5

1.8K 121 7
                                    

“Jadi om Boby dulu musuhan sama tante Shania?” Tanya gadis kecil itu tiba-tiba pada Deva.  

“Musuhan? Bagaimana papah menyebutnya, ya? Hmm.”  

“Lagi pada asik ngobrolin apa, sih?” Tiba-tiba dari belakang sang istri kagetkan suami dan anaknya.

“Astaga Mamah, ngagetin aja.”

“Ahh! Si Papah mah berlebihan. Udah ayok pada sarapan dulu. Masakannya udah jadi.”  

“Tapi, ceritanya Papah lagi seru.”

“Mamah bilang sarapan, sarapan dulu sayang.” Sang mamah dengan senyum lembutnya berusaha membujuk sang anak.  

“Tapi, Pah-”  

“Nak, patuhin apa yang Mamah kamu bilang. Abis makan Papah ceritain lagi. Masih banyak kok bagian yang serunya.”

“Bener yah, Pah?”

“Iya Nak. Papah janji.” Dengan senyum lebar dan jari yang membentuk lambang ‘peace’ Deva berjanji pada anaknya.  

Pinky swear?

Deva tersenyum kembali saat melihat anaknya yang memohon dengan polosnya sambil mengarahkan jari kelingking kecilnya pada sang papah. ‘Pinky Swear? Pasti ketularan anaknya Boby, nih.’  

Yes, my little girl. Pinky Swear.” Kedua jari kelingking itupun saling bertautan.

“Yaudah, sekarang anak Papah sarapan dulu. Kalau gak sarapan, Papah yang abisin masakannya mamah.”  

“Yak!! Gak boleh!!” Dengan lincahnya sang anak langsung berlari kilat menuju ruang makan rumah mereka.

“Yaudah, Mamah mau nemenin anak kita sarapan dulu.”  

“Mah, tunggu dulu,” Deva menahan tangan istrinya yang ingin pergi dari ruang keluarga mereka.  

“Kenapa sayang?”  

“Duduk sini dulu.” Menuruti keinginan sang suami, akhirnya sang istri duduk disampingnya.  

“Ada apa?”  

“Apa gak apa-apa yah Papah ceritain soal masa lalu kita dulu ke anak kita?”
“Hmm, Mamah gak bisa bilang ini ‘gak apa-apa’. Papah yang paling tahu kan betapa menyenangkan juga buruknya masa lalu kita dulu itu.”

“Terus, Papah mesti gimana?”

“Mamah cuman bisa bilang, Papah harus tepatin janji Papah untuk menceritakan sama anak kita. Papah gak boleh melanggar janjinya, loh.”  

“Iya, Papah tahu soal menepati janji kok.”

“Lagian, cepat atau lambat, anak kita pasti akan tahu gimana Mamah dan Papahnya dulu.” Istri Deva tersenyum begitu manis, senyuman itu disambut Deva hangat. Begitu menenangkan hati Deva.  

“Yaudah, kalau gitu. Makasih sayang”  
“Iya, sama-sama. Kamu jangan lupa sarapan ya.” Ingat sang istri lalu mencium lembut bibir suaminya, sebelum akhirnya tinggalkan Deva kembali menyindiri.

Pikir Deva, akhirnya dia akan kembali membuka semua kisah lama yang sudah lama tidak diingatnya untuk pertama kalinya pada anaknya sendiri. Deva hanya duduk diam saat menyantap sarapan paginya itu. Otaknya terus berpikir, apa baik-baik saja jika anaknya tahu semua ini sekarang?

“Pah.” Sapa sang anak kagetkan Deva. “Cerita lagi dong sekarang lanjutannya.” Pinta sang anak yang sedang memakan sosis goreng itu.  

“Papah makan dulu yah sayang.”  

“Ihh! Papah makannya lama, nih.” Sang anak menggembungkan pipinya. ‘Semakin mirip dengan mamahnya.’ Pikir Deva.  

“Ihh! Enak aja. Emangnya Papah itu kamu.” Canda Deva membalas ledekan anaknya.  

“Hey, hey, hey. Kok jadi pada berantem? Udah biarin Papah makan dulu ya sayang, kamu juga. Habis itu baru cerita-cerita lagi.” Lerai sang mamah, ketiganya kembali melanjutkan sarapan mereka.  

Akhirnya, piring mereka bersih. Tanpa jeda sang anak kembali bertanya dan meminta. Tidak beranjak dari tempat duduknya, Deva melanjutkan kisah masa lalunya….

Joifuru High SchoolWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu