Pencuri Hati

Door PipiMochi

410K 21.2K 2.8K

Selamat Menikmati Fanfiction Pertama Saya Publish SEP'15 Meer

Pencuri Hati 1
Pencuri Hati 2
Pencuri Hati 3
Pencuri Hati 4
Pencuri Hati 5
Pencuri Hati 6
Pencuri Hati 7
Pencuri Hati 8
Pencuri Hati 9
Pencuri Hati 10
Pencuri Hati 11
Pencuri Hati 12
Pencuri Hati 13
Pencuri Hati 14
Pencuri Hati 15
Pencuri Hati 16
Pencuri Hati 17
Pencuri Hati 18
Pencuri Hati 19
Pencuri Hati 20
Pencuri Hati
Pencuri Hati 21
Pencuri Hati 22
Pencuri Hati 23
Pencuri Hati 24
Pencuri Hati 25
Pencuri Hati 26
Pencuri Hati 27
Pencuri Hati 28
Pencuri Hati 29
Pencuri Hati 30
Pencuri Hati 31
Pencuri Hati 32
Pencuri Hati 33
Pencuri Hati 34
Pencuri Hati 35
Pencuri Hati 37
Pencuri Hati 38
Pencuri Hati 39
Pencuri Hati 40
Pencuri Hati 41
Pencuri Hati 42
Pencuri Hati 43
Pencuri Hati 44
Pencuri Hati 45
Pencuri Hati 46
Pencuri Hati 47
Pencuri Hati 48
Pencuri Hati 49
Pencuri Hati 50
Pencuri Hati 51
Cuap Cuap PipiMochi
Pencuri Hati 52
Epilog

Pencuri Hati 36

5.1K 356 54
Door PipiMochi

Kinal POV

   Hari ini aku mulai aktivitas seperti biasa, karena sakit yang kuderita selama empat hari sudah membaik. Rasanya senang jika tubuh kembali fit, aktivitas apa pun yang kulakukan terasa menyenangkan.

   Tadi pagi ada hal lucu sebelum aku berangkat ke kantor. Entah kenapa Veranda begitu manja, dia tak ingin berjauhan denganku barang sejengkal saja. Padahal sebelumnya ia begitu tak ingin kudekati, ketika usia kandungannya jalan 3 bulan.

   Verandaku memang sulit ditebak kalau sedang hamil. Aku jadi pusing sendiri melihatnya. Belum lagi kedua malaikat kecilku Sinka dan Shania, mereka berdua jadi minta perhatian lebih dariku dan Veranda. Ini benar-benar memusingkan.

   Tok... Tok... Tok...

   "Masuk."

   "Bu Kinal, ada tamu untuk ibu."

   "Siapa?"

   "Bu Michelle."

   Michelle? Mau apa dia sepagi ini ke kantorku? Padahal tadi Hanna tidak menyebutkan jadwalku hari ini untuk bertemu dengannya.

   Aku melihat Hanna masih berdiri dekat pintu, dia sedang menunggu jawabanku, apa aku ingin bertemu dengan Michelle atau tidak?

   "Ok Hanna. Persilahkan Michelle masuk."

   Hanna pun tersenyum, kemudian dia pergi dari ruanganku.

   "Silahkan bu Michelle."

   Hanna membuka pintu dan mempersilhkan Michelle masuk ke ruanganku.

   "Terima kasih Han," ucap Michelle.

   Setelah mengantarkan Michelle masuk, Hanna lalu menutup pintunya kembali.

   "Selamat pagi Michelle, tumben kamu sepagi ini ke kantorku? Dan tidak meneleponku dulu?"

   Aku berdiri dari kursi kebesaran Jarum Group untuk mendekati Michelle.

   "Hei, kamu gak perlu menyambutku seperti ini, Kinal. Kamu baru aja sembuh, jadi duduklah."

   Hahaha... Aku tertawa mendengar Michelle mengatakan itu.

   "Apa-apaan kamu ini! Sakitku hanya demam biasa, bukan yang luar biasa. Jadi gak perlu berlebihan seperti itu."

   Michelle pun ikut tertawa kecil lalu tersenyum. Cantik, dia wanita yang cantik kala sedang tersenyum seperti itu. Matanya yang sipit akan hilang ketika dia tersenyum. Apa-apaan aku? Memuji wanita lain selain Veranda. Come on otakku! Jangan sampai kau merekam senyum manis Michelle di sana.

   "Yakin kamu udah sehat?"

   Michelle mengangkat tangan kanannya, lalu tangan itu dia pergunakan untuk memegang pipi kiriku. Karena jarakku berdiri dengan Michelle saat ini saling berhadap-hadapan dan juga tidak begitu jauh. Saat pandangan mata kami berdua bertemu dan saling mengikat, disitulah jantung ini terasa aneh. Jantungku memompa begitu cepat.

   Sudah lama sekali aktivitas jantungku tidak bekerja seperti ini, padahal jantungku bekerja keras jika sedang bersama Veranda. Tapi kenapa jantung ini juga melakukan hal yang sama ketika Michelle menyentuhku? Aku rasa ada yang nggak beres di sini.

   "Bro, katanya ada Michelle ya?"

   Brandon membuka pintu ruanganku tanpa mengetuknya terlebih dulu, dan hanya menongolkan kepalanya saja di sana.

   "Sorry, sorry. Gue gak maksud ganggu kemesraan kalian."

   Tampang Brandon seperti maling yang ke tangkap basah, sulit untukku artikan. Mulut adik iparku yang satu itu memang harus di plester ya? Seenaknya saja bilang mengganggu kemesraanku dengan Michelle. Emang aku lagi ngapain, dan emangnya aku cewek apaan? Cukup Veranda satu di kehidupanku, dia saja sampai saat ini nggak habis-habis, malah sebentar lagi akan bertelur.

   Eh, ayam kali bertelur! Maafkan aku Veranda sayang.

   Dengan cepat Brandon menutup pintunya kembali.

   Setelah itu aku dan Michelle hanya saling melempar tatapan aneh kami berdua. Kemudian mempersilahkan Michelle duduk.

   "Maafin ucapan Brandon yang tadi ya? Jangan dianggap serius."

   "Its ok, no problem. Aku suka kok."

   "Maksudnya?"

   Michelle lagi-lagi tersenyum didepanku. Ah, kumohon Michelle jangan tersenyum seperti itu lagi. Lalu aku melihat dia menggeser duduknya supaya lebih dekat denganku, karena kami berdua duduk di sofa panjang yang sama.

   "Aku suka kalau kita dibilang mesra oleh Brandon. Dan aku bisa melakukan hal mesra yang lainnya ke kamu loh, Nal."

   Michelle menaruh tangannya diatas tanganku yang saat itu kuletakan di paha, lalu mengaitkan tangannya, berusaha menggenggam tanganku.

   Kaget?
   Aku rasa tidak.

   Hasrat Michelle memuncak didekatku sekarang, apa dia sedang menggodaku?

   Ya, aku rasa dia sedang melakukan itu sekarang.

   "Michelle."

   Aku lepas tangannya dan berdiri dari sofa, lalu jalan ke kursi kebesaranku di Jarum Group untuk duduk di sana.

   "Bagaimana proyek kita yang di Malang? Sudah sampai tahap mana?" tanyaku.

   Mengalihkan pembicaraan dan mengendalikan suasana yang sudah canggung dengan membahas pekerjaan itu akan jauh lebih baik.

   Michellep pun beranjak dari duduknya, berjalan anggun mendekatiku. Kemudian dia berdiri dibelakang kursiku, begitu terkejutnya aku ketika kedua tangan Michelle membelai lembut lenganku dari bahu turun sampai ke lengan. Dan kepalanya dia taruh dibagian atas kursi. Karena aku hanya bisa memperhatikan sikap Michelle ini dari kaca ruangan yang besar.

   "Jangan bahas itu dulu. Aku ingin merasakan sentuhanmu, Kinal. Itung-itung vitamin penyemangat buat kesembuhanmu."

   "Michelle, hentikan. Ini kantor!"

   Aku menghindar dari Michelle dan melangkahkan kaki berjalan ke arah permainan mini golf. Tapi Michelle menarik tanganku cukup kuat, seketika tubuh ini langsung menabrak dirinya.

   "Kalau kamu gak mau melakukan ini di kantor. Gimana kalau kita lakukan ditempat lain?" bisik lembut Michelle didepanku dengan wajahnya yang begitu putih dan cerah. Ditambah senyum manis pada bibirnya yang tipis.

   Tergoda sudah imanku, aku tak bisa menahannya lagi. Aku dekatkan wajah ini ke wajahnya, hingga Michelle memejamkan mata buat menyambutku, sepertinya dia tahu apa yang akan kulakukan.

   Kring Kring Kring )))

   Aku langsung tersadar ketika ada dering telepon masuk di smartphone. Dan segera mengambil smartphoneku itu, melihat pada layar ada nama kesayanganku Veranda di situ.

   "Iya Ve sayang, kenapa?"

   Kataku ketika sudah menerima telepon masuk dari Veranda. Sambil menerima telepon, aku melihat Michelle yang menunjukan wajah betenya.

   "..."

   "Apa?"

   "Ok, aku ke sana sekarang. Kamu tenang ya sayang, jangan panik! Bye."

   Aku mengakhiri telepon dari Veranda dan bergegas pergi keluar. Ketika aku ingin membuka pintu ruangan, aku sampai lupa kalau masih ada Michelle di sini.

   "Michelle, aku harus pergi. Anak bungsuku masuk rumah sakit. Jadi kalau kamu masih mau tetap di sini dan mengurus pekerjaan, kamu bisa bicarakan dengan Brandon."

   Setelah mengatakan itu ke Michelle aku langsung pergi. Tak lupa aku mengatakan hal yang sama ke Hanna, supaya Hanna dapat menghandel semuanya, serta mengatakan hal ini ke Brandon.
.
.
  
   Sampai di RS. SA Internasional aku langsung mencari keberadaan Shania.

   "Sayang," seru Veranda ketika melihatku datang.

   Aku langsung memeluk Veranda erat, dia menangis dalam pelukanku.

   "Kamu tenang dong. Shania gakpapa kok. Shaniakan kuat."

   Menenangkan Veranda cukup sulit, apalagi saat ini dia sedang hamil. Emosi Veranda sering berubah-ubah tak menentu.

   "Aku takut. Aku gak mau Shania sampai kenapa-napa," katanya dengan suara yang tertahan karena dia menangis.

   "Iya, aku tau. Tapi kamu harus tenang. Kamu lagi hamil, Ve."

   Kemudian aku melepas pelukan Veranda, mengusap air matanya yang jatuh ke pipi dengan tangan.

   "Kamu duduk, tenangkan dirimu."

   Aku menyuruh Veranda duduk di kursi tunggu depan ruang unit gawat darurat, dimana Shania sedang di tangani dokter didalam. Kemudian mama menenangkan Veranda dalam pelukannya.

   "Sinka, apa yang terjadi dengan Shania? Kenapa dia bisa jatuh?" aku bertanya pada Sinka.

   "Maafin Sinka, mih!" Sinka hanya minta maaf, lalu dia menundukan kepalanya.

   Terlihat Sinka juga menangis, seolah-olah dia punya peran besar atas insiden jatuhnya Shania.

   "Maaf anti. Ini semua salah saya."

   "Siapa kamu?" tanyaku pada laki-laki muda yang sebaya dengan Sinka, dia berdiri disamping Sinka.

   "Saya Fian, teman kampusnya Sinka dan Junot."

   "Junot? Siapa yang kamu maksud?" tanyaku heran.

   "Mih, Sinka bisa jelasin ini semua. Fian, lebih baik lo pulang sekarang," Sinka menarik tangan Fian untuk segera pergi dariku, Veranda dan mama.

   Siapa Junot yang anak itu maksud?

   Tidak lama kemudian dokter yang menangani Shania keluar.

   "Dokter, Shania gimana keadaannya?" tanyaku langsung pada dokter itu.

   "Tenang bu Kinal, kita bicarakan ini di ruangan saya, mari."

   dr.Rian mengajakku ke ruangannya untuk menjelaskan keadaan Shania. Tanpa pamit pada Veranda dan mama, aku mengikuti langkah dr.Rian.

   Ketika aku dan dr.Rian sampai di ruangannya, aku duduk di kursi depan meja dia, sedangkan dr.Rian duduk di kursinya.

   "Begini bu Kinal. Shania mengalami patah tulang di kaki kanan, karena jatuhnya dari papan climbing cukup tinggi, jadi dia mengalami patah tulang dibagian kaki. Dan saya sebagai dokter yang menangani Shania sudah mengecek lebih lanjut keadaannya, hanya pada bagian kaki kanannya saja yang parah."

   "Tunggu dok, papan climbing? Maksudnya Shania jatuh ketika melakukan olahraga itu?"

   Begitu terkejutnya aku ketika dr.Rian bilang kalau Shania jatuh dari papan climbing. Sejak kapan Shania mengikuti olahraga ekstream macam itu? Kenapa aku sampai tidak tahu?

   "Iya, menurut info dari Sinka anak anda, Shania jatuh dari ketinggian lima belas meter."

   Haahh... Helaan nafas keluar dari mulutku. Memijat-mijat keningku sendiri sambil menggelengkan kepala pelan.

   "Ok dok. Terima kasih atas infonya, saya harap anda terus memantau keadaan Shania, karena saya mau yang terbaik buat dia. Kalau bisa dokter Rian tidak perlu memeriksa keadaan pasien lain, hanya fokus ke Shania," aku sedikit menekankan di bagian akhir.

   Kemudian aku berdiri dari kursi, lalu menjabat tangan dr.Rian.

   "Sama-sama bu Kinal. Saya berusaha yang terbaik untuk kesembuhan Shania."

   Setelah dari ruangan dr.Rian, aku langsung menemui Veranda dan yang lainnya, saat aku mencari mereka semua di ruang unit gawat darurat ternyata mereka semua sudah tak ada, termasuk Shania. Lalu aku bertanya pada suster jaga di ruangan unit gawat darurat, ternyata Shania sudah dipindahkan ke kamar rawat inap Beginner 48 lantai 4.

   Langkah kakiku begitu cepat menuju kamar rawat Shania, karena aku ingin mengetahui keadaan si bungsu.

   Setelah sampai, dengan cepat aku membuka pintu kamar rawat inap Shania.

   Di sana sudah ada Veranda yang sedang duduk ditempat tidur Shania, membelai lembut rambut si bungsu. Sedangkan Shania terbaring lemas dengan kaki kanannya yang dibalut gibs.

   "Coba tolong katakan ke mimi, kenapa Shania bisa jatuh dari papan climbing? Sinka atau kamu Shania yang mau menjelaskan?"

   Tanyaku saat sudah ada didalam kamar. Aku melihat Sinka dan Shania saling melempar pandang.

   "Kinal kamu apa-apaan sih! Biarkan Shania istirahat dulu, jangan tanyai dia macam-macam, sayang!" ucap Veranda.

   "Gak bisa Ve, mereka berdua harus jelasin ke kita, apa yang sebenarnya terjadi."

   "Biar Sinka yang jelasin ini ke mimi, mama dan nenek."

   Kemudian Sinka menjelaskan apa yang terjadi, kenapa Shania bisa jatuh dari papan climbing. Kata Sinka, Shania mengikuti kejuaraan climbing tingkat nasional di kampus President University. Dan saat mengikuti kejuaraan itu ada sedikit kesalahan teknis yang mengakibatkan Shania jatuh dari papan climbing.

   "Sejak kapan kamu mengikuti olahraga itu, Shania?" tanyaku.

   "Udah dua bulan mih," jawab Shania takut-takut.

   "Kenapa kamu gak bilang ke mimi, mama atau nenek?" tanyaku lagi.

   Shania terlihat takut, dia memeluk pinggang Veranda, menyembunyikan wajahnya di sana. Dan veranda mengelus kepala Shania dengan lembut.

   "Jawab mimi kamu sayang, jangan sampai dia marah," kata Veranda.

   "Maaf mih, mah, nek. Shania salah, gak bilang ke kalian tentang ini. Shania takut mah," suara Shania gemetaran ketika mengatakan itu, "takut kalian gak mengizinkan Shania ikut olahraga ini."

   "Memang mimi gak akan mengizinkan kamu Shania. Coba liat sekarang, kamu celaka gara-gara ikut olahraga itu!"

   "Kinal, tahan emosi kamu!" kata mama Veranda mengingatkanku.

   "Maaf mah," balasku.

   "Sinka juga salah mih, seharusnya Sinka ngelarang Shania."

   "Jadi kamu tau kalau adikmu ini ikut olahraga ekstream macam itu, Sinka? Tapi kamu malah diam saja?" Sinka menundukan kepala, dia tidak berani menatapku sama sekali.

   "Kinal sayang, sudahlah. Sekarang bukan saatnya untuk marah-marah ke Sinka ataupun Shania. Sekarang itu saatnya Shania istirahat," suara lembut Veranda menenangkanku.

   Karena keadaan Shania yang berangsur-angsur membaik, aku menyarankan mama pulang bersama Sinka. Cukup yang menjaga Shania di rumah sakit aku dengan Veranda. Aku mengantarkan Sinka dan mama sampai ke parkiran. Tapi sebelumnya aku menyuruh suster memindahkan Shania ke kamar rawat VIP yang terdapat dua tempat tidur, supaya Veranda bisa merebahkan tubuhnya di sana saat menjaga Shania.

   "Mih, maafin Sinka ya?"

   "Iya, next mimi nggak mau kamu menutup-nutupi apa pun itu dari keluarga kamu sendiri. Kalian bisa sharing ke mimi, mama ataupun nenek dalam segala hal, jangan seperti ini lagi ya, sayang."

   "Iya mih, sekali lagi Sinka minta maaf."

   Aku mencium kening Sinka sangat lama sebelum dia masuk ke dalam mobil. Setelah itu Sinka dan mama pamit padaku untuk pulang.

   "Kalian berdua hati-hati, kabarin mimi kalau sudah sampai di rumah."

   Mobil yang dikendarai Sinka dan mama perlahan pergi menjauh. Dan aku kembali lagi ke dalam rumah sakit, melihat apa Shania sudah dipindahkan kamarnya atau belum?

   Langkahku terhenti ketika melihat Veranda dengan dr.Deddy di lorong rumah sakit sedang asyik ngobrol. Aku memperhatikan mereka berdua dari kejauhan. Saking asyiknya ngobrol, Veranda sampai tidak tahu kalau aku sedang berdiri memperhatikan mereka berdua.

   Veranda terlihat senang, dia sesekali tertawa kecil didepan dr.Deddy. Entah apa yang mereka bicarakan, sampai Veranda tertawa seperti itu.

   Perlahan tawa mereka berhenti, Veranda memegang kepalanya dan dia hampir saja jatuh kalau dr.Deddy tidak sigap memegang Veranda. Aku takut terjadi sesuatu dengan Verandaku, dengan cepat aku berlari menghampiri dia yang saat itu bersama dr.Deddy.

   "Ve, kamu baik-baik aja sayang?"

   Aku langsung memegang Veranda dengan kedua tangan. Sedangkan dr.Deddy yang melihatku datang dengan cepat menyingkirkan tangannya dari Veranda.

   "Aku gakpapa sayang, cuma sedikit pusing."

   "Kita ke kamar Shania sekarang, permisi dokter."

   Veranda terlihat pucat dan lemas, dengan pelan kubawa dia ke kamar rawat Shania. Saat sedang membawa Veranda untuk ke kamar Shania, suster yang kusuruh memindahkan Shania lewat didepan kami berdua. Dia mengatakan kalau Shania sudah dipindahkan ke kamar VIP, kamar Shinkoru 48 lantai 2.

   Sampai di kamar rawat aku melihat si bungsu sudah terlelap tidur, lalu aku menuntun Veranda, membaringkan tubuh dia diatas tempat tidur satunya lagi.

   "Sayang kamu mau aku ambilkan minum?" tanyaku ketika Veranda sudah berbaring ditempat tidur.

   Veranda menjawabnya dengan gelengan kepala pelan dan tersenyum.

   "Aku cuma mau kamu, Kinal. Gak mau yang lain."

   "Ve, dalam keadaan seperti ini kamu masih saja menggodaku. Aku mencintaimu Ve, sangat mencintaimu sayang."

   Aku memeluk Veranda, dan dibalas pelukan hangat olehnya.

   "Aku juga sayang, aku sangat sangat dan sangat mencintaimu. Jangan tinggalin aku, aku takut."

   "Gak akan Ve, aku akan selalu ada disampingmu selamanya."

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

33K 4.2K 23
Kita berbeda, kita berasal dari dua kehidupan yang berbeda. Aku dan kamu. Dan bunga ini, mungkin dapat menyatukan kita. Cover photo from: Instagram...
162K 7.7K 41
Jika suatu hari nanti Tuhan tidak bisa mempersatukan kita.. Percayalah Tuhan akan membahagiakan kita dengan takdir kita masing - masing.. Sebab.. Kad...
152K 15.3K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
10.9K 553 29
Non fiksi. Kilas balik dalam 29 hari. [Cerita berkonsep]