingin.

"Kenapa kalian tidak—" Alatas terbata saat pancuran berhenti menyirami kami. Tetesan air berjatuhan dari dari ujung hidung dan dagunya, membasuh bekas darah di atas bibirnya. Jarinya menunjuk-nunjuk Embre dan Ash bergantian. "Arka-nya sudah mati dan kalian masih—"

"Masih manusia, maksudmu?" Embre mengangkat sebelah alisnya. Tangannya menepuk-nepuk jaketnya. "Pakaian ini mengontrol dan menyimpan energi panas yang kami keluarkan, tahan api—produk keluaran terbaru NC."

Aku teringat tulisan pada sepotong kayu separuh hangus dekat jurang.

"Properti Milik NC; Fasilitas Pengembangan Calor," gumamku. "Aku melihat palangnya di dekat tebing sebelum kalian menangkap kami. Jadi, tempat ini—"

"Punya NC," jawab Embre. "Yah, sebelum kami menjadikannya sarang kami sendiri dan menyingkirkan mereka. Salah satu alasan kami masih menurut pada Pyro adalah, pria itu ditakuti orang NC. Hanya kehadiran Pyro di sini yang membuat NC tidak menyerang kemari. Sekarang, cukup bercakap-cakapnya karena kemunginan besar sebentar lagi kalian akan hangus."

Embre menilai kami selama beberapa saat, lalu menunjuk Erion.

"Kau Phantom?" tanyanya, yang dijawab Erion dengan anggukan ragu-ragu. "Coba perlihatkan padaku apa yang bisa kau lakukan."

Erion menyatukan jemari tangannya seperti mencubit udara, lalu menyentakkan celana Embre sampai melorot. Kupalingkan mukaku untuk menghindari pemandangan yang mungkin merusak mata, sementara Ash terbahak seraya bertepuk tangan.

"Lucu sekali," dengkus Embre seraya menaikkan celananya kembali. "Coba kita lihat bagaimana kau menangani yang ini."

Pria itu tiba-tiba melempar sebagian nyala api dari obor ke arah Erion. Dia melakukannya semudah melontarkan bola karet.

Spontan, aku menjerit dan berusaha menarik Erion. Lalu, sebongkah logam mencuat naik dari lantai, menjadi satu-satunya pembatas antara kami berempat dan bola api yang meluncur. Aku mendongak dan mendapati Alatas yang mendadak jadi tanggap. Dia menambah lapis demi lapis besi untuk menamengi kami.

Lempengan logam itu memanas tepat di depan wajahku, sampai Alatas melemparkannya kembali ke arah Embre.

"Jangan bercanda!" teriak Truck marah. Kemurkaannya kian menjadi saat melihat Embre menangkap lempengan logam panas itu dengan tangan kosong tanpa terluka. "Kalau pun Erion bisa menghalaunya, Phantom-nya malah akan menyebabkan badai api dan membunuh kami di sini!"

Embre terkekeh sarkastis. "Tergantung definisimu terhadap api."

Sebelum pria itu bisa melanjutkan, Erion keburu mendorongnya dengan Phantom sampai Embre menempel ke dinding. Meski tubuhnya kecil, Erion menyimpan kemarahan yang lebih besar daripada berat badan Truck.

Daun telinga Embre nyaris tersentuh jilatan api sampai pria itu meringis, "Multi-fervent, 'kan?"—Anehnya, dia terdengar girang. "Pintar sekali kau, Nak—meredam kekuatanku agar api melukaiku."

Terlampau fokus pada Embre, aku tak menyadari Ash, si bocah Calor yang sejak tadi berada dalam ruangan bersama kami. Entah sejak kapan anak itu sudah berada di antara kami. Jarinya menotol-notol telinga Erion. "Wah, apa ini yang kau pakai?"

Konsentrasi Erion buyar. Anak itu berjengit tak suka dan menyelip ke sisiku yang satunya, membiarkan Embre bebas dari Phantom.

"Itu alat bantu dengarnya." Aku memberi tahu Ash seraya berusaha menjauhkannya, tetapi bocah itu terlalu bebal untuk dihalau. "Dia butuh itu untuk mendengar—jangan disentil!"

"Tapi, dia, 'kan, punya telinga."

Ash mulai memutariku untuk mencapai Erion. Merasa terganggu, Erion terus berkelit menghindarinya seraya menjerit, Singkirkan anak itu dariku!

"Ash! Jangan ganggu mereka!" Embre berteriak sampai si bocah bandel membeku dan buru-buru keluar dari ruang tahanan kami. Pria itu meringis seraya menggosok sebelah telinganya. "Aku lupa, rasanya terbakar sesakit ini."

"Apa yang tadi mau kau katakan?" ungkit Truck. "Tentang api."

Embre meraih obor dari pengaitnya, lalu memamerkan kebolehannya beratraksi dengan lidah api. Dia membentuknya menjadi bola, pusaran api, dan sesekali menyemburkan api tambahan dari mulutnya.

Tak seorang pun dari kami berempat yang merasa terhibur. Berkali-kali pancuran di langit-langit bereaksi dan mengguyur kami dengan air dingin, tetapi api di tangan Embre tak kunjung padam.

"Menurutmu, kenapa Phantom dulunya bernama telekinesis?" tanya Embre seraya mempertahankan nyala api di telapak tangannya. "Oh, salah—mungkin pertanyaan yang tepat adalah ini: mengapa mereka mengubahnya menjadi Phantom?"

Boleh kukasih dia kejutan dengan meredam Calor-nya? Biar mampus tangannya itu, bisik Erion ke benakku. Dehidrasi dan kehilangan satu truk penuh roti membuatnya cepat marah.

"Jangan bertele-tele," desakku.

"Energi," jawab Embre sambil terkekeh-kekeh. Seluruh lengannya kini berselimut api. "Pada penggolongan pertama, pyrokinesis atau kekuatan mengendalikan api adalah cabang dari telekinesis. Tapi, kekuatan Phantom rata-rata terbatas pada materi, tergantung pada massanya, sedangkan api itu sendiri bukan materi. Itu salah satu alasan mereka mengubah namanya."

Ingatanku melayang pada saat pertama kali melihat Erion beraksi melawan gadis Icore. Aku, baru bangkit dari kubur, serta merta gelagapan sementara Alatas menjelaskan, Phantom, Nona Corona. Yang dulu digolongkan sebagai telekinesis, tetapi namanya berubah menjadi Phantom.

"Saat Phantom menggunakan kekuatannya dalam skala besar, akan ada reaksi berantai di luar kontrolnya. Pada tahap ini, Phantom nyaris menyentuh garis kekuatan Calor, Corona, dan Icore. Sayangnya, besarnya energi yang timbul justru luput dari kendali Phantom. Tapi ...."

Embre merentangkan tangannya dan membuat api menyembur ke mana-mana. Kami berempat segera merapat ke lantai, memekik-mekik parau. Embre tampak tak memedulikan kami yang mungkin sudah dalam keadaan setengah matang

"Kembali pada pernyataanku semula—tergantung sebagai apa kau memandang api," lanjutnya. "Phantom macam dirimu, adik kecil, tentu bisa mengakali batasan kekuatan itu."

Kobaran api menyurut seolah diserap oleh tubuh Embre, meninggalkan kami dalam kegelapan total. Namun, tak berapa lama kemudian, Embre kembali memasang obor ke kaitannya dalam keadaan menyala.

"Aku merasa dipermainkan!" geram Truck dengan gigi menggertak.

Di ambang pintu, seorang Calor berdiri sambil membawakan beberapa lembar pakaian. Dia terkekeh-kekeh menonton kami. Di sisinya, Ash, si bocah Calor, masih memandangi Erion dengan sorot penasaran.

"Jika di tengah arena nanti kalian masih tidak menemukan cara menandingi Pyro, kusarankan kalian bertahan semampunya sampai mendapat celah untuk kabur," kata Embre seraya melemparkan kepada kami masing-masing pakaian baru—kostum serupa milik mereka; jaket dan celana hitam panjang, lengkap dengan sepatunya yang, tak seperti kelihatannya, luar biasa ringan. Di bagian dalam tudung jaketnya, terdapat logo NC dan lambang api putih.

"Arena?" ulangku. "Memang kami akan diapakan?"

"Pyro adalah tirani yang adil," kekeh Embre, yang ditingkahi tawa teman Calor-nya seolah mereka sudah sering bertukar lelucon tersebut. "Kalian boleh mengeroyoknya dengan cara apa pun. Jika menang, kalian bebas. Jika kalah, hal bagusnya adalah kalian tidak punya waktu untuk merasa malu atas kekalahan itu—karena kalian pasti sudah jadi abu saat itu terjadi."

"Kami berempat," tukas Truck tajam. "Tiga di antara kami Cyone, dan Erion sendiri saja pasti sudah lebih dari cukup menghajar pimpinan kalian itu—"

"Aku ingat saat Pyro dikeroyok oleh 14 Multi-fervent yang ingin bebas dari sini, ada Peredam di antara mereka, dua di antaranya juga Cyone, dan empat lainnya memiliki Fervor Calor." Embre mengenang dengan sorot mata mirip orang berduka, terapi sudut bibirnya terangkat membentuk cengiran. "Keempat belasnya mati dalam tiga puluh menit."

Embre beranjak keluar, menyisakan kengerian di dalam ruangan tahanan kami. Namun, tepat sebelum pintu menutup, Ash malah menyelonong masuk. Si bocah Calor seketika menuju ke arah Erion, yang langsung menghindar. Kedua anak itu sempat mengelilingi ruangan dua kali layaknya dua bocah normal bermain kucing-kucingan sampai Embre kembali masuk dan menyeret Ash keluar.

Erion tampaknya tak menikmati permainan kejar-kejaran itu. Dia terus memelototiku dengan marah karena aku menertawakannya.

"Dia cuma mengajakmu bermain," kekehku geli.

Erion mendengkus, Dasar bocah.

Aku memutar bola mata. "Aku lupa kau pria akhir 30-an yang terjebak dalam badan anak kecil."

Erion mengerjap menatapku. Itu pujian, 'kan?

"Plasma," gumam Truck mendadak. Dia sudah berganti baju dan tengah mengancingkan jaketnya. "Kau bisa mengendalikan plasma dari api itu, Er."

Aku berdecak. "Kenapa kau tidak menyarankan yang lebih masuk akal seperti memadamkan apinya? Mengurangi temperatur, memutus rantai reaksinya, atau mengisolasinya agar tidak bereaksi dengan oksigen? Atau, kalau kau lupa, Erion bisa meredamnya. Calor tidak resistan terhadap Peredam."

Alatas, yang baru selesai mengenakan seragamnya, langsung mengangkat wajah dan menatapku terkagum-kagum seolah hal itu tak melintas di pikirannya sama sekali. Masih ada sisa bercak darah di atas bibirnya bekas hantaman Embre. Bekas lukanya tampak basah karena air pancuran, dan entah kenapa tanganku gatal sekali ingin menyekanya.

"Kau bisa melakukan semua itu," kata Alatas penuh harap sembari mengalihkan pandang ke Erion. "Ya, 'kan, Er?"

"14 Multi-fervent mati dalam tiga puluh menit," ungkit Truck lagi dengan desisan kesal. "Dua di antaranya Cyone! Cyone di bawah rata-rata sekali pun seharusnya bisa bertahan lebih lama dari itu dalam kobaran api. Dan kau dengar apa yang dikatakan Calor tadi? Ada Peredam di antara keempat belas Fervent itu, dan mereka tetap mati! Ditambah dengan pakaian ini—" Truck mencubiti lengan bajunya. "Aku tak tahu seragam ini terbuat dari serat apa, tapi jika keempat belas Multi-fervent itu difasilitasi dengan seragam yang sama, artinya api Pyro bertemperatur lebih dari yang bisa ditahan seragam ini. Kecuali kita bisa mengendalikan apinya, kita tamat! Siapa pun Pyro ini, dia tidak semata mengakibatkan kebakaran rumah."

Memangnya apa itu plasma?

Kusampaikan pertanyaan Erion pada Truck karena aku sendiri tak memiliki jawaban yang bagus. Plasma yang kutahu hanya sebatas TV plasma dan keadaan materi yang keempat. Tingkat pendidikanku hanya setara anak SMP, yang kemudian bersekolah sendiri di rumah dengan ibuku.

Sementara Truck membantu Erion memakai seragamnya, sambil menerangkan bagaimana beberapa nyala api dalam temperatur tinggi bisa saja memiliki plasma, Alatas bersandar pada dinding di sampingku.

"Tahu tidak," bisik pemuda itu seraya menyeka rambutnya yang basah. "Selama ini aku berpikir, kalau hidup kita seperti cerita—maka bagian para Steeler dan Icore adalah science fiction, sementara bagian para Calor adalah horror. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya."

Alih-alih menukas untuk apa dia memikirkan hal konyol itu, kudapati diriku menambahkan, "Kalau bagian Truck dan Erion jadi action."

Alatas memungkas, "Kita berdua jadi romance."

Aku hampir menonjok hidungnya sekali lagi. "Kita tidak ada romansa apa-apa, Alatas."

"Tadi kau tidur di atas dadaku, Leila."

"Ungkit itu lagi," ancamku, "akan kubuka lagi luka di atas bibirmu itu."

"Dark-romance," bisiknya seraya mengedip. Ketika tanganku berusaha mencengkram lehernya, Alatas berkelit ke sisi Truck.

"Kenapa kau belum berganti pakaian?" tanya Truck saat dia mendapatiku masih memeluk seragam pemberian para Calor.

Wajahku seketika memerah. "Aku menunggu kalian keluar dari tadi!"

Sementara Truck dan Erion masih tampak berusaha mencernanya, Alatas tersadar lebih dulu. Pemuda itu lantas menarik Truck dan Erion keluar sambil terus melontarkan, "Maaf, Leila."

Sesaat sebelum pintu tertutup, Truck menoleh dan menyempatkan diri untuk berkata, "Kadang aku lupa kau perempuan."

Aku meneriakkan kosakata paling kasar yang pernah kulontarkan seumur hidupku, lalu menendang pintunya sampai tertutup. Masih dengan emosi yang membuncah, aku berdiri di sudut ruangan dan berganti pakaian sambil terus memelototi jendela ventilasi, memastikan tak ada mata yang minta dicolok di sana. Sesekali, kudengar suara orang ribut di luar.

Setelah selesai berganti pakaian, aku membuka pintu dan dikejutkan oleh punggung Alatas yang oleng ke belakang. Rupanya sejak tadi dia bersandar di sana.

"Kenapa kau menempel ke pintu?!" sergahku marah. "Kalau kau berani mengintip—"

"Leila." Sebuah suara menginterupsiku.

Ketika aku mendongak, kudapati pemuda berambut hitam bertatanan seperti cucuk-cucuk kaktus pendek. Dia sedikit lebih tinggi dan besar dari Alatas, dan kali ini dia tak lagi mengenakan kaus hitam robek-robek seperti saat di dalam sel NC dulu. Seragam Calor membuatnya tampak lebih ramping, tetapi rahangnya yang kokoh dan cengiran jailnya masih sama.

"Pascal," gumamku lega karena melihatnya masih hidup. Saat dia membungkuk ke arahku dengan tangan terentang, aku memberi tahunya, "Aku bisa memberimu tendangan berputar lagi."

"Dengan senang hati kuterima," balasnya, tetapi dia tetap menarik diri dan membatalkan niatnya mendekapku. Pascal kemudian menunjuk Alatas yang masih mengernyit heran pada kami berdua. "Bocah ini tak membiarkanku masuk."

Alatas menahan napas mendengar Pascal. "Karena Leila sedang berganti pakaian, sialan!"

Jarang-jarang aku mendengar Alatas mengumpat. Ketika dia melakukannya, aku seperti melihat anak seumuran Erion yang tengah mencoba terlihat mengintimidasi.

"Bagaimana kalian bisa saling kenal?" tanya Truck yang sedari tadi berdiri di belakang Pascal.

"Aku menolong si cantik ini di fasilitas NC yang baru-baru ini meledak—"

Kusela jawaban Pascal, "Aku yang menyelamatkanmu dari sel itu."

"Oh, Sayang, kau tidak bisa keluar juga kalau aku tak menahan salah satu penjaga itu—"

"Kau masih di sana saat ini, mungkin tertimbun reruntuhan, kalau aku memutuskan untuk meninggalkanmu dalam sel."

"Maaf menyela obrolan hangat kalian." Embre menyeruak ke antara kami, lalu setengah mendorongku ke sisi. Dia kemudian menarik Alatas, lantas mengedik ke arah Truck dan Erion sebagai isyarat untuk mengikuti. "Tapi, Pyro sudah tak sabar untuk memanggang kalian."

Pascal menepuk bahu Embre dan bertanya dengan sengit, "Kenapa kau selamatkan keempatnya? Bukannya aku sudah bilang, bawa yang perempuan saja?"

Erion melakukan gerakan mendorong dengan sikunya sampai Pascal menempel ke tembok lorong. Pemuda itu tampak ditekan sedemikian rupa ke sana sampai-sampai kulit wajahnya seperti melar diterjang angin badai.

"Dan bocah menggemaskan ini juga," tambah Pascal cepat-cepat sebelum Erion melancarkan serangan tambahan. Begitu Erion melepaskannya, Pascal kembali memasang tampang sebal. "Jangan tersinggung. Tapi, seandainya kalian bertiga langsung dibawa ke Pyro, Steeler tadi mungkin takkan mengadu ada tahanan lain di sini, dan Leila bisa selamat."

"Kalau kau berani menahanku di sini sementara Erion diserahkan untuk dibakar di sana, aku akan meloncat sendiri ke arena," tukasku tajam.

Kuikuti Truck dan seorang pria Calor lain yang berjalan paling depan, Alatas di sisiku, dan Erion di sampingku yang satu lagi.

Di belakangku, Pascal masih saja mencecar Embre, "Serius, kenapa kau bawa keempatnya? Padahal tadi, 'kan, aku suruh cuma—"

"Yang besar itu melindungi si bocah saat kami menemukan mereka." Embre menunjuk Truck tepat ketika aku menoleh untuk mendengar jawabannya. Pria itu kemudian beralih menunjuk Alatas. "Dan si kurus ini menolak melepas ceweknya—dia mengira kami bakal membakar cewek itu. Ya, kami bawa saja semuanya."

Aku kembali menghadap depan. Tanpa bisa kutahan, mataku melirik Alatas. Dia masih tampak risi diapit para Calor.

Dengan suara yang begitu kecil, aku berbisik, "Makasih."

Alatas akhirnya menoleh ke arahku. Dengan tampang melongo dia bertanya, "Ha? Kau bilang sesuatu, Leila?"

"Nggak apa-apa," kataku.

Erion tiba-tiba menyelip ke antara aku dan Alatas, tangannya berkeringat memegangi lenganku. Tak lama kemudian, dia menyusul Truck. Anak itu tampak tegang. Aku hampir berniat menenangkannya bahwa kami akan baik-baik saja, tetapi kemudian aku tahu alasannya bertingkah aneh.

"Itu alat apa, sih? Kenapa kelihatannya keren, mencantol di telinga seperti itu?" Ash bertanya sambil terus mengekoriku. Makin kuminta anak itu untuk tak mengganggu Erion, makin Ash rewel. "Kenapa dia pakai kalung senter begitu—apa nggak berat? Senternya juga sudah mati dan pecah begitu. Eh, apa kakak ini ibunya atau saudarinya? Kalian dari mana? Anak itu dari Pusat Karantina atau Herde? Kalian pernah diciduk NC, belum? Anak yang di depan itu kenapa tidak bicara sejak tadi—"

Embre menarik tudung jaket Ash dan menyuruh anak itu jalan di belakang. Pria itu kemudian menyusul dan berjalan di sampingku seraya menenteng ransel dan tas selempang milik kami. Seorang Calor lain di sisinya membawa senjata api milik Alatas.

"Barang-barang kalian tidak kami apa-apakan," kata Embre bak tukang penitipan barang nan baik hati, "tapi untuk sementara, akan kusimpan. Katakanlah ada keajaiban dan kalian masih utuh dalam beberapa menit ke depan, ambil saja tas kalian kembali. Tapi, kalau ada yang mati, barang-barang kalian jadi milik kami."

"Aku ingin mengecek sesuatu," kataku seraya merebut ranselku dengan cepat.

Kuacak-acak isinya, yang tampaknya masih utuh. Pakaian ganti, sisa botol air, beberapa bungkus roti pemberian Marin si Steeler ....

Ada. Kancing NC milik ayah masih ada, bernoda darah dan debu tanah, terbungkus kaus kaki bersama persediaan baterai untuk senter Erion.

Aku baru akan bernapas lega dan menutup kembali tas itu ketika Embre merebutnya dari tanganku. Matanya membelalak, tertuju pada satu titik. Rupanya sejak tadi dia mengintip saat aku memastikan kancing milik ayah masih di sana.

Embre berhenti berjalan, begitu pun aku dan Alatas. Barisan kami macet di tengah lorong sampai Truck, Erion, dan satu Calor di depan ikut berhenti.

"Dari mana kau dapat—" Embre menahan napas selama beberapa detik. Ketika mengembus napas lagi, dia justru gemetaran. Ketika pria itu mendongak, matanya tampak goyah menatapku. "Ada hubungan apa kau dengan Raven?"

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Fanart!!!!!!!
Dari seseorang yang uname wattpadnya belom saya ketahui :')
Bagi yang merasa memiliki fanart cantik ini,
mohon mengaku
★≡≡\('△'\)

//guling-guling

Alatas kedeketaaaan (*ノдノ)



Truck mencoba galak '-')

Karena kakinya terinjak

oleh Alatas



Erion imut pas ngantuk:
(ㆁᴗㆁ✿)

Saya mencoba imut pas ngantuk:
(≖ᴗ≖✿)



Continue Reading

You'll Also Like

1.5K 192 9
Di baca aja saya sering sering up ko. Perkumpulan kapal giemmy lilyn dan orine
668K 51.1K 45
(Diharapkan follow terlebih dahulu sebelum membaca🙏) Kisah seorang gadis bernama FEBYANA(Ana) yang bertransmigrasi ke dalam novel yang dia baca keti...
5.2K 343 11
Tentang anak berandalan yang di jodohkan dengan CEO yang sangat amat terkenal di kota nya. Ini tentang MARKNO ‼️ Jangan salah lapak‼️ BXB‼️ BL‼️ ga s...
47K 2.4K 10
Sosok itu muncul diatas ranjangnya, seperti sebuah cahaya namun berubah menjadi manusia. [on going] Nomin Jeno Jaemin Mature content M_preg