RavAges

By E-Jazzy

1.1M 110K 44.4K

[Completed Chapter] Pada kepindahaannya yang ke-45, Leila kabur dari rumah. Dia melihat kacaunya dunia, serta... More

Keset Kaki
#1
#2
Guide to RavAges
#3
#4
#5
#6
#7
#8
#9
#10 - #29
#30
#31
#32
#33
#34
(~‾▿‾)~Check Point~(‾▿‾~)
(~‾▿‾)~Worldbuilding~(‾▿‾~)
#36 - #51
#52
#53
#54
#55
#56
#57
#58
#59
#60
#61
Kalian Question, Saya Answer
Kalian Masih Question, Saya Tetap Answer
#62
#63
#64
#65
#66
#67
#68
#69
#70
#71
#72
#73
#74
#75
#76
#77
#78
#79
#80
#81
#82
#83
#84
#85
#86
#87
#88
#89
#90
#91
#92
#93
#94
#95
#96
#97
#98
#99
#0
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- Tiga Tahun di RavAges -
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- QnA yang Terlambat 7 Bulan -
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- PO Buku & Readers' Gallery & Fun Facts -
ˎ₍•ʚ•₎ˏ MARI WAR ˎ₍•ʚ•₎ˏ
ˎ₍•ʚ•₎ˏ MARI WAR LAGI ˎ₍•ʚ•₎ˏ

#35

13.8K 1.7K 676
By E-Jazzy

| RavAges, #35 | 4805 words |

MEREDITH TIDAK ikut bersama kami. Gadis itu semata ditinggalkan di bungker kecil dalam gorong-gorong. Raios bilang ini semua untuk keselamatan pacarnya.

"Hanya ada satu kamar dan toilet di dalam sini," kataku terkejut saat mengintip ke dalam bungker itu—kecil, berbau pengharum ruangan yang terlalu menyengat, dan hanya ada sedikit panganan tersisa. "Kau akan meninggalkannya di sini?"

Saat Raios dan aku beradu pandang, bisa kurasakan semua mata tertuju ke arahku. Memang, kenekatan dan kebodohan itu berbeda tipis. Aku malah menantang Raios di saat hubungan kami hanya dijalin oleh benang tipis berlabel 'mutualisme' sebagai satu-satunya alasan Raios dan aku belum saling bunuh.

"Akan ada temanku yang datang dan menjemputnya," ungkap Raios. "Dia akan membawa Meredith ke tempat persembunyian lain."

"Siapa?"

"Kau tidak perlu tahu."

"Laki-laki? Fervent?" terkaku. Karena Raios tidak kunjung menjawab, aku tahu terkaanku benar. Aku menggeleng dengan ngeri. "Dalam keadaan seperti ini, kau memercayakan Meredith—satu-satunya perempuan waras selain aku—kepada seorang laki-laki?"

Truck mengeluarkan suara terkekeh tajam menyindir. "Seksis."

"Kata orang yang ingin meninggalkanku di bawah reruntuhan karena aku perempuan," balasku. Aku berpaling dari para laki-laki. Kuulurkan tanganku kepada Meredith, mengajaknya keluar dari bungker sempit itu. "Kalau Raios tidak mau membawamu, aku yang akan melakukannya."

"Kau gila?" sahut Raios. Tangannya mencengkram bahuku, memaksaku berbalik. "Kau pikir aku akan membawa Meredith ke Kompleks Sentral? Mengantarnya langsung kepada orang-orang yang langsung akan menangkapnya?"

"Kita semua akan tertangkap jika ketahuan," tukasku.

Alatas mencoba menyela, "Leila—"

Namun, aku tidak bisa disela. "Bagaimana jika temanmu itu malah melakukan sesuatu kepadanya? Ya, baiklah, Meredith seorang Corona. Tapi, Peledak hanya aktif di tempat tertentu. Jika dia meledak di sini, dia juga ikut mati!"

"Leila," panggil Meredith. Tangannya menarikku sampai separuh badanku terjulur masuk ke dalam bungker. Gadis itu merengkuhku kuat. Tampak seperti pelukan, tetapi aku merasakan peringatan tajam darinya untuk tidak bicara lagi. Jarinya mencengkram bahuku. Bahkan tanpa semua respons fisiknya, aku bisa merasakan dengan jelas gadis itu ketakutan. "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Aku akan baik-baik saja. Teman Raios bisa dipercaya."

Dia melepaskan pelukan kami, lalu buru-buru meraih tanganku. Dia tampak seperti sedang menyalamiku, tetapi aku bisa merasakan secarik kertas kecil yang ditekannya ke telapak tanganku. "Semoga kita bisa bertemu lagi. Kau teman yang baik, Leila."

Aku melirik sekilas ke tangannya yang gemetaran, kemudian mengangguk.

Aku menyingkir dari ambang pintu bungker dan membiarkan Raios memberi ciuman perpisahan kepada Meredith. Saat kulihat Raios tampak seperti ingin menyedot habis wajah gadis itu, kakiku nyaris melayang ke punggungnya. Aku ingin menginjak-injaknya.

"Sudahlah, Leila," bujuk Alatas saat aku menghampirinya. "Aku yakin Meredith memang lebih aman di sini."

Aku tidak berani menyanggah Alatas saat pandanganku jatuh ke sebelah kakinya yang patah karenaku—walau sedikit, aku pun masih bisa merasa bersalah. Dia berdiri dengan tongkat penyangga yang dibuatnya dari logam hasil mencungkili pipa got. Aku sempat terkagum-kagum melihatnya menempel-nempel logam cair dan menjadikannya padat semudah mengolah adonan dari tanah liat.

"Lagi pula cewek itu mungkin akan menyulitkan kita," gumam Truck. "Dia sama sekali bukan tipe petarung. Memang lebih baik dia di sana daripada mengikuti kita ke Kompleks Sentral."

Kugertakkan gigiku. Hampir saja aku akan mengajak Truck berkelahi, tetapi Alatas menarik sikuku. Matanya melirik tanganku yang terkepal. Lantas kusadari kertas kecil dari Meredith menyembul keluar dari sela jariku.

"Cepat jalan," suruh Raios seraya melewati kami. Buru-buru kujejalkan kertas itu ke saku celanaku yang tidak robek.

Kami menelusuri terowongan selama setengah jam atau lebih untuk sampai ke ceruk yang menuntun kami pada ruang bawah tanah besar berdinding logam. Namun, ruang bawah tanah itu kosong dan berbau busuk.

"Ini ... markas Steeler?" tanya Alatas.

Raios berdecak sembari mengelilingi ruang bawah tanah itu. "Sudah dikosongkan. Para Steeler itu pasti tertangkap oleh Kesatuan Pemburu semalam."

"Tapi, kami sudah membunuh semuanya semalam," sanggah Truck. "Hanya dua atau tiga yang berhasil lolos."

"Kau kira Kesatuan Pemburu yang menyerang kemari hanya itu? Mereka membagi pasukan saat merazia tempat-tempat macam ini. Yang kalian hadapi semalam tidak sampai seperempatnya," tukas Raios. Dia memanjat keluar ceruk seraya menggerutu. "Tidak ada yang bisa dikais lagi di sini."

Selama perjalanan keluar dari gorong-gorong, tidak ada yang bicara sama sekali. Raios memimpin di depan, tidak menoleh atau pun menunggu. Dia bersikap seolah-olah kami tidak ada. Truck dan Alatas menjaga jarak aman di belakang Raios, sementara aku di belakang mereka berusaha menyeret Erion yang masih terkantuk-kantuk. Anak itu menguap tiga kali dengan kepala yang terangguk-angguk lemah sampai kami keluar dari pipa pembuangan.

"Kau, sih," bisikku seraya menggoyang-goyangkan gandengan tanganku dengan Erion. Anak itu sempat tersandung bebatuan begitu kami naik ke permukaan. "Kau tidak tidur semalaman dan malah mengobrolkan makanan dengan Truck."

Kepala Erion bergoyang lemah, miring kanan-kiri, tertunduk dan terdongak. Dalam keadaan setengah sadar seperti itu, pikirannya masih menyenandungkan, Roti kismis, susu, bakpau, telur rebus, nasi ....

"Di mana tepatnya Kompleks Sentral ini?" Alatas memecahkan kesunyian setelah beberapa jam belakangan kami berjalan tanpa saling bicara.

Raios menjawab tanpa menoleh. "Dari sini, kita mesti melewati Kompleks 4, Kompleks 12, dan Kompleks 1 untuk sampai di sana."

Aku mungkin tidak ingat letak-letak kompleks itu beradasarkan penjelasan Neil dan Op sebelum mereka meneleportasi kami, tetapi aku jelas ingat susunan kompleks-kompleks di Pulau Baru sama sekali tidak beraturan atau tersusun berdasarkan angka seperti kompleks yang lama. Semua Kompleks di sini tersebar secara acak.

"Kira-kira saja," kataku sambil mengguncangkan tangan Erion agar dia tetap bangun. "Butuh berapa lama kita sampai kalau jalan kaki?"

"3 bulan kalau kita jalan kaki 12 jam sehari. Tapi, kita bisa memotong jalan kalau bisa masuk ke kompleks. Kalau kita lolos dari Penjaga, Pemburu, dan Pengawas, kita bisa mencuri mobil atau kendaraan lainnya. 5 hari pasti sampai."

"Baiklah," komentar Truck. "Kedengarannya mudah."

"Dan, bagaimana dengan pasukan Fervent yang kau himpun itu?" tanyaku.

"Mereka di Kompleks 12." Raios menjeda sebentar, seperti mempertimbangkan untuk melanjutkan pembicaraan atau tidak. Mungkin dia masih marah mengenai yang semalam, tetapi aku tidak yakin. Meski pikirannya sudah lebih terbuka sejak aku mengambil pin aneh miliknya, aku masih kesulitan menentukan emosinya.

"Lalu?" desakku. "Apakah kita mesti berjalan sebagai pasukan besar, masuk ke Kompleks 1 sampai ke Kompleks Sentral."

"Itu mustahil. Kompleks 1 adalah sarang Kesatuan Pemburu. Tidak ada Fervent yang pernah masuk ke sana dan keluar lagi. Aku bahkan tidak pernah bisa masuk ke sana dan mesti memutarinya—itulah yang akan membuat perjalanan jadi sampai berbulan-bulan jika kita jalan kaki. Kita harus tetap berada di Garis Merah."

"Memutari sebuah kompleks," Truck mulai menggerutu. "Kita semua akan mati di perjalanan."

Erion makin terseok di sampingku. Perutnya berbunyi karena kami tidak makan apa-apa sebelum berangkat. Aku mencoba menggendongnya, tetapi anak-anak yang pernah kugendong saat umurku 13 hanya keponakanku yang masih dua tahun. Anak 10 tahun tidak seringan itu meski pun Erion begitu kurus. Lagi pula, tubuhku sendiri nyaris tak berdaging.

"Sini," tawar Alatas yang berbalik ke arah kami.

"Kakimu patah," tukasku.

Erion meraih-raihkan tangannya ke arah Truck. Yang itu saja. Kayak bantal berjalan.

Di punggung Truck, Erion tidak langsung tertidur. Dia masih menguap beberapa kali dan meracau tentang es jeruk dan jus alpukat ke dalam kepalaku. Sampai akhirnya dia tidak bisa menahan lagi, Erion merengek seperti bocah ... yah, seumurannya. Kapan kita cari makan?!

Sabar, Er, kataku. Ada makanan di ransel Alatas. Tapi kita tidak bisa mengeluarkannya di depan Raios. Dia akan makin curiga jika melihat panganan dari dapurnya berpindah ke tas kita.

Erion menumbukkan tumitnya di pinggang Truck. Jari anak itu menarik rambut Truck seperti mengarahkan kemudi.

"Dia ingin buang air," kataku kepada Truck. Kutarik ransel Alatas dan menyerahkannya ke Truck. "Sekalian ganti bajunya."

"Tapi, isi tas ini—" Truck menghentikan ucapannya saat kupelototi. Saat mataku melirik Raios, barulah dia paham dan membawa Erion ke balik pepohonan.

Raios ikut berhenti di depan, duduk di antara bebatuan dan beton untuk menunggu. Jadi, Alatas dan aku duduk bersandar di beton lain, masih mencoba menjaga jarak dengan Raios.

"Kau bisa ikut mereka jika lapar," bisikku kepada Alatas. Kulirik kakinya yang dibidai. Tangannya memeluk tongkat penyangga dan senjata laras panjang yang dulunya milik Raios. "Bilang saja kau ingin mengganti perban, dan perbannya di tas yang tadi. Biar aku yang awasi Raios di sini."

"Dan meninggalkanmu dengan Raios? Tidak. Aku tidak apa-apa."

Selama beberapa lama kami diam mengamati tiang lampu yang nyala-redup di antara reruntuhan. Masih ada tiang listrik yang miring dengan kabel-kabel berserabutan yang sesekali memercikkan listrik, tumpang tindih dengan pepohonanan yang dipenuhi kelip cahaya merah cat semprot.

"Kau pernah bilang tumbuhan tidak menjadi Fervent saat Ledakan Fervor, 'kan?" tanyaku.

"Hei, kau ingat penjelasanku." Alatas menyengir. "Iya. Mereka hanya tumbuh dan mati lebih cepat dari normalnya. Kenapa?"

"Bagaimana kalau mereka juga menjadi seperti kita? Maksudku ... kenapa pohon-pohon di sini belum terbakar?"

Alatas mengedikkan bahunya. "Mungkin berkat Icore yang mempertahankan Garis Merah? Belum ada mutan tumbuhan yang menyerang kita sejauh ini, 'kan?"

"Atau Fervent." Kuusap tengkukku. "Kita sejak tadi berjalan dengan ransel-ransel ini, tapi belum ada Fervent lain yang menyerang kita. Bukannya itu aneh?"

Alatas mendorong daguku dengan telunjuknya, mengarahkanku ke satu titik di balik pepohonan. "Kalau kau amati, Leila, sejak tadi banyak yang mengintai kita."

Sekujur tubuhku menggigil saat melihat beberapa dari kelip cahaya merah itu bukan hanya berasal dari cat semprot, tetapi juga banyak pasang mata yang begerak dalam kegelapan.

"Tapi, kita belima. Sebagian besar Fervent hanya jalan berdua atau bertiga. Kadang malah sendiri-sendiri. Fervent yang beranggotakan lima atau lebih biasanya menetap seperti para Teleporter di pesisir pantai."

Aku mengangguk dan terus mengajak Alatas bicara. Diam-diam, kukeluarkan carikan kertas pemberian Meredith. Namun, sebelum aku sempat membacanya, Truck dan Erion keburu kembali, jadi kujejalkan kembali kertas itu.

Erion sudah berganti pakaian dan wajahnya tampak lebih cerah meski matanya merah karena menahan kantuk.

Truck melemparkan beberapa bungkus makanan instan dan dua botol air kepada kami dan berkata, "Ada seorang Cyone aneh yang mencoba merampok kami, jadi kami merampoknya."

Aku membelalak. "Apa yang terjadi padanya?"

"Erion menggantungnya di pohon." Truck melemparkan salah satu bungkusan itu kepada Raios, lalu berkata, "Makanlah, tidak kami racuni!"

Dengan beberapa bungkus makanan ini, kami bisa bertahan selama beberapa lama. Kusamarkan panganan yang kami rampok dari dapur Raios dengan rampokan baru, jadi lelaki itu tidak curiga saat dia memakan makanan yang sebenarnya berasal dari dapur bungkernya sendiri. Beberapa kali aku merasa hina sekali dengan cara kami memperlakukan Raios, lalu aku teringat perlakuannya pada Meredith dan semua kemungkinan buruk yang disembunyikannya dari kami.

Perjalanan itu kami tempuh selama beberapa hari dengan belasan kali pemberhentian untuk istirahat. Tidak satu kali pun aku berhasil membaca pesan Meredith karena, meski berjarak, Raios terus mengawasi kami dalam diam. Kami bahkan tidak bisa membahas pin curian itu.

Begitu berhasil mencapai Kompleks 4 di antara pepohonan pinus, kami tertahan selama sehari penuh untuk mengamati pola pergantian jam jaga di depan gerbangnya. Setidaknya, ada sepuluh orang berseragam NC dengan senjata laras panjang sebagai aksesoris di depan gerbang. Setiap tiga jam sekali, ada lima orang Penjaga baru yang menggantikan lima lainnya. Di sabuk mereka, terpasang masing-masing satu benda hitam berbentuk persegi yang kelihatannya seperti walkie talkie tanpa antena. Alatas bilang, benda itu adalah Arka—peranti Peredam buatan untuk meredam Fervor.

"Intinya adalah melucuti Arka mereka," usul Truck.

"Dan bagaimana dengan senjata-senjatanya? Kita hanya punya satu senjata api," tukas Alatas. Dia mengedepankan selempang senapannya. "Aku tidak bisa menahan peluru sebanyak itu. Phantom Erion juga belum cukup cepat untuk serangan peluru."

"Brainware," Raios berbisik. Matanya mendelik dingin ke arahku. "Buat kami tak tampak di mata para Penjaga."

Erion mengacungkan tangan. Kita, 'kan, bisa pakai Phantomku.

"Phantom Erion bisa lebih diandalkan untuk membuat kita tak kasat mata." Truck membaca keinginan Erion.

"Ya, sampai di depan pagar, tapi di sisi gerbang itu ada pos jaga berisi seorang Detektor," bantah Raios. "Phantom terlalu besar. Detektor itu akan langsung mendeteksinya saat kita mendekat. Belum lagi Arka yang bisa dengan mudah mereka aktifkan untuk melucuti kekuatan kita."

Brainware tidak bisa dideteksi oleh Detektor. Benar juga. Kalau dipikir-pikir lagi, dengan segala kompleksitasnya, Brainware memang unggul di antara Fervor lain—tidak bisa disalin Icore, tidak terdeteksi oleh Detektor, dan tidak terbendung oleh Peredam.

Dan, sialnya aku terlalu payah untuk Fervor sekuat itu.

"Ini kesempatanmu untuk berlatih," tambah Raios. "Masuk ke otak para Penjaga itu dan manipulasi penglihatan dan pendengaran mereka. Lebih bagus lagi kalau kau bisa langsung kendalikan mereka jadi boneka untuk memihak kita."

Aku menatap Raios sengit. "Bicara, sih, mudah."

Raios berdecak tidak sabar. "Beginilah caraku melalui Kompleks 4 sebelumnya. Cepat!"

Tuh, 'kan! Alatas membatin sedemikian kencang, tercampur dengan keterkejutan yang sama dari Truck dan Erion. Raios memang pernah mengujikan ini ke Brainware lain! Gagal, lalu dia entah meninggalkan atau membunuhnya! Leila akan jadi yang selanjutnya!

Aku mencoba tampak setenang mungkin. "Oke. Ayo, kita coba ujikan dulu."

Alatas dan Truck berjengit mundur, menolak menjadi teman latihanku.

"Langsung ujikan kepada mereka." Raios menunjuk tiga orang Penjaga terdekat, berdiri sekitar sepuluh meter jauhnya dari kami, lima meter dari Penjaga lainnya, sepuluh meter dari gerbang. Dua di antaranya tampaknya tengah mengobrol, yang satu lagi hanya memakukan pandangan lurus ke depan ke kedalaman Garis Merah.

"Gila, ya?" desis Truck. "Cewek ini bahkan baru belajar mendengarkan pikiran-pikiran tak penting orang secara acak."

"Aku bahkan masih kesulitan memasuki kepala orang-orang tertentu, Raios," imbuhku, menambah kekeruhan di wajah para cowok yang terlalu banyak berharap. "Aku bahkan hampir tidak tahu bedanya isi kepalamu dan isi kepala Truck! Aku masih meraba-raba, dan kadang aku hanya mampu masuk ke satu kepala pada satu waktu, dan beberapa orang punya pertahanan mereka sendiri! Jangankan memberi pengaruh, membaca pikiran saja kadang aku masih kacau!"

"Kau hanya kurang motivasi," desak Raios. Lelaki sinting itu meraba pistol di pinggul kanannya sampai kami semua tersaruk mundur. Tidak ada yang menyangka rupanya selama ini dia punya senjatanya sendiri. "Aku bisa memberimu motivasi yang baik."

Raios memutari semak mati tempat kami meringkuk dan memunculkan dirinya dari balik pohon pinus, berada di arah jam 11 dari pandangan ketiga Penjaga. Hanya masalah detik sampai mereka melihat Raios yang melenggang ke arah mereka.

Truck menyumpah di sampingku, bahkan Alatas kelepasan kata-kata kotor pertamanya yang paling kotor yang pernah kudengar terlontar olehnya. Dari Raios, aku mendengar suara yang mantap, Kalau aku tertangkap mata satu Penjaga saja, aku akan berbalik dan menembak mati salah satu dari kalian.

Aku meraba-raba dengan panik. Kupelototi ketiga Penjaga bersenjata itu, membayangkan tiga buah otak kemerahan dengan sel-selnya dalam berbagai ukuran, tersedia di antara pohon-pohon pinus, dan aku mesti menggigit lidahku sendiri agar tidak kelepasan berteriak, Leila bodoh!

Gagal. Tentu saja. Satu Penjaga langsung menoleh dan mendapati Raios, lalu Penjaga satunya, lalu Penjaga satunya lagi. Senjata siaga, dan rentetan peluru dimuntahkan. Raios buru-buru menjatuhkan dirinya ke samping, tetapi tampaknya ada peluru yang sempat mengenai kakinya karena lelaki itu agak menggelepar di balik pohon pinus. Tidak ada waktu bagi Raios untuk berbalik dan menembak mati salah satu dari kami, atau dia memang tidak berniat menembak kami sejak awal.

Sekalian saja! seru Erion dengan penuh semangat. Anak itu menyapukan kedua tangannya di udara dan mempreteli sabuk para Penjaga sebelum mereka sempat mengaktifkan Arka. Alatas memblok peluru yang mengarah kepada kami dengan mudah karena hanya ada tiga senjata api yang memuntahkannya. Diikuti aku dan Truck, kami menyerbu ke depan.

Begitu kami mencapai Raios, Truck langsung berupaya menyembuhkannya, tetapi dia butuh waktu. Meski hanya terserempet, kaki Raios kena tembak 4 kali, dan goresannya cukup dalam. Sialnya, kami tidak punya waktu. Satu sampai tiga peluru mulai lolos dari cakupan Steeler Alatas dan berdesing di tanah dekat kakiku.

Aku berjongkok sambil berteriak (keren sekali tindakanku) saat satu peluru menggores pipiku. Rasa sakitnya terlalu cepat datang dan mengejutkan sampai-sampai aku tidak bisa menangis lagi. Kepanikan semata memenuhiku dengan pikiran-pikiran buruk berseliweran.

Satu peluru lagi lolos melalui bawah ketiak Erion dan menyerempet tas selempangnya. Meski tidak menimbulkan luka, serangan itu membuat Erion tersentak mundur, panik, dan mengacaukan Phantomnya yang masih berusaha mempreteli semua Arka yang ada.

Aku tidak melihat kedatangan peluru yang menuju ke wajahku, tetapi Alatas melihatnya. Dia mencampakkan tongkat penyangganya dan melemparkan tubuhnya ke depanku, tangannya terulur untuk menghadang peluru tersebut. Dengan teriakan frustrasi, Alatas melakukan gerakan melibas dengan tangannya dan melemparkan kembali peluru itu sampai berbalik di jalurnya, membunuh satu Penjaga seketika.

Tidak berhenti sampai di sana, seluruh peluru yang ditembakkan berbalik arah dan mengenai para penembaknya sendiri. Dengan satu libasan tangan terakhir, semua senjata api terbang menyamping, menyeret serta para Penjaga yang memanggulnya membentur pohon pinus.

Ketakjuban kami mengudara, bahkan Alatas menatap kedua tangannya sendiri tidak percaya. Matanya disaput kengerian.

Pintu pos jaga terbuka dan muncullah seorang laki-laki dengan senjata api terakhir. Alatas pulih dari keterkejutannya dan buru-buru melakukan gerakan menggebrak dengan kedua telapak tangannya yang menghadap ke bawah. Semua senjata api terperosok masuk ke tanah, menahan para Penjaga seperti pasak.

Kami terseok-seok menuju gerbang. Truck memapah Raios, aku memapah Alatas, sementara Erion membawakan tongkat penyangga kaki Alatas.

Alatas membuka gerbang dengan menyorongkan kedua tangannya ke depan. Saat kami melewati pos jaga, barulah kami melihat Detektor yang dimaksud oleh Raios—seorang pria sepuh dengan senjata teracung, tetapi tangannya gemetaran.

"Maaf," gumam Alatas seraya memelantingkan senjata itu dari tangan si Detektor. Pria tua malang itu kemudian terbirit-birit keluar dari pos jaga dan berlari ke dalam hutan Garis Merah.

Begitu melewati gerbang, kami disambut jalan beraspal besar yang terbentang membelah kota. Orang-orang yang berjalan kaki di jalan tersebut terbelalak menontoni kami.

Gedung-gedung menjulang, memancarakan cahaya metalik. Terdapat lintasan kecil yang membelit gedung-gedung lalu melengkung di atas jalan raya seperti jembatan besar. Sesekali lintasan tersebut dilalui sesuatu yang mirip kereta api dan bus digabungkan. Kendaraan itu tidak mengeluarkan bunyi sama sekali. Satu-satunya suara mesin yang membisingkan udara hanyalah helikopter yang terbang lebih rendah daripada lintasan tersebut.

Kami tidak melihat benderang dan menakjubkannya Kompleks 4 dari luar karena tembok yang menjulang mengelilinginya jauh lebih tinggi. Tempat ini sama sekali tidak mirip kompleks-kompleks yang dulu kudiami. Tidak ada rumah di sini, sejauh mata memandang. Hanya bangunan tinggi.

Kami tidak bisa masuk lebih jauh begitu mencapai jalan beraspal. Ada alarm yang meraung dari pos jaga, mendatangkan mobil-mobil jip dari dalam kompleks. Beberapa pria berseragam NC menyembulkan badan keluar dari jendela mobil dan membidikkan senjata ke arah kami.

"Alatas!" Truck menuntut.

Namun, Alatas hanya diam terpaku. "Tidak bisa. Sepertinya, Arka sudah diaktifkan dalam mobil-mobil itu."

Sebelum tembakan sempat dilepas, aspal jalan di depan kami meledak dan menghalangi jalur mobil jip.

Para cowok, bahkan Raios yang pucat menahan kakinya, menoleh ke arahku.

"Bukan aku!" pekikku, sebelah tanganku menangkup pipi yang tergores peluru seperti orang sakit gigi. Aku kelewat panik sampai-sampai lupa akan satu-satunya Fervor destruktif terbesar yang kumiliki.

Benar juga. Aku, 'kan. Peledak. Jika tidak bisa melakukan apa-apa terhadap mobilnya, minimal aku bisa meledakan sesuatu di luar cakupan Arka untuk menahan mereka.

Maka aku menunjuk tiang lampu jalan dan membuatnya meledak hingga apinya melalar ke mobil jip terdekat. Tiga bumper pun menyala-nyala oleh api.

"Psst!"

Kami menoleh ke arah pos jaga tepian pagar dekat gerbang, di mana seorang gadis berambut hitam legam dan mata biru besar mengedikkan kepalanya agar kami mengikutinya. Gadis itu mungkin seumuran denganku. Tubuhnya padat berisi, dibalut gaun biru pendek yang membuatku bertanya-tanya siapa kiranya permaisuri kesasar ini. Kakinya dihiasi flat shoes biru malam, membangkitkan insting wanitaku untuk segera menyerangnya dan merebut alas kakinya.

"Sini," ajak gadis itu.

Tanpa pikir panjang, kami mengikuti gadis itu, masuk ke antara pepohonan yang renggang, meninggalkan keributan mobil terbalik dan terbakar, sementara orang-orang NC kelimpungan turun dari jip mereka.

Pohon-pohon kecil rimbun ini tumbuh di atas rumput yang terhampar seperti karpet. Semua tumbuhan itu tidak tampak alami. Ini semacam taman kota di tepian pagar perbatasan, semuanya dipola dengan pohon dan tumbuhan yang lebih pendek menghadap gerbang, lalu tampak lebih serabutan seperti hutan rimba saat kami masuk lebih dalam. Tumbuhan sulur mengait kami beberapa kali, tetapi gadis yang membimbing kami dengan lincah meloncati atau menunduk di bawahnya seakan hafal seluk-beluknya.

"Fervent gila," desis Alatas seraya mencengkram bahuku. Dia tersengal-sengal mengikuti langkahku yang memapahnya. Senjata api yang terselempang di bahunya menampar-nampar punggung kami.

"Hush," kataku, "yang penting selamat dulu."

Gadis itu beberapa kali terkikik senang. Sesekali dia menoleh sambil menyengir, seperti memastikan kami masih mengikutinya.

Kami keluar dari kawasan rimba dan sampai di jalan beraspal lain yang retak-retak dan tampak tidak aman untuk dilalui. Rumah berdinding semen berjajar dengan jarak sopan, mengepung jalan beraspal. Cahaya kuning redup menyirami jalanan, berasal dari tiang-tiang lampu yang berdiri di atas trotoar yang catnya pudar. Lingkungan ini sepi, tetapi aku memperkirakan setiap rumah itu berpenghuni dinilai dari cahaya redup dari kaca jendelanya.

Aku menoleh dan melihat kontrasnya dengan gemerlap metalik di belakang kami. Hanya dibatasi oleh hutan kecil, sisi ini tampak seperti kota mati.

Si gadis berhenti berlari dan mulai melompat-lompat anggun sampai rok pendek gaunnya mengambang dan berkelepai, permukaan sepatunya berkelotak ringan di atas aspal jalanan. Dia mengarahkan kami ke salah satu rumah yang tidak berpagar, bercat biru kusam, dengan genting hijau yang terkikis cuaca.

"Pergi, yuk," ajak Alatas dengan napas memburu. Sebelah tangannya memegangi kakinya, tangannya yang lain melingkar di bahuku. Alih-alih seperti dipapah, dia tampak seperti sedang merangkulku. "Di sini banyak Fervor asing. Kepalaku terasa seperti akan pecah rasanya."

"Ke mana? Setelah ini, akan banyak pasukan yang diturunkan untuk mengejar kita." Raios mengerang. "Bayar kegagalanmu, Leila. Intip isi pikiran cewek itu dan lihat apa yang ingin dilakukannya terhadap kita."

Aku ingin menukas bahwa kami ketahuan di gerbang depan bukan salahku, tetapi kebodohannya. Namun, kuganti ungkapan itu dengan rengutan.

Setengah hati, aku meraba-raba ke dalam pikiran si gadis Corona yang baru saja menyelamatkan kami. Awalnya, aku tidak merasakan apa pun. Kupikir, aku tidak bisa masuk ke dalam kepalanya, lalu semuanya datang perlahan, seperti suara musik yang dinyalakan mulai dari volume nol dan dinaikkan lamat-lamat.

Aku menelan ludah. "Isi otaknya cuma ... main-main."

"Main?" tanya Alatas.

"Petak umpet. Kejar-kejaran." Aku menggeleng ngeri. "Aku tidak paham."

"Siapa yang bisa mengerti isi pikiran cewek gila kebanyakan PF13? Kurasa semua perumahan ini semacam persembunyian para Fervent yang lolos dari Herde dan masuk ke Kompleks," bisik Truck.

Alatas mengangkat alisnya. "Artinya membaur di antara manusia normal bukan hal mustahil?"

"Lihat sekelilingmu," lirihku seraya mengedarkan pandang ke rumah-rumah yang serupa dengan seting film horor lawas yang dulu kutonton. "Ini namanya tersisih, bukan membaur."

Suara berkelotak nyaring mengalihkan perhatian kami kepada Erion. Anak itu tengah tersaruk-saruk mengangkat tongkat penyangga Alatas yang membentur aspal jalan. Dia nyaris menimpa tumbuhan pakis di belakangnya.

Jangan pedulikan bocah ini! Teruslah kalian mengobrol! omelnya nelangsa.

"Maaf," ucap Alatas seraya menarik diri dariku, lalu mengambil alih tongkat penyangganya seolah besi tersebut hanyalah tongkat kayu di tangannya.

Truck mengedikkan kepalanya ke Raios yang masih dipapahnya. "Aku butuh waktu untuk menangangi kakinya. Untuk sekarang, mungkin aman mengikuti cewek itu. Kalau dia mau main petak umpet, ladeni saja."

Wah, Truck takut kepadaku yang dulu terkubur di bawah puing-puing, tetapi mau mengekori gadis stres yang ingin main kejar-kejaran. Padahal, kami sama-sama Peledak.

Dengan langkah berat, kami mengekori si gadis Corona masuk ke rumahnya. Belum-belum, kami sudah disuguhi bau busuk hewan pengerat yang sudah mati berminggu-minggu. Ruang tamunya tak berperabot dan cat dindingnya mengelupas seperti ada tangan-tangan jail yang mengikisnya di beberapa tempat tertentu. Gadis itu melambaikan tangannya ke lantai seperti mempersilakan kami duduk, lalu memekik riang ke pintu kayu. "Bunda! Kakak! Alle pulang! Alle bawa teman!"

Truck dan Raios yang terlanjur duduk langsung menegakkan punggung mereka lagi. Erion bahkan buru-buru menyelip ke belakangku. Satu cewek Peledak saja sudah menakutkan, tidak ada yang ingin tahu kalau dia punya bunda dan kakak.

"Alle ...." Alatas berkata lirih. Dia gagal menyembunyikan rasa ngerinya. "Nggak usah repot-repot panggil yang lain. Kami di sini hanya sebentar."

Alle cemberut. Aku agak merasa jijik melihatnya. Ukuran gadis itu jauh lebih besar dariku, dan gaunnya yang ketat mengekspos lekuk badannya sedemikian rupa. Melihatnya bertingkah seperti anak 5 tahun begitu membuatku makin ingin menjambak rambut bergelombangnya yang seperti baru disisir. Aku teringat Amy, si gadis Icore yang dulu sempat mengejar kami sebelum dibunuh Raios—gadis itu juga sama cantiknya.

Kenapa cewek-cewek gila tampak lebih memukau daripada cewek waras ini?

"Bermalam saja!" rengek Alle. Dia mendorong Alatas sampai lelaki dengan kaki patah itu terpojok dan terduduk ke sudut. Dengan seluruh bobotnya, Alle menduduki paha Alatas dan melingkarkan kedua tangannya di leher lelaki itu.

Aku bisa melihat Alatas meneguk liur dengan matanya yang membelalak ke arah kaki menyilang Alle karena roknya tersingkap.

Kuhampiri mereka dan kurebut senapan Alatas dari bahunya. Kutahan diriku agar tidak membenturkan popor senjata ke wajahnya juga.

"Kau punya senjata tapi pasrah saja diduduki begitu! Tanpa perlu ditimpa olehnya, kau tinggal bilang saja padaku—aku bisa patahkan kakimu yang satunya kalau kau mau!"

"Siapa, nih?" tuding Alle sambil mencebikkan bibirnya ke arahku. Mata biru besarnya menatap nyalang ke Alatas kemudian. "Pacarmu, ya?"

"Iya," jawab Alatas. "Tolong bangun .... Kita tak ingin ada perkelahian antar anak cewek di rumah yang cantik ini, 'kan?"

Kutodongkan senapan Alatas ke wajah Alle, sepenuhnya mengabaikan Alatas yang berjengit karena moncong senjata itu terlampau dekat dengan wajahnya.

"Kau dengar dia Alle," kecamku. "Berdiri, dan antar tamu-tamumu pulang."

Aku melirik Truck, yang sedang menyembuhkan kaki Raios. Erion sudah siaga di depan pintu, tidak sabar ingin keluar.

"Pulang saja sendiri!" Alle menjulurkan lidahnya. Meski hanya setara ejekan anak SD, entah bagaimana aku merasa begitu terhina. Jari tangannya yang putih mulus menelusuri pipi berkeringat Alatas. "Kok, kamu mau dengan cewek galak yang tampangnya hancur begini?"

Hancur?

Tanganku bergerak pada senapan sampai benda itu berkelotak. Aku tidak mengerti senjata api, tetapi aku cukup yakin bahwa aku hanya sejengkal jauhnya dari menembakkan peluru. Alatas berteriak panik, "Leila—Leila! Kau akan ikut membunuhku!"

Pintu kayu mengayun terbuka, mengalihkanku sepenuhnya dari membunuh Alle dan Alatas. Di ambang pintu, berdirilah seorang perempuan seukuran Alle. Dari penampilan dan ekspresi ganjilnya, dia tidak mungkin lebih tua dari 25.

Satu lagi wanita gila.

"Halo," sapa wanita itu. "Teman-temannya Alle? Aku bundanya, tapi aku belum setua itu. Kalian boleh memanggilku Cliquoz."

Cliquoz punya rambut hitam tebal bergelombang dan jenis tatapan membelalak yang sama persis dengan Alle, hanya saja warna matanya jauh lebih kelam bak awan hujan. Ada tindik di alis kanannya, dan celak matanya yang terlalu tebal tampak kontras dengan kulit wajahnya yang putih pucat, tetapi serasi dengan pakaian ketat serba hitamnya. Dengan kemiripan mereka, kurasa Alle dan Cliquoz bersaudara. Cliquoz mungkin hanya dua atau tiga tahun lebih tua dari Alle. Mengapa Alle memanggilnya 'bunda' masih sebuah misteri.

"Bunda," Alle merengek. Kakinya terayun-ayun dari pangkuan Alatas. "Aku mau yang ini!"

Alatas menahan napas, kedua tangannya terangkat sejajar bahu seolah berusaha untuk tidak menyentuh Alle. Punggungnya tegak seperti terikat ke gagang sapu.

"Ya, ambil saja, Sayang." Cliquoz mengacak rambut Alle dengan sayang sebelum mencubit pipi Alatas, membuat cowok itu mengeluarkan suara cicitan ngeri. Sepasang mata elang Cliquoz kemudian terarah kembali ke Raios. "Kalau yang itu, bisa kita pasangkan dengan Daile."—Matanya lalu menjelajahiku dan Erion. "Kurcaci dan cewek kotor ini bisa kita jual ke perkumpulan Calor di kompleks sebelah."

Tadi hancur, sekarang kotor. Kualihkan moncong senjataku ke Cliquoz, tetapi wanita itu lenyap dari udara dan langsung muncul di belakang Truck.

Seorang Teleporter.

Truck menahan napas saat Cliquoz berlutut di belakangnya dan menelusurkan kuku panjang bercatnya ke bahu lebarnya. Sebelah tangan Cliquoz menangkap siku Truck, mengangkat tangan pria itu yang masih berusaha menyembuhkan Raios. "Aku sudah lama tidak melihat seorang Cyone kuat di sekitar sini," kata Cliquoz merayu. Kuarahkan lagi moncong senapan ke Cliquoz, tetapi dia tampak tak peduli.

Alatas, masih dibelai oleh Alle, menarik napas dengan gemetar dan mencoba berkompromi dengan Cliquoz, "Lepaskan kami, Nyonya. Truck hanya tampil tua, tapi dia aslinya masih seumuran Alle."

Alle terkikik malu-malu seolah Alatas baru saja memujinya. "Nggak, Cakep. Aku masih 17."

"Tepat," jawab Alatas. Kakinya ketar-ketir saat tangan Alle jatuh ke pahanya. "Truck masih 17."

"Kau tampak seperti pria dewasa," rayu Cliquoz, masih menyapukan tangannya di sekitar lengan Truck yang berotot. "Kau sungguh masih 17? Hm, daging muda .... Mungkin lebih baik direbus."

"Rebus ...?" Alatas mengeluarkan suara berdeguk dari kerongkongannya.

Alle berdecak. Jari tangannya meluncur turun ke kancing baju Alatas. "Nggak. Nggak. Aku nggak akan biarkan kamu direbus Bunda."

Cliquoz menoleh kepada Alle dan berucap, "Itu juga yang kau katakan pada cowok yang sebelum ini kita jadikan kari, Sayang."

"Cowok Steeler itu membosankan!" tukas Alle, lalu kembali menaruh perhatiannya pada Alatas. Jari telunjuknya menotol-notol dada baju Alatas. "Tapi, kau bukan Steeler, 'kan?"

Alatas tertawa gugup. "Haha. Bukan."

Perutku terasa melilit. Rasanya aku hampir bisa mengerti kenapa Truck bersikeras tidak mau ada Fervent perempuan dalam rombongannya.

Truck mengangkat tangannya dari celana robek-robek Raios, dan aku bisa melihat luka kaki Raios yang sudah tertutup sepenuhnya. Truck melirik Erion dari sudut matanya, tetapi Erion tidak kunjung memahami maksudnya.

Redam dia! Aku memberi tahu Erion. Anak itu mengangguk samar.

Dengan Erion yang meredam Cliquoz, Fervor kami ikut terbendung. Namun, ini lebih baik daripada melawan seorang Teleporter yang tidak bisa kami tangkap.

Truck berbalik dan memuntir lengan Cliquoz ke belakang punggung wanita itu. Cliquoz menjerit bersamaan dengan datangnya gemuruh mesin helikopter dan sorotan cahaya yang menembus jendela, menerangi wajah kami semua.

Satu peluru ditembakkan memecahkan kaca jendela yang memang sudah retak-retak. Beling berhamburan menimpa Raios dan Truck, yang kemudian dimanfaatkan Cliquoz untuk melarikan diri dari pitingan Truck.

"Daile!" Cliquoz berteriak memanggil ke dalam ruang tengahnya. "Apa kau memanggil para petugas sialan itu lagi?! Anak kurang ajar!"

Kutarik Alatas dan Alle saat berondongan peluru menghampiri mereka. Kubiarkan senapan Alatas berkelotak jatuh bersama dengan tongkat penyangganya.

"Cahaya!" Alle memekik girang seperti bocah tiga tahun dan mendekati jendela. Aku mencoba menarik tangannya saat peluru kembali dimuntahkan dan menembus dada kiri gadis itu. Darah menyembur, mengotori gaun birunya, lantas jatuhlah tubuh Alle ke antara pecahan kaca.

Tembakan belum berhenti. Alatas buru-buru menarikku dari sorotan cahaya, tetapi sinar itu terlalu terang dan memenuhi seisi ruangan. Kami bahkan tidak tahu di mana posisi Truck, Raios, atau Erion.

"Erion!" Alatas berteriak mencari-cari di antara silau cahaya. Tangannya melingkariku dengan defensif. Dengan kaki timpang itu, dia terseok-seok mendorongku menghindari rentetan peluru yang menembus dinding dan sisa kaca. Saat langit-langit ikut dibobol peluru, Alatas makin panik meneriakkan nama Erion.

Erion masih meredamnya. Alatas tidak bisa membendung semua peluru ini tanpa Steeler.

Erion! Kuusap mataku yang terasa perih. Di antara kepulan debu dan cahaya, mataku menemukan anak itu meringkuk di belakang pintu dengan wajah tersembunyi di antara lutut yang tertekuk, sebisa mungkin menghindari sorotan cahaya dari luar. Dia tidak melihat mau pun mendengar kami.

Erion! jeritku ke dalam kepalanya. Matikan Peredam-mu!

"Erio—"

Teriakan Alatas terputus saat dua peluru mendesing menembus badannya.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Continue Reading

You'll Also Like

828 68 22
"Aku anak nya memang manja, jadi jangan heran!" Shania gracia Shn dom!
1.5K 172 8
Terbangun di tempat asing dan menikah dengan seorang janda? Itu adalah hal gila yang tak pernah Ghevan pikirkan. Dia baru saja mengalami peristiwa y...
Daily Life By xxyafi

Science Fiction

674 85 6
Bercerita tentang kehidupan sehari-hari si bocil kematian...?
666K 51.1K 45
(Diharapkan follow terlebih dahulu sebelum membaca🙏) Kisah seorang gadis bernama FEBYANA(Ana) yang bertransmigrasi ke dalam novel yang dia baca keti...