Joifuru High School

By jurimayu14

102K 6.6K 270

Kisah tentang 4 idola cowok semasa SMA dengan para gadis di dekat mereka. *jahhh lolz Cerita ini diikutkan da... More

Kata Pengantar
Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14 (Flashback)
15
16
17
18 (Now)
19 (Flashback)
20 (Now)
21
22
23
24
25
26
27 (Now)
28
29
30
31
32
33 (Now)
34 (Flashback)
35 (Now)
36
37 (Now)
38
39
40
41 (Flashback)
42
43 (Now)
44 (Flashback)
45 (Now)
46
47
48 (Now)
49
50
51 (Now)
52
53 (Now)
54
55
56 (Now)
57 (Flashback)
59 (Flashback cont-2)
60 (Flashback cont-3)
61 (Now)

58 (Flashback cont)

1.1K 97 6
By jurimayu14

Sambil berlari mengikuti dokter dan suster yang membawa Elaine dan Michelle ke Unit Gawat Darurat, Farish, Deva dan yang lainnya digandrungi perasaan cemas dan takut. Pikiran yang macam-macam dan perasaan campur aduk merasuki mereka. Takut, takut terjadi hal buruk menimpa kedunya. Ketakutan akan 'ditinggalkan' lagi sangat menghantui Farish bahkan bagi Deva. Farish bahkan lupa dengan luka tusuk yang diterimanya.

"Biarkan kami melakukan tugas kami!" Perintah seorang dokter kepala bernama Ade, menghalangi Farish, Deva dan yang lainnya saat ingin juga masuk ke dalam ruang UGD. "Nak Farish apa ingin lukanya-"

"Gak usah, Dok! Saya gak apa-apa, asal Elaine selamat."

"Kalau begitu tunggu disini"

"Ta-tapi, Dok?!"

Farish ingin protes, namun tiba-tiba tubuhnya ditarik dan ditahan oleh Deni, begitu juga dengan tubuh Deva yang ditahan Hamids.

"Mohon maaf, Dok. Silahkan bekerja, tolong selamatkan kedua sahabat kami." Ucap Boby membungkuk ke arah sang dokter kepala.

Dokter Ade balas membungkuk lalu masuk ke dalam. Pintupun ditutup.

"Lepasin gw, Nob!" Farish mendorong tubuh Deni.

Mereka semuapun menunggu di depan ruangan.

Waktu terus berlalu para dokter dan para suster masih belum keluar memberi kabar. Kedua orang tua Elaine bahkan sudah ada bersama mereka, tapi tidak dengan ayah Michelle.

"Geez! Berhenti mondar-mandir Farish! Lo bikin gw pusing!" Teriak Deva pada Farish yang sedang mondar-mandir tidak tenang di depan mereka semua.

"Lo pikir karena siapa semua ini terjadi?! Kalau dulu lo sama Michelle-" Teriak Farish balik.

Sontak Deva berdiri menghampirinya.

"Kalau sampe kenapa-kenapa dengan Elaine, gw gak akan maafin lo dan Michelle!!"

"Lo pikir Elaine doang yang di dalem?! Michelle juga!!" Balas Deva berteriak.

"Cukup! Berantem gak akan nyelesein semuanya! Farish! Deva!" Teriak Boby sambil menengahi keduanya.

Veranda yang duduk di sebelah Deva, kembali menenangkan pacarnya yang dibalut emosi itu.

"Ini juga kemana sih ayahnya Michelle?" Deva terus berusaha menghubungi ayah Michelle, yang semua orang tau ayah Michelle pebisnis yang super sibuk. Begitu susah dihubungi.

"Kalau sampe Michelle sama Elaine..." Andela yang duduk di sebelah Veranda terus menangis, tidak bisa menahan air matanya.

Veranda benar-benar merasa dirinya ada di posisi yang sulit. Harus menenangkan Deva dan Andela secara bersamaan, untung saja ada Boby, setidaknya dia bisa menitipkan Shania pada pemuda itu.

Akhirnya sang dokter kepala keluar, dari luar kita masih bisa dengan jelas mendengar suara-suara kegiatan dokter lain dan suster yang mengurus Elaine dan Michelle.

Dua sahabat yang berbaring bersebalahan sementara untuk sama-sama berjuang melanjutkan hidup mereka. Mungkin tubuh mereka berbaring tak sadarkan diri, tapi pikiran dan jiwa mereka saling menyatu.

"Piknik sih di taman gitu. Ini di rumah Michelle." Protes Andela, saat ini ketiganya sedang piknik, di halaman rumah Michelle yang luas dan menyejukkan.

"Yah, abis tamannya penuh, sih." Ucap Elaine sambil menyiapkan berbagai barang, "Daripada batal, mending kita disini. Gak apa-apa kan, Syel?"

Michelle tersenyum lebar.

"Aduh kebelet! Syel numpang pipis."

Michelle dan Elaine hanya tertawa melihat Andela yang lari terbirit-birit itu.

"Eumm? Len? Gak salah?" Michelle mengerutkan dahinya.

"Kenapa Syel?"

"Itu kenapa bebek semua? Dari botol minum, tempat makan, ini juga apa?" Michelle terlihat heran.

"Hehehe. Maaf, ya. Aku suka banget sama bebek soalnya." Jawab Elaine cengengesan.

"Hmm gitu. Ahh! Aku punya tuh merch Donald Duck asli. Kalau kamu mau, ambil aja semuanya!"

"Serius Syel?"

"Iya. Daripada ngedemek aja di lemari. Kapan sih Michelle bercanda?"

Dengan riangnya Elaine memeluk Michelle. "Makasih Michelle!"

Michelle hanya tersenyum.

Memori mereka terus berputar......

"Michelle benci Oppa!"

Sekali lagi, kata benci itu diucapkan Michelle pada orang yang dicintai. Air matanya terus menetes.

Di dalam mobil, supirnya dan Elaine hanya bisa diam memperhatikan. Perlahan Elaine mendekatkan diri dan memeluk sahabatnya.

"Deva Oppa udah gila! Gw gak tahu siapa dia! Gw gak kenal!" Teriak Michelle dalam pelukan Elaine.

Elaine tetap diam sambil mengusap-usap lembut kepala Michelle, membiarkan gadis itu meluapkan segala rasa gundah gulana dalam hatinya.

"Bantu gw, Len."

"Bantu apa?"

"Bantu aku lupain, dia. Janji selalu ada di sampingku."

"Aku akan bantu kamu sebisa aku."

Elaine melepaskan pelukan mereka. Mendekatkan wajah Michelle dengannya.

"Dan kita akan selalu bersama, aku akan ada disamping kamu. Selamanya."

Dokter Ade menghela nafasnya saat menemui mereka yang menunggu di depan ruang UGD itu.

"Ba-bagaimana, Dok?!" Tanya Deva, Farish dan kedua orang tua Elaine hampir bersamaan.

"Begini, setelah ini kami akan memisahkan kedua pasien."

Bersamaan dengan itu para suster membawa keluar tempat tidur Elaine bersama tubuh Elaine.

"Elaine!!" Sapa Gracia percuma karena Elaine tak sadarkan diri untunglah wajah Elaine terlihat tenang.

"Maaf, apa Bapak dan Ibu-"

"I-Iya kami kedua orang tua Elaine, yang barusan."

"Ahh, yang barusan. Oke jadi begini, Elaine betul?" Kedua orang tua Elaine mengangguk. "Kami sudah menghentikan pendarahannya dan melakukan operasi. Elaine mengalami gegar otak ringan dan kedua kakinya patah." Semuanya kaget terlebih Farish terlihat begitu kesal. "Kami akan memindahkannya ke kamar yang lebih tenang. Silahkan Bapak dan Ibu urus dan bicara dengan dokternya langsung untuk lebih lanjut."

Kedua orang tua Elaine langsung bergegas menyusul Elaine. Farish ingin mengikuti, tapi melihat Deva yang terdiam, keduanya hanya saling tatap.

"Sementara, pasien satu lagi-"

"Kami kakak kelasnya!" Teriak Deva mendekat ke dokter, begitu juga dengan Veranda, Andela dan Shania. "Bagaimana keadaan Michelle, Dok?"

"Dimana orang tuanya?"

"Sudah katakan aja, Dok!!" Pinta Deva.

"Tapi, saya perlu bicara dengan-"

"DOK!!" Teriak Deva memotong ucapan Dokter Ade, Deva terus menatap sang dokter.

"Hmmfhh. Baiklah. Tapi, tenangkan diri kamu. Michelle memiliki jantung yang lemah, kalau tidak segera kita tindaki kemungkinan hidup Michelle-"

BRAK!!!

Terdengar suara tubuh manusia jatuh dari kejauhan. Terlihat ternyata itu adalah ayah Michelle, dengan segera Gracia dan Hamids membantu ayah Michelle untuk kembali berdiri.

"Saya, ayah Michelle." Sapa ayah Michelle.

Semuanya langsung membungkuk sebagai balasan.

"Nak Deva? Nak Andela? Ini ada apa?" Deva dan Andela hanya bisa menunduk."Dok? Gimana kondisi jantung Michelle?"

"Hmm. Sepertinya bapak sudah tahu. Kita tidak punya banyak waktu, Pak. Satu-satunya cara menyelamatkan Michelle adalah dengan memberikannya jantung baru." Ucap sang dokter, berita yang begitu mengejutkan bagi siapapun yang mendengarnya.

"Kalau gitu segera lakukan, Dok! Operasi jantung itu, apapun itu! Berapapun biayanya pasti saya bayar!!" Teriak ayah Michelle mengguncangkan tubuh sang dokter.

"Yah, kami mengerti, Pak. Tapi, rumah sakit kami tidak memiliki stok jantung lagi."

"Kalau begitu cari!! Saya akan bayar!"
"Maaf. Tapi, Pak-"

"Apa? Kalau kalian tidak bisa, saya akan pindahkan Michelle ke rumah sakit lain! Kalau perlu ke luar negeri!!
"Itu tidak mungkin, Pak. Tubuh dan jantung Michelle tidak akan kuat untuk dibawa pergi jauh."

"Jadi? Maksud anda, kita pasrah nunggu sampe ada orang bawa jantung kesini buat anak saya gitu?!" Kesal ayah Michelle sambil memegangi kerah baju dokter.

"Berapa waktu yang kita punya?" Tanya Boby akhirnya.

"Satu minggu, paling tidak satu minggu." Jawab sang dokter mengakhiri percakapan mereka.

~~~

Dua hari berlalu, kondisi Elaine masih sama begitu juga Michelle. Secara bergantian Deva, Veranda, Boby, Shania dan Andela menjaga Michelle. Sementara Farish, Deni, Naomi, Gracia juga Hamids menjaga Elaine.

Di otak mereka hanya memikirkan kesembuhan Elaine dan Michelle. Mengabaikan pendidikan mereka, padahal sebentar lagi ujian akhir bagi kelas XII dan ujian kenaikan kelas bagi Andela dan yang lainnya.

"Kenapa? Kenapa gak ada yang hubungin saya?! Apa uang satu miliar kurang? Segitu susahnya, kah?!" Kesal ayah Michelle sambil duduk memegangi koran dimana ada iklan bertuliskan 'dibutuhkan donor jantung'.

"Om aja yang gila! Mau berapapun uangnya juga mana ada orang yang bakalan dateng ucuk-ucuk ngasih jantungnya!! Mau udah mati apalagi yang sehat!!" Kesal Deva.

"Tenang, Va!" Boby berdiri di depan Deva, menenangkan sahabatnya itu. "Mereka juga sedang berusaha mencari donor jantung untuk Michelle, tenang gw mohon, demi Michelle."

Deva kembali mengatur nafasnya.

Sementara itu di kamar Elaine, Farish masih duduk di samping gadis itu. Memandangi tubuh kecil Elaine yang tertidur begitu tenangnya.

"Rish, gw sama Kak Naomi mau beli makan. Lo mau apa?" Tanya Deni.

"Gak usah Nob, lo beliin aja buat nyokapnya Elaine. Sama buat GreMids."

Terlihat Ibunya Elaine tidur di sofa samping Elaine. Di sofa belakang Farish, Gracia tidur dengan menjadikan paha Hamids sebagai bantal.

"Jangan lupa pergi ke tempat Michelle, tanyain yang disana udah pada makan atau belom." Tambah Farish.

Deni pun mengangguk lalu pergi keluar kamar Elaine bersama Naomi.

"Dek, bangun." Panggil lirih Farish sambil mengusap-usap lembut punggung tangan Elaine.

Tiba-tiba ada tangan lain yang juga menempelkan tangannya diatas tangan Farish. Tidak terasa tapi terlihat tembus pandang.

"Ny-Nyash?!" Kaget Farish saat melihat sosok yang sudah sangat lama tidak dilihatnya.

Gadis yang kini bukan manusia lagi itu tersenyum pada Farish. Seketika keringat dingin mengalir di tubuh Farish, padahal kamar itu pake AC. Jujur Faris takut kalo Diasta akan 'mengajak' Elaine.

"Nyash, ka-kamu gak akan-" panik Farish.

Diasta tersenyum lalu memegang lembut pipi Farish, kagetkan Farish karena dia bisa merasakan kehangatan tangan Diasta.

"Jaga dia baik-baik. Maaf aku harus pergi lagi." Tiba-tiba sosok Diasta kembali menghilang.

"Tu-tunggu! Nyashu!!" Teriak Farish percuma.

Saat dia menatap Elaine, alat detak jantung disampingnya itu masih tunjukkan detak kehidupannya.

Di depan ruang rawat Michelle, wajah-wajah panik dan ketakutan masih terlihat. Mereka benar-benar tidak ada yang bisa berpikir.

"Maaf Pak Ade. Apa gak ada cara lain?" Tanya Boby pada sang dokter kepala yang memang langsung turun tangan menangani Michelle.

Dokter Ade terlihat berpikir.

"Ve-" Terdengar suara seperti seseorang memanggil namanya, Veranda mencari kesana kemari sosok yang memangilnya itu.

"Kak Diasta?" Panggil pelan Veranda, sedikit mencuri perhatian Boby. "Dok!" Teriak Veranda mendadak. Dokter Ade langsung melihat Veranda.

"Bapak bilang, Michelle butuh jantung yang kuat dan sehat. Bagaimana dengan jantung orang hidup?"

"Maksud kamu, orang yang masih hidup memberikan jantungnya? Tidak ada masalah asal memenuhi syarat. Tapi, tidak ada satu orangpun yang akan melakukan itu, kan?"

"Kalau begitu, biar saya yang menjadi orang pertama yang melakukannya." Ucap Veranda, buat semuanya menoleh padanya karena terkejut.

Apalagi Deva dan Shania yang benar-benar terbelalak kaget...

Continue Reading

You'll Also Like

3M 250K 21
Bagaimana perasaanmu ketika ada orang yang menguntitmu? Mengetahui segala aktivitasmu? Terlebih dia menjebakmu hingga mau tidak mau kau harus menjadi...
239K 35.9K 65
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
7.4K 678 45
~ JANGAN LUPA FOLLOW DULU YA ~ Chiko yang merupakan putra mahkota kerajaan vampire Valexandron mencintai Ara yang hanya manusia biasa dan ingin menj...
39.2K 2.8K 25
" sampai adek gw lecet dikit , gw bakal bunuh orang terdekat lo! " Ucap Tegas Adelio yang menatap tajam wajah seseorang berhoodie hitam Orang berhood...