Pluviophile [Tersedia Di Fizz...

By DekaLika

23.4K 1.9K 353

[Tersedia di Fizzo dengan versi baru yang lebih panjang dan banyak plot twist-nya] Bagaimana rasanya terjebak... More

Prolog
Bab1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Diki Wahyudi
Eriska Febri
Epilog

Bab 16

296 34 0
By DekaLika

"Kamu harus tahu kalau Rani itu ngga benar-benar baik sama kamu," kata Dwira memulai pembicaraan saat mereka duduk di depan emperan sebuah toko.

Sebelumnya Riska ingin mewujudkan niatnya untuk melihat Diki di rumah sakit, namun tiba-tiba Dwira datang membawa kabar dangkal untuknya. Rani memanfaatkannya untuk dendam sepupunya? Riska pikir itu adalah gadis yang ia temui tadi di Mall dengan Rani. Awalnya Riska menyangkal tentang itu. Rani tidak mungkin melakukannya.

"Kamu tahu, Rani benci banget sama aku karna pernah pacaran sama sepupunya yang tadi," Dwira mulai menceloteh. "Aku memang pacaran sama sepupunya. Tapi aku ngga pernah ngelukain Tesa sedikitpun. Aku juga ngga tahu kalau dia bakal berbuat senekat itu," jelasnya panjang lebar sambil menatap Riska penuh harap agar Riska mempercayainya.

Riska tak menyahut. Otaknya berpikir keras mencerna setiap kata-kata yang dilontarkan Dwira. "Tahu dari mana?" tanya Riska bersuara setelah lama hanya membalas Dwira dengan bungkam.

"Fadila," jawab Dwira.

Riska mengernyit bingung. Bagaimana Fadila bisa tahu sedetail itu. Apa yang mereka sembunyikan darinya. Dia kembali diam tak mau menatap lawan bicaranya.

Bukankah gadis pacar Diki. Ia jelas mengingat bagaimana gadis itu bertengkar dan menjemput Diki waktu itu. Kenapa bisa mereka bertemu dengan cara seperti ini. Apalagi gadis itu mantan Dwira. Rasanya tidak masuk akal jika ia ada kaitannya dengan mereka berdua melalui Rani. Riska mengacak rambutnya. Memikirkan itu membuat ia bingung harus meminta penjelasan pada siapa.

Rani. Riska membatin. Ia teringat wajah Rani yang selalu ramah menerima permintaan Riska untuk mengantarnya pulang. Selalu siap mendengar apapun darinya. Hatinya masih bertolak dengan cerita yang belum tentu benar.

Ia menghela napas. Sudah larut malam. Ia harus tidur.

Riska tahu ia tidak benar-benar baik-baik saja untuk berjalan sendiri menuju rumah sakit siang ini. Mama sudah cerewet memintanya di rumah saja. Karna Riska selalu demam jika sudah bermimpi buruk dan membuat suhu tubuhnya menaik selama beberapa hari.

Hatinya keras sekali untuk keluar dan melihat keadaan Diki di rumah sakit. Entah apa yang membawanya berjalan meski otaknya sudah menolak untuk tidak melakukan apa-apa di hari libur ini.

Riska menarik selimutnya dan memeluk boneka kelinci putihnya yang besar. Sejenak dilihatnya wajah boneka kelinci yang sangat lucu dengan hidungnya yang berwarna hitam. Semua anak perempuan menyukai boneka, mereka akan mendambakan teman tidur untuk dipeluk saat malam hari.

Boneka yang diberikan Waldy saat ulang tahunnya yang ke 16. Itu setahun lalu saat mereka masih berpacaran.

"Kenapa kelinci?" tanya Riska saat ia membuka bungkus kado besar setinggi pinggangnya.

"Kamu kan suka kelinci." Waldy memasang senyum termanisnya bersama mata hazel yang selalu mampu menghipnotis Riska jika sudah membulat sempurna menatapnya.

Riska mengedikkan bahu. Memang dia menyukai binatang kecil bertelinga panjang dan menyukai wortel itu, namun ia tidak pernah memelihara kelinci di rumahnya. Ia lebih sering ke rumah Dila, sahabat kecilnya untuk melihat beberapa peliharaan gadis itu.

Waldy juga pernah mengajaknya ke perternakan kelinci di sudut kota. Hampir setiap akhir pekan mereka habiskan waktu di sana hanya untuk memberi makan kelinci-kelinci lucu tersebut yang sudah mereka beli sebelumnya. Di sana, dibolehkan bagi pengunjung untuk memberi makan kelinci yang sudah mereka bawa dari luar perternakan. Tentunya, marga tersebut tidak memiliki banyak stok untuk memberikan kelinci-kelinci tersebut makan setiap saat.

Ia kemudian memeluk boneka tersebut sambil tersenyum senang melihat Waldy. "Makasih," katanya.

Mata Waldy menyipit saat ia tersenyum lebar begitu. Hal yang selalu bisa melelehkan Riska, lebih dari matahari yang mampu membuat es mencair dalam waktu yang berangsur lama.

Riska tertawa hambar. "Playboy," decaknya kemudian memeluk kelinci besar tersebut. Ia tidak tahu kalau kelinci dijadikan sebagai tanda playboy dalam istilah anak-anak muda. Bagaimana mungkin Riska dapat mengartikan isyarat dari cowok itu sementara sikapnya bersih dari tanda-tanda kebohongan.

Riska membuang selimutnya ke samping dan berdiri membawa boneka besar tersebut, kemudian meletakkannya di samping lemari pakaiannya. "Kamu ngga boleh tidur sama aku lagi, hm?" peringatnya memegang hidung hitam yang mungil kelinci besar itu. "Ngga boleh nyentuh aku lagi. Bahkan melihat, oke?" katanya seolah boneka itu benar-benar hidup dan mengerti dengan perkataannya. Kemudian ia mengambil baju kaos polos dari dalam lemari dan memakaikannya ke boneka tersebut, namun hanya di bagian kepalanya saja. Menutup seluruh kepala kelinci putih itu kecuali telinganya yang menjulur keluar dari leher kaosnya.

"Selesai." Riska menepuk-nepuk tangannya yang tidak berdebu sama sekali atas pekerjaannya tersebut. Dia tersenyum puas kemudian kembali membaringkan tubuhnya di ranjang. Riska tersenyum puas. Dengan ini ia tidak akan membuat cowok itu bergentayangan lagi dipikirannya ketika akan tidur. Karna itu menganggu.

Riska menarik kembali selimutnya hingga leher dan meringkuk ke samping lalu menutup matanya. Berharap esok pagi lebih cepat dan kondisi tubuhnya akan lebih baik dari sekarang.

*

Jika boleh meminta, Riska ingin bermalas-malasan di ranjangnya hingga siang nanti. Sudah satu minggu berlalu dan ia benar-benar harus bangun pagi denga paksaan sekalipun karna ini adalah ujian kenaikan di kelas 2.

Ia bangun dan berjalan pelan menuju kamar mandi. Riska merasa ia tidak akan bisa sepenuhnya menjawab soal ujian. Kepalanya tak dapat berkerjasama dengan hatinya. Saat membaca kembali setiap baris kalimat di buku, malah kata-kata Dwira dan keganjalan di kelas yang terbayang olehnya. Rani menjauhinya tanpa alasan yang pasti. Bahkan temannya itu tidak mengajalnya bicara seperti yang ia katakan saat mereka bertemu di Mall waktu itu.

Rami juga bertukar tempat duduk dengan Ulfa. Alhasil ia satu meja dengan dengan Hilda yang terpaksa harus pindah ke tempatnya. Riska mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Rasa air ini tak sedingin perasaannya yang bingung dengan perang dingin antara dia dan teman-temannya, kecuali Kya yang masih bersikap netral diantara mereka.

Riska sampai di depan parkiran sekolah. Ia masih berdiri melihat-lihat sekitar karena sekolah masih sepi. Sejak anak kelas 3 menyelesaikan tugas akhirnya, sekolah memang terasa sedikit sepi tanpa hiruk pikuk mereka yang terkenal sok kekakak-kakakan di depan juniornya.

Sekolah Riska memang tidak terlepas dari diskriminan adik-kakak yang bernotaben dari jurusan yang berbeda. IPA dan IPS selalu perang gaya dan cara mereka di mata guru-guru. Anak IPA yang umumnya lebih self dan anak IPS yang mempunyai jiwa sosial tinggi kurang bisa bergaul satu sama lain.

Murid-murid mulai berdatangan padahal ini masih jam setengah tujuh. Jika mereka tidak ingin terlambat dan tidak diperbolehkan ujian. Setidaknya mereka mau datang lebih cepat walau hanya untuk ujian saja.

Tak lama dari arah gerbang Rani datang dengan motornya, mereka tak sengaja berpapasan ketika sama-sama memalingkan wajah.

Rani diam.
Riska diam.

Sedetik kemudian mereka sama-sama membuang muka ke arah lain.

Ini ngga lucu, Ran.

Gue benci keadaan ini, Ris.

Mereka sama-sama menyesali dalam hati. Mulai bicara dari mana entah bagaimana. Tak ada yang menarik dari hari-hari saat mereka hanya saling diam di dalam kelas. Itu jauh lebih mencekam dari rumah hantu sekalipun.

Rani melewati Riska dan memarkirkan motornya tak jauh di belakang Riska berdiri. Ia turun dan langsung berjalan ke kelas tanpa menoleh pada Riska.

Riska menelan ludah. Untuk apa dia di sini sejak tadi. Entah ia menunggu ekspresi Rani yang masih sama setiap waktunya, itu membuat Riska gelisah.

"Hai, ngapain di sini?" sapa sebuah suara membuat Riska mengangkat kepala. Itu Gito, teman satu kelas Riska.

Riska menggeleng. "Mau masuk, yuk," ajaknya cepat dan berjalan mendahului Gito.

Kita lihat seberapa lama ini bertahan, Rani.

♥~♥

Kedengeran kayak berita bahagia aja kalau ujian aku selesai. Tapi parahnya masih ada 2 pelajaran lagi yang belum selesai. God, masa harus masuk di bulan puasa juga..

Sanggup ngga sanggup ya sanggupin..

Jika sempat aku akan update rajin dari sekarang karna banyak waktu luang. Walau sedikit mumet karna masih di kosan.

Di sini mah bajyak artis orgen, engga pagi, siang, malam.. dimana-mana mereka selalu bersolo ria biarpun lagi di kamar mandi. Duhh puyeng..

Jadi, acara curhat udah selesai. Ngga jelas aja kan ya. Oh, iya. Gimana, udah dapet fellnya baca sampai part 16 ini belum? Ada yang bingung endingnya gimana?

Maunya ending yang gimana? Bilang aja? Moga aja sesuai ide^^

Jangan lupa kritsarnya ya, biar banyak kesalahan aku tetap semangat biar makin bagus tulisannya.

Jangan lupa beri voment kamu yaa :*

Continue Reading

You'll Also Like

627K 24.6K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
9.8M 883K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
1.5M 130K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...