Happy reading
Tandai typo dan jangan lupa tinggalkan jejak
Jam satu siang, mobil Sean sudah berada di depan sekolah adiknya. Pemuda itu menunggu dengan tidak sabaran, mata tajamnya terus menatap orang-orang yang keluar dari gerbang.
"Ck, lama!" decaknya saat Sea masuk ke dalam mobil.
"Habis dari ruang guru, maaf udah buat bang Sean nunggu," ucap gadis itu.
Sean tidak menjawabnya, pemuda itu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sea sendiri memilih melihat jalanan yang mereka lewati, semakin lama ia merasa kalau perasaannya mulai hampa. Mungkin karena dirinya begitu terkekang dengan semua tingkah Sean yang melarangnya ini dan itu.
"Seru bisa berduaan di perpustakaan?" suara pemuda itu mengejutkannya.
"Maksud bang Sean?" Sea menoleh dengan perasaan yang mulai gelisah.
"Gue nggak suka ngulang kalimat yang sama," jawab Sean tanpa menoleh.
Gadis itu bungkam, pikirannya menuju ke satu hal yang kemungkinan terjadi. Sea menggigit bibir bawahnya, rasanya ia ingin berteriak dan menyuruh Sean untuk berhenti mengatur hidupnya. Namun semua kalimat itu hanya tertahan di tenggorokannya.
"Bang Sean, seberapa jauh kehidupanku selalu diawasin sama abang?" tanyanya dengan suara yang terdengar lirih, karena Sea sudah lelah.
"Semuanya, meskipun lo mati—gue bakalan ngawasin mayat lo!" jawab pemuda itu dengan seringai tipisnya.
"Bang Sean, meskipun sampai saat ini aku nggak pernah dianggap sebagai adik. Aku harap bang Sean bisa berubah, setidaknya berubah untuk diri sendiri. Aku sayang bang Sean sebagai saudara, walaupun cuma aku yang menganggapnya begitu. Aku harap bang Sean bahagia, meskipun nanti udah nggak ada aku lagi," ujar Sea yang membuat pemuda itu mencengkeram erat setir mobilnya.
"Lo nggak perlu cari muka di depan gue! Jangan harap lo bisa lolos dari hukuman!" kata Sean yang menambah kecepatan mobilnya.
Sea tersenyum tipis, gadis itu mengatakan semua itu tulus dari hatinya. Disini dirinya tidak memiliki siapapun, kecuali keluarga Delwin yang menjadikannya sebagai bagian dari mereka. Ia juga menyayangi Sean, karena dari awal keberadaannya disini untuk melindungi pemuda itu.
Sea juga tidak berharap hidup lama di dunia ini, karena ia ingin menemui Hendery dan kedua orang tuanya. Gadis itu hanya ingin membantu Sean mendapatkan hidup yang bahagia, walaupun harus ditukar dengan nyawanya. Sea tidak takut mati, karena di dunia ini tidak ada yang namanya abadi.
Kalau Sea memang tidak diperbolehkan untuk jatuh cinta kepada seseorang, maka ia tidak akan jatuh cinta kepada siapapun. Karena Sea juga tidak mau jatuh cinta kepada siapapun, cintanya sudah habis untuk keluarganya. Bahagia? Sea tidak tahu apa arti dari kebahagiaan, selama ada di tempat ini—karena ia sadar kalau kasih sayang Felix dan Vanila itu hanya kebohongan.
'Disini nggak ada yang tulus, semua orang cuma pura-pura tulus. Bahkan orang tua angkat gue sendiri, mereka cuma pura-pura karena bang Sean mulai nerima gue jadi adiknya. Lagian apa yang bisa harapin disini? Gue cuma berharap bisa ketemu sama bang Hen.'
Sea mengusap air matanya, ia mengingat pembicaraan Felix dan Vanila saat dirinya menghubungi mereka yang tengah melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri, dimana keduanya lupa memutuskan panggilan yang seharusnya sudah selesai.
Ternyata Felix dan Vanila hanya berpura-pura menerima keberadaan Sea, karena Sean yang menginginkan gadis itu sebagai adiknya. Mereka melakukan sandiwara agar Sea betah di kediaman Delwin.
Felix dan Vanila sebenarnya hanya ingin menuruti keinginan putra mereka, lagian siapa juga Sea? Gadis itu hanya orang asing yang beruntung bisa diadopsi oleh keluarga terpandang di negara ini.
"Ngapain lo nangis? Cepet turun!" suruh Sean yang keluar lebih dulu.
"Kenapa juga gue nangis? Seharusnya gue nggak kaget kalau mereka begitu, soalnya nggak mungkin bang Sean punya sifat kayak gitu kalau bukan faktor keturunan," Sea kembali mengusap air matanya, gadis itu akan berpura-pura tidak mengetahuinya.
Sea keluar dari dalam mobil, gadis itu mengerutkan alisnya saat melihat dimana dirinya berada. Ternyata Sean tidak membawanya pulang, tetapi membawanya ke arena balapan yang waktu itu pernah ia datangi.
Grep!
"Ini taruhannya, sama mobil kesayangan gue!" kata Sean sambil menarik adiknya di hadapan dua pemuda yang terlihat asing.
"Aku nggak mau dijadiin bahan taruhan!" tolak Sea yang mencoba melepaskan tangannya.
"Diem! Ini hukuman buat lo!" bentak Sean yang semakin mengencangkan cengkeramannya.
Gadis itu menggeleng tidak mau, dirinya bukan barang. Apalagi tatapan kedua pemuda yang menjadi lawan Sean hari ini, mereka menatap Sea seperti ingin melecehkannya. Gadis itu terlihat gemetar, ia akan menerima hukuman apapun—asal jangan menjadi bahan taruhan.
"Bang Sean, aku mohon ganti hukumannya. Aku nggak mau!" ucap Sea yang hampir menangis.
"Oke, gue setuju sama barang taruhannya. Boleh juga barangnya," ucap salah satu pemuda yang menjadi lawan Sean.
Sea mencoba melepaskan diri, meskipun pergelangan tangannya begitu sakit. Lawan Sean terlihat seperti orang yang tidak benar, gadis itu benar-benar takut. Tatapan mereka saja sudah membuat Sea merinding, gadis itu seperti dilecehkan hanya dengan tatapan mesum keduanya.
"Bang Sean, aku bakalan ngelakuin apa aja—asal hukumannya diubah!"
"Nggak bisa, mereka udah setuju. Jadi lo siap-siap nunggu gue menang atau kalah!" kata Sean sambil mendorong adiknya kepada beberapa orang bertubuh besar yang sudah ia siapkan untuk menahan Sea.
"Bos! Lo jangan gila!" teriak Yoshi yang mencoba menolong Sea.
"Lo jangan ikut campur! Lo jaga dia, jangan sampai kabur!" titah Sean.
"Kak Yoshi, tolong bantu aku!" kata Sea kepada Yoshi yang baru datang dan duduk di kursi depannya.
"Lepasin dia, gue yang jaga dia!" kata Yoshi kepada dua pria yang menahan tangan Sea.
"Maaf, kami hanya mengikuti perintah Tuan Muda," jawab keduanya.
Yoshi mengepalkan tangannya, pemuda itu tidak tega melihat Sea menangis. Yoshi tahu kalau Sean itu gila, tapi tidak begini juga cara menghukum adiknya.
Lawan Sean bukan orang sembarangan, karena mereka sering berebut posisi pertama. Sea akan hancur kalau Sean kalah, karena lawannya adalah bajingan hypersex yang tidak bisa diam kalau melihat mangsa di depan mata.
"Sea, lo harus tenang. Kita berdoa semoga Sean menang, gue bakalan ngelindungin lo," kata Yoshi yang sangat ingin membunuh Sean.
Jantung Sea seakan berhenti berdetak, saat mobil Sean berada di belakang mobil lawannya. Sedikit lagi keduanya akan sampai di garis finish, tetapi mobil Sean masih berada di belakang. Sea memejamkan matanya, ia berdoa agar Sean yang memenangkan balapan tersebut.
"Yes! Bos Sean menang!" suara Yoshi membuat gadis itu kembali membuka matanya.
Sea menghembuskan nafas lega, saat lawan Sean terlihat marah-marah dan memukul temannya sendiri. Tangan gadis itu dilepaskan, kini Sea tidak ditahan lagi. Namun gadis itu masih belum bisa menopang tubuhnya, ia benar-benar takut kalau dirinya akan dibawa orang kedua orang mesum itu.
"Cengeng!" kata Sean yang sudah berdiri di depan adiknya.
"Bos, lo yang bener aja! Gue kalau jadi Sea, juga nangis kalau dibawa sama mereka berdua," kata Yoshi sambil memukul bahu Sean, untuk meluapkan sedikit rasa kesalnya.
Sean tidak menggubrisnya, pemuda itu hanya fokus dengan wajah cantik adiknya yang terlihat memerah—karena marah dan juga habis menangis. Sean menarik dagu sang adik, sehingga Sea mendongak dan menatapnya dengan mata yang masih basah.
"Lain kali jangan keras kepala!" kata pemuda itu sebelum mencium Sea di hadapan Yoshi dan beberapa temannya yang lain.
"What the fu—" Yoshi menahan umpatannya, pemuda itu menatap horor sosok Sean yang tengah mencium Sea begitu ganas.
"Lo urus barangnya, satu mobil ganti nama jadi Sea!" perintah Sean kepada Yoshi yang masih tercengang.
"Bos—lo harus berhenti! Sea, adik lo bangsat!" Yoshi tidak bisa menahan umpatannya.
"Siapa bilang? Dia cuma mainan gue."
Lanjut?
Ada kata-kata untuk Sean? 👉🏻
Spam sebanyak-banyaknya!
See u on the next chap!