Pencuri Hati

By PipiMochi

410K 21.2K 2.8K

Selamat Menikmati Fanfiction Pertama Saya Publish SEP'15 More

Pencuri Hati 1
Pencuri Hati 2
Pencuri Hati 3
Pencuri Hati 4
Pencuri Hati 5
Pencuri Hati 6
Pencuri Hati 7
Pencuri Hati 8
Pencuri Hati 9
Pencuri Hati 10
Pencuri Hati 11
Pencuri Hati 12
Pencuri Hati 13
Pencuri Hati 14
Pencuri Hati 15
Pencuri Hati 16
Pencuri Hati 17
Pencuri Hati 18
Pencuri Hati 19
Pencuri Hati 20
Pencuri Hati
Pencuri Hati 21
Pencuri Hati 22
Pencuri Hati 23
Pencuri Hati 24
Pencuri Hati 25
Pencuri Hati 26
Pencuri Hati 27
Pencuri Hati 28
Pencuri Hati 29
Pencuri Hati 30
Pencuri Hati 31
Pencuri Hati 32
Pencuri Hati 33
Pencuri Hati 34
Pencuri Hati 35
Pencuri Hati 36
Pencuri Hati 37
Pencuri Hati 39
Pencuri Hati 40
Pencuri Hati 41
Pencuri Hati 42
Pencuri Hati 43
Pencuri Hati 44
Pencuri Hati 45
Pencuri Hati 46
Pencuri Hati 47
Pencuri Hati 48
Pencuri Hati 49
Pencuri Hati 50
Pencuri Hati 51
Cuap Cuap PipiMochi
Pencuri Hati 52
Epilog

Pencuri Hati 38

4.7K 350 44
By PipiMochi

Shania POV

   Home sweet home, tiga hari di rumah sakit terasa membosankan. Dan aku sudah merepotkan mimi serta mama, mereka harus menjagaku di sana selama 24 jam. Sebenarnya aku yang membujuk om dr.Rian untuk bilang ke mimi kalau aku sudah diperbolehkan rawat jalan, sikap bossi yang ada didalam diri ini mulai keluar pada om dr.Rian. Maafkan Shania ya om dr.Rian, karena Shania nggak mau mama atau mimi jatuh sakit dengan menunggui Shania selama di sana, hingga mereka berdua kurang istirahat. Apalagi mamakan lagi hamil, jadi dia nggak boleh terlalu lelah dan banyak pikiran.

  Memang berada di rumah jauh lebih baik, semoga aku bisa cepat sembuh.

   Ya, walaupun aku masih dibantu dengan gea tongkat ketiak untuk jalan, itu tak masalah, yang penting sekarang aku ada di rumah, di tengah-tengah orang yang sangat kucintai.

   Sambil menghirup udara siang menjelang sore, aku duduk santai di bangku taman belakang rumah. Kakaku yang paling cantik dan baik hati kak Sinka kemana ya dia? Tumben jam segini belum pulang kuliah. Akukan juga pingin ditemani dia, buat ngobrol-ngobrol lucu berdua.

   "Adiknya kaka bengong aja! Kemarin panda yang di kebun binatang China mati loh karena hobi bengong kaya kamu gini."

   Aku langsung menoleh ke arah sumber suara, si pemilik suara yang dibuat sok imut itu tak lain kaka tersayangku, ka Sinka. Begitu terkejutnya aku ketika ka Sinka datang bersama ka Rona dan juga Fian.

   Fian?
   Oh My God.

   Aku melihat Fian seperti melihat hantu, takut sekali. Gimana tidak takut? Sekarangkan aku sedang menjadi Shania, bukan Junot. Kenapa ka Sinka membawanya ke sini sih! Argh, hancur sudah penyamaranku didepannya.

   "Kalem adik tersayangnya kaka. Fian ke sini mau jenguk dan lihat keadaanmu," ucap ka Sinka. Lalu ka Sinka mengambil posisi duduk disampingku.

   Dan aku langsung melihat ke arah Fian, dia tersenyum kala aku menatapnya.

   "Hei! Sudah baikan, Not? Ops sorry, maksud gue Shania," tanya Fian.

   Aku membulatkan mata ketika Fian bilang seperti itu. Kemudian menatap ka Sinka yang duduk disebelahku sambil senyum-senyum tak jelas. Aku benci senyum itu.

   "Sayang, kita ke kamar yuk? Biarkan Shania di sini. Ada Fian, jadi aku gak khawatir kalau adik tersayangku kesepian."

   "Ngapain ke kamar? Enakan di sini, ngeliatin orang yang lagi pedekate. Siapa tau mereka berdua jadian, kan kita bisa jadi saksi," celetuk ka Rona tanpa beban sama sekali mengatakan itu didepanku.

   "Yakin kamu? Enakan di sini?! Gak di kamar sama aku? Ya udah kalau itu mau kamu, aku ke kamar sendiri, selamat menjadi nyamuk penunggu orang yang lagi pedekate ya."

   Ka Sinka beranjak dari duduk, dan pergi meninggalkanku bersama Fian dan juga ka Rona. Wajah ka Rona berubah jadi aneh, dia melihatku dan Fian bergantian, sambil menggaruk-garuk kepala belakangnya yang kurasa tidak gatal itu.

   Huft, punya kaka tapi aneh, ditambah pacarnya yang aneh juga. Pasangan yang serasi mereka berdua. Tapi ka Sinka nggak aneh sih! Hanya dibuat aneh hari ini. Maksudnya apa coba dia? Main pergi gitu aja. Hello ka Sinka, kaka nggak lagi bercandakan ini?! Meninggalkan aku dengan Fian dan juga ka Rona.

   Sekarang ka Rona dalam hitungan detik tanpa bilang apa-apa langsung berlari kecil meninggalkanku bersama Fian buat mengejar ka Sinka. Lengkap sudah penderitaanku, sudah kaki masih sakit, ditambah dengan pikiran ini. Gimana aku tidak mau sakit memikirkannya. Apa yang harus kujelaskan pada Fian tentang penyamaranku sebagai Junot.

   Mimi, mama, nenek... Tolong Shania.

   Setelah kepergian ka Rona, Fian duduk di bangku sebelahku. Dia menatap wajah ini dengan bola matanya yang tajam. Jantungku berdebar hebat, keringat dingin mulai keluar dari pori-poriku yang kecil, karena ditatap Fian seperti ini.

   Aku langsung mengalihkan wajah untuk melihat lurus ke depan. Terus terang, aku belum sanggup berdekatan dengan Fian dalam rupa Shania.

   "Shan, gue minta maaf ya? Karena gue lo jadi kaya gini. Seharusnya gue sebagai ketua psgc memeriksa peralatan dulu sebelum dipakai lomba waktu itu," ucapnya menyesal.

   "Oh iya, gue udah tau kalau lo itu Shania. Seorang gadis yang masih duduk dibangku SMU kelas dua belas. Dan Junot adalah identitas palsu lo kan? Buat gabung di psgc, karena lo pasti dapet info dari Sinka kalau psgc gak nerima anggota cewek. Jadi lo bela-belain berpenampilan cowok buat masuk psgc," tambahnya lagi.

   Aku masih duduk menghadap depan, dan nggak punya nyali buat menatap Fian. Tapi telingaku mendengar suaranya yang ngebass dan begitu seksi, cowok abis Fian ini.

   I like him.
  The best gift given from the heart, not from the store.

   Hahaha... Aku tertawa dalam hati. Jelas aku tertawa, emangnya Fian diperjual belikan di toko? Fian cowok pertama yang membuatku nggak enak makan dan nggak enak tidur karena terus memikirkannya. Jadul nggak sih itu kalimat? Nggak apa-apa kalau aku dibilang AMG, alias angkatan mimi gue.

   "Lo tau darimana Shania itu Junot, dan Junot itu sebenarnya Shania?" aku mulai mengeluarkan kalimat itu pada Fian. Penasaran aja dia tahu darimana tentang identitasku yang sebenarnya.

   "Waktu di pom bensin, secara gak sengaja gue liat lo ganti costume di sana," jawabnya.

   Aku pun hanya mengangguk mendengar penjelasan Fian.

   "Ditambah info dari Sinka dan juga Rona sih tadi," katanya lagi.

   "Apa? Ka Sinka? Ka Rona?" aku kaget bukan main mendengar nama mereka berdua disebut, pandanganku langsung mengarah ke Fian yang duduk disebelah dengan tatapan mencari tahu, "mereka nambahin info apa ke lo?"

   Fian hanya tersenyum melihatku, lalu dia bangkit dari duduknya, dan bersimpuh didepanku.

   "Mereka ngasih info kalau lo manja banget kalau lagi sakit. Maaf ya, Shan. Gue janji, gue bakal sering-sering ke sini untuk liat keadaan lo."

   "Gak perlu repot-repot gitu. Udah ada dokter yang memeriksa keadaan kaki gue."

   "Tapi dokter yang inikan beda, dokter yang mengerti banget sama keadaan hati lo."

   Aku tersenyum geli ketika Fian bilang seperti itu, sekaligus pipi ini pasti sudah merah merona. Nilai tambah untuk cowok yang lagi didepanku saat ini, dia bisa membuatku sedikit melupakan nyeri di kaki yang sedang kualami dengan gombalannya.

   "Hei, Shan!" sapa Boby yang baru saja datang membuyarkan suasanaku dengan Fian.

   "Hei, Bob! Kok sendiri, Ilen mana?" aku bertanya pada Boby kenapa dia datang ke rumah hanya sendiri, padahal tadi dia sempat telepon-teleponan denganku akan datang ke rumah bersama Elaine pacarnya.

  "Ilen mendadak ada kuliah tambahan tadi. Jadi dia batal ke sini," jawab Boby.

   Boby memandang ke Fian dengan tatapan penuh tanya.

   "Oh iya Fian, ini Boby sepupu gue. Dan Bob, ini Fian temennya ka Sinka sekaligus temen gue juga."

   Fian kemudian berdiri, dan mengulurkan tangannya ke Boby sebagai salam perkenalan. Keduanya saling berjabat tangan sambil menyebutkan nama mereka masing-masing.

   "Boby."

   "Fian."

   Setelah mereka berdua berjabat tangan dan saling berkenalan, suasana antara kita bertiga jadi diam dan hening.

   "Lo Sofian Meifaliano? Ketua psgc?! BRENGSEK LO!"

   BUG!!!

   Aku melihat Boby melayangkan satu pukulan ke wajah Fian dengan cepat dan begitu keras. Sampai-sampai Fian jatuh tersungkur. Saat Fian jatuh, Boby terus melayangkan pukulan ke Fian dengan membabi buta, padahal Fian hanya diam dan tak membalas serangan Boby.

   "Boby!" teriakku, "ka Sinka! Mamaaa..."

   Aku berteriak memanggil ka Sinka dan juga mama, berharap mereka cepat datang untuk memisahkan Boby yang sedang menghajar Fian seperti binatang tanpa ampun.

   Karena ka Sinka dan juga mama belum datang, aku berinisiatif memisahkan Boby dari Fian. Dengan cepat kuambil gea tongkat ketiak, berjalan pelan menggunakan alat itu.

   "Boby hentikan!" aku menarik baju yang ia kenakan, tapi karena Boby terus memukuli Fian jadi dia tak menghiraukan teriakanku.

   "Brengsek lo Fian, gara-gara lo Shania jatuh! Lo gak pantes menyandang jabatan ketua climbing, ini ganjaran karena lo lalai!"

   "Boby cukup!"

   Aku melihat Fian wajahnya sudah babak belur karena dipukuli Boby, dan dia terlihat geram. Fian melakukan pembelaan dengan mendorong tubuh Boby ke belakang cukup kuat, hingga tubuh Boby mengenaiku. Aku pun ikut jatuh dengan posisi Boby ada diatas tubuhku.

   "Shania!" Boby panik, lalu dia bangun dari atas tubuhku dan memegang tangan ini.

   aauuwww... Rintihku kesakitan.

   "Shaniaaa..." telingaku mendengar mama dan juga ka Sinka berteriak.

   Kemudian mama dan ka Sinka serta ka Rona datang menghampiriku.

   "Sayang, kamu baik-baik aja kan?" tanya mama panik.

   "Shan, kamu gakpapa?" ka Sinka juga terlihat panik, "Boby, kenapa Shania bisa jatuh?"

   "Maaf anti, maaf ka Sinka. Ini semua salah Boby."

   aauuuwww... Aku terus merintih kesakitan. Kaki ini terasa sakit sekali, tanpa terasa aku pun mengeluarkan air mata.

   "Saakiiitt, mah!" aku memegang kaki kananku yang terasa sakit.

   "Iya sayang, mama tau. Sinka, panggil bang Ucok ke sini, cepat!" suruh mama ke ka Sinka.

   "Biar aku aja, kamu di sini nemenin Shania dan juga mama," ka Rona menawarkan diri untuk mencari bang Ucok ketika ka Sinka hendak berdiri dan ditahan olehnya.

   Ka Rona pun mulai berlari ke dalam rumah untuk mencari bang Ucok.

   "Mama, Shania gak kuat! Sakit banget."

   "Sabar, sayang."

   Tak lama kemudian ka Rona datang bersama bang Ucok.

   "Bah. Non Shania kenapa nona besar Jessi?"

   "Tolong bang Ucok gendong Shania ke mobil, dan kita harus bawa Shania ke rumah sakit secepatnya."

   "Baik nona besar Jessi."

   Dengan perintah mama, bang Ucok langsung menggendongku menggunakan kedua tangannya.

   "Pelan-pelan bang, kaki aku sakit."

   "Iya non, bang Ucok sudah pelan-pelan ini."

   Aku langsung dibawa bang Ucok ke mobil. Setelah didalam mobil, ka Ronalah yang bertugas untuk menyetir. Sedangkan ka Sinka duduk disamping kemudi, lalu mama duduk di jok belakang menemaniku.

   "Jessi, mama perlu ikut?" kata nenek pada mama yang saat itu tiba-tiba datang.

   "Gak usah, mah. Mama di rumah aja. udah ada Rona dan juga Sinka. Mah, tolong kabari Kinal tentang ini."

   Nenek mengangguk pelan.

   "Hati-hati kalian. Cucu nenek yang cantik, kuat ya."

   Aku hanya bisa tersenyum miris ketika nenek mengatakan itu, rasa sakit yang kualami saat ini sudah tak bisa lagi membuat senyum manis di bibir. Yang ada aku hanya merintih dan menangis saja.
.
.


Kinal POV

   "Chel, kita kembali ke kantor sekarang ya? Karena masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan."

   Aku dan Michelle masih berada disalah satu mall di Jakarta, tadi Michelle mengajakku untuk makan siang bersama. Dan setelah makan siang dengan manjanya ia memintaku menemani dia untuk nonton film yang sangat Michelle suka.

   "Padahal aku mau ngajak kamu lihat itu, Nal!" tunjuk Michelle ke arah toko baju yang ada di sana.

   "Lain kali aku pasti nemenin kamu lagi. Tapi untuk hari ini cukup sampai di sini, ok?"

   Michelle tersenyum, lalu menganggukan kepalanya pelan.

   Aku dan dia akhirnya jalan sampai ke depan mall untuk mencari taksi di sana. Tadi saat datang ke mall ini aku dan Michelle memang menggunakan taksi, karena menurut Michelle kalau ambil mobil di parkiran dulu memakan waktu. Jadi alternatifnya ya dengan naik taksi dari kantorku ke mall.

   Saat sedang menunggu taksi, aku melihat Brandon dan juga Gracia keluar dari hotel Fortune yang ada disebrang mall. Mereka berdua menaiki mobil dan tancap gas pergi. Jadi kabar Brandon sakit di chat tadi pagi denganku itu hanya bualannya saja, dan ternyata dia pergi bersama Gracia.

   Tapi tunggu! Kenapa Michelle tidak bilang padaku? Apa dia tidak tahu kalau adiknya pergi bersama Brandon? Dan kenapa Brandon harus berbohong padaku dengan mengatakan kalau dia sakit dan tidak masuk kantor hari ini.

   Ada gelagat aneh pada Brandon. Apa itu? Aku harus mencari tahunya sendiri.

   "Kinal, hayuk masuk! Kenapa kamu jadi bengong gitu sih?" suara Michelle menyadarkanku dari lamunan tentang Brandon.

   Aku segera masuk ke dalam taksi. Dan taksi yang kunaiki bersama Michelle melaju cepat mengantarkan kami berdua ke kantor.

   Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai, karena jalanannya juga tidak macet. Setelah sampai di kantor, aku mengantarkan Michelle ke parkiran mobil. Karena kata Michelle dia ingin segera pulang dan tidak mau menggangguku kerja.

   "Kamu hati-hati di jalan ya?"

   "Kamu juga jangan terlalu lelah bekerja, nanti sakit lagi."

   "Iya, daaaahhh."

   "Daahh Kinal sayang."

   Michelle pun pergi meninggalkanku. Setelah itu aku melangkahkan kaki berjalan ke ruang kerja karena pekerjaanku masih banyak. Dan saat sedang menunggu lift terbuka, smartphoneku berdering. Aku ambil smartphone yang ada didalam kantong blazzer dan melihat pada layar nomer rumah yang muncul di sana.

   "Halo."
   "....."

   "Baik, mah. Aku segera ke rumah sakit sekarang."

   Aku mengakhiri pembicaraan di telepon dengan mama. Ya, mama Veranda yang meneleponku, memberitahu kalau Shania jatuh dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit.

   Kenapa lagi si bungsu?

   Aku pun tanpa pikir panjang langsung berlari ke depan lobby kantor mencari taksi. Malas rasanya mengambil kunci mobil yang ada didalam ruang kerjaku di lantai 20 dalam gedung ini.

   Aku menyuruh security untuk mencarikanku taksi. Setelah datang, aku bergegas menaikinya.

   "Rumah sakit SA International ya pak! Kalau bisa cepat!" perintahku pada driver taksi.

   "Baik bu."

   Driver taksi langsung tancap gas. Jalanan ibu kota ternyata tidak bersahabat seperti tadi, baru aku melewati jalanan ini sekitar 30 menit yang lalu terasa lengang, tapi sekarang sudah padat merayap, sial.

   Ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit Sinka meneleponku, dan aku langsung menjawab panggilan telepon darinya.

   "Iya Sinka sayang, gimana keadaan Shania?"

   "Lagi ditangani om dokter Rian mih, mimi dimana sekarang?"

   "Lagi di jalan ke rumah sakit, macet lagi jalanannya. Jaga mama baik-baik, jangan buat dia panik dan gelisah karena memikirkan Shania."

   "Iya mih. Mama lagi duduk bersamaku dan juga Rona di ruang tunggu."

   "Terima kasih sayang, kamu patut mimi andalkan."

   "Mimi hati-hati di jalan ya?"

   "Iya."

   "Daah mimi."

   "Daah Sinka."

   Aku mengakhiri telepon dari Sinka.

   "Pak, bisa ambil jalan pintas? Sepertinya kita kejebak macet di sini."

   "Maaf bu, saya tidak tau jalan pintas menuju rumah sakit SA International."

   Huft, semua driver taksi pasti akan berpura-pura tidak tahu. Itu hanya alasan dia saja bilang begitu, menyebalkan. Aku pun mengarahkan driver taksi untuk mengambil jalan pintas setelah lampu merah didepan ambil ke kanan. Untung aku tahu jalan tikus di Jakarta, dengan begini akan lebih cepat sampai ke rumah sakit.

   Betul dugaanku, kurang lebih 45 menit aku sampai di rumah sakit.

   "Makasih ya pak, ambil uang kembaliannya."

   "Terima kasih bu."

   Aku berlari masuk ke dalam rumah sakit dan menuju ruang Unit Gawat Darurat. Disana aku melihat Veranda, Sinka serta Rona sedang duduk menunggu. Dan ada Boby juga, serta laki-laki muda yang waktu itu bertemu denganku di rumah sakit ketika Shania terjatuh pertama kali.

   "Ve sayang."

   "Kinal."

   Veranda beranjak dari duduknya untuk menghampiriku, dia memeluk tubuh ini dengan eratnya.

   "Shania kenapa bisa jatuh lagi sih, Ve?"

   Veranda menggelengkan kepala di bahuku. Itu tandanya dia tidak tahu kenapa Shania bisa jatuh untuk kedua kalinya.

   "Maafin aku sayang, aku gak bisa jagain Shania."

   "Sstttt... Bukan salah kamu. Sudahlah jangan nangis."

   Aku melepas pelukan Veranda, mengusap air matanya yang jatuh di pipi dengan tangan ini. Dan ketika aku sedang menenangkan Veranda, Boby datang menghampiriku.

   "Maaf anti Kinal, Shania jatuh gara-gara Boby."

   Veranda dan aku langsung melihat Boby yang sedang tertunduk didepan kami berdua saat itu.

   "Bisa jelaskan kenapa Shania jatuh gara-gara kamu, Bob?" tanyaku.

   "Shania tertimpa tubuh Boby ketika kaki Boby tersandung saat sedang jalan," Boby masih tertunduk mengatakannya.

   Haaahhh... Aku sedikit menghela nafas.

   "Its ok, Bob! Gakpapa, next kalau jalan harus hati-hati. Kasian Shania, pasti sekarang dia didalam lagi kesakitan," kataku.

   Aku tidak mungkin menyalahkan keponakanku sendiri. Aku tidak tega melihat wajahnya yang ketakutan didepanku dan juga Veranda, melihat Boby seperti melihat Nabilah adikku, jadi aku tidak sampai hati memarahinya.

   dr.Rian yang menangani Shania keluar dari ruang UGD, aku dan Veranda langsung menemuinya.

   "Keadaan Shania gimana, dok?" tanyaku.

   "Tulang kaki kanannya sedikit bergeser, lalu pen yang saya pasang di kakinya pun terlepas, jadi saya harus membenarkannya kembali. Saya harap Shanianya dijaga, jangan sampai dia jatuh lagi, karena kalau dia jatuh lagi untuk yang ketiga kali, kaki Shania gak akan bisa lurus normal dari sebelumnya," jawab dr.Rian.

   Tubuh Veranda langsung lemas, dan dia tidak bisa menahan berat badannya sendiri dengan kedua kaki. Tapi aku dengan cepat memegang Veranda supaya tidak jatuh.

   "Sayang. Shania."

   "Iya Ve, dokter Rian pasti melakukan yang terbaik buat Shania."

   "Betul bu Kinal dan dokter Ve. Saya akan berusaha melakukan yang terbaik buat Shania anak kalian."

   "Terima kasih, dok."

   "Boleh saya melihat Shania didalam, dok?"

   "Oh, silahkan dokter Ve."

   Aku dan veranda masuk ke dalam untuk melihat keadaan malaikat kecilku yang paling bungsu. Dan aku tidak membiarkan Veranda berjalan sendiri ke dalam, takut dia seperti tadi kejadiannya, terasa lemas dan bisa jatuh kapan pun.

Continue Reading

You'll Also Like

64.3K 4.1K 19
Entah sejak kapan gadis ceroboh itu membuat gadis yang tengah memandangi gadis ceroboh itu tertarik padanya. Padahal tidak ada sama sekali yang spesi...
1.5K 141 6
setelah amelia meninggal kini hidup jeny berubah menjadi kacau,setiap hari hanya mengurung diri di kamar,dan meluk foto amelia,ibu nya pun bingung me...
149K 7.9K 32
[NEXT S2] GxG Kejadian 17 tahun lalu itu membuat ve benar-benar berubah menjadi wanita yang serba tertutup. sikap nya berubah menjadi pemalu dan pend...
79.7K 7.8K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...