MY SOFTLY HUBBY [END]

By Alphaawordl

1.3M 94.6K 25.1K

[ šŸ”žšŸ”ž Tidak sehat bagi jantung jomblo ] Prinsip hidup Alam sederhana, tidak mencari masalah dan enggan menik... More

PROLOGUE & FOREWARD
[ BAB - 01 ]
[ BAB - 02 ]
[ BAB - 03 ]
[ BAB - 04 ]
[ BAB - 05 ]
[ BAB - 06 ]
[ BAB - 07 ]
[ BAB - 08 ]
[ BAB - 09 ]
[ BAB - 10 ]
[ BAB - 11 ]
[ BAB - 12 ]
[ BAB - 13 ]
[ BAB - 14 ]
[ BAB - 15 ]
[ BAB - 16 ]
[ BAB - 17 ]
[ SPECIAL BAB - 1 ]
[ BAB - 18 ]
[ BAB - 19 ]
[ BAB - 20 ]
[ SPECIAL BAB - 2 ]
[ BAB - 21 ]
[ BAB - 22 ]
[ BAB - 23 ]
[ BAB - 24 ]
[ BAB - 25 ]
[ BAB - 26 ]
[ SPECIAL BAB - 3 ]
[ BAB - 27 ]
[ BAB - 28 ]
[ BAB - 29 ]
[ BAB - 30 ]
[ BAB - 31 ]
[ BAB - 32 ]
[ BAB - 33 ]
[ BAB - 35 ]
[ BAB - 36 ]
[ BAB - 37 ]
[ BAB - 38 ]
[ BAB - 39 ]
[ BAB - 40 ]
[ BAB - 41 ]
[ BAB - 42 ]
[ BAB - 43 ]
[ BAB - 44 ]
[ BAB - 45 ]
[ BAB - 46 ]
[ BAB - 47 ]
[ BAB - 48 ]
[ BAB - 49 ]
[ BAB - 50 END ]
[ EXTRABAB - 1 ]
[ EXTRABAB - 2 ]
[ NEW STORY! ]
[ EXTRABAB - 3 ]

[ BAB - 34 ]

16.9K 1.7K 649
By Alphaawordl


Bantu koreksi typo, ya❤

BAB 34 — Clear














Alam memutar Burgundy glass di tangan, kepalanya menengadah begitu seorang pria menarik kursi guna duduk di seberang meja. Ia menghirup aroma anggur yang terperangkap di dalam gelas, menyesap cairan dengan tenang.

“Saya telat?”

Si bapak dokter menggeleng. “Enggak, Ry. Mau pesen Wine?”

“Saya udah enggak minum. Pesen yang lain, aja.”

“Oalah, sama—saya udah enggak minum.”

“Enggak minum?” Ia menaikan alis, tertuju ke gelas yang dipakai untuk meminum Wine. “Itu ....”

“Minuman rasa anggur, saya ala-ala, doang. Biar keliatan keren.”

“Halah, Lam—yang bener.”

Alam terkekeh, “Saya udah enggak ngerokok sama minum, Ry. Belajar hidup sehat, supaya bisa hidup lama bareng istri saya yang usianya muda banget.”

“Pamer, nih? Jadi, saya sibuk—kamu perlu apa?”

“Istri saya hilang, kamu bisa bantu cari?”

“Istri kamu itu bukan termasuk warga saya, Lam— dia kependudukannya orang Jakarta. Masa kamu nyuruh pake jabatan saya buat nyari dia?”

“Ya, bantuin warga kamu yang menderita ini, dong, Ry. Saya pusing—”

“Ya, untung kalau istrimu di Banten? Kalau bukan?”

Oh iya ....

Benar juga.

Kenapa Alam tidak kepikiran sampai ke sana?

“Lagian ..., aneh banget. Kok iso bojomu ilang?”

“Bukan ilang, sih, melarikan diri. Karena, saya bikin salah.”

Haryanto berdecak, melihat Alam putus asa begini—pasti permasalahan rumah tangganya sudah gawat darurat. Berat sekali cobaan kawannya, padahal di fase awal pernikahan, Haryanto menjalani keseruan berbulan madu bersama istri.

Alam melipat tangan, ia menidurkan dahi ke lengan sebagai bantalan. Tak tega, Haryanto menepuk bahu bapak dokter tersebut, menyalurkan keprihatinan.

“Saya belum tidur ....”

“Istirahat, entar kamu drop.”

“Gimana saya bisa tidur? Saya enggak tau apa istri saya baik-baik, aja, atau enggak. Saya enggak tau beliau makan apa enggak—”

Memiliki pengalaman rumah tangga yang pahit, membuat Haryanto turut mengiba kepada Alam. Ia memahami betul, bagaimana pilu yang dirasakan sang sahabat. Meskipun, terbersit rasa jengkel jika mengingat Alam justru galau akibat perempuan lain, bukan adiknya.

“Bener, sih—sing sabar. Cobaan pernikahan emang berat, Lam.”

“Ry, kalau saya nangis, jangan diketawain, ya.”

Baru mendengar penuturan Alam saja, Haryanto sudah ingin tertawa.

“Iy—” Haryanto mengatup bibir. Bibirnya bergetar menahan tawa. “S-Semangat, Lam.”

“Saya tadi habis ketemu psikiater yang nanganin istri saya.”

“Terus?”

“Saya nanya, kemungkinan ke mana istri saya pergi, kali, aja—psikiaternya bisa nebak. Ternyata, saya dikasih info yang bikin saya makin stres.”

“Kenapa?”

Alam mendongkak, “Saya dilarang ngehamilin istri saya dulu. Karena, mentalnya enggak stabil. Bodoh banget, saya pikir dia baik-baik, aja. Saya pengen narik do'a saya. Semisal istri saya masih punya luka, saya siap enggak punya keturunan.”

Haryanto terdiam, mengingat sewaktu berbincang bersama Alam dahulu. Alam sangat mendambakan anak. Dengan konflik yang menumpuk, ia tak dapat membayangkan seberisik apa isi kepala Alam kini.

“Lam, saya bakal berusaha bantu kamu nyariin si Navella.”

“Thanks, Ry.”

“Kalau dulu, kita berdua pasti udah minum bareng sampe pingsan. Sekarang, enggak ada opsional, ya, Lam.”

“Sebenernya saya pengen icip dikit, cuma takut juga ada pasien dadakan.”

“Keadaan kamu udah gini, tetep nanganin pasien?”

Alam tertawa miris. “Alhamdulillah, saya tetep bisa nyelametin nyawa pasien. Terlepas dari saya suami Nave, saya juga dokter buat pasien saya, 'kan?”

“Sinting kamu, Lam!”

“Iya, saya cerita ke kamu biar saya tetep waras, lho—saya enggak bisa cerita ke keluarga. Saya takut—takut istri saya dipandang buruk. Saya enggak mau, Ry. Istri saya udah mikir, saya bisa, aja, ninggalin dia buat nikah sama orang lain. Artinya, saya belum nunjukkin gimana seriusnya saya ke dia.”

“Maksudnya, nikah sama Nina?”

“Kamu pun tau ..., kenapa, ya? Kenapa orang-orang jahat banget ke istri saya. Ngebandingin istri saya dengan Nina. Sedangkan, Nina dan Nave jelas dua orang yang beda proporsi. Mereka bilang, Nina lebih unggul. Padahal, cuma berdiri di samping Nave doang, saya udah bahagia setengah mati. Kata orang, saya easy going, selalu bikin orang nyaman—enggak ada yang mikir, apa saya nyaman? Bareng Nave saya nemuin kenyamanan yang enggak saya temuin pas bareng siapapun, even Nina. Saya selalu bisa ngendaliin diri saya, saya selalu sanggup baca perasaan orang lain. Mengenai Nave, saya bakalan tolol, saya susah ngendaliin diri saya. Saya susah ngendaliin perasaan saya. Istri saya ngebuat saya sadar—saya punya sisi yang saya pendem dan dia yang berhasil memperlihatkan sisi yang pengen saya tutupin biar enggak disangka kekanakan. Dari kecil, saya dituntut bersikap dewasa, apalagi Anam type anak yang mesti diperhatiin.” Alam menjeda, pria itu menegak minuman hingga tandas. “Semenjak satu insiden, saya kehilangan perhatian orangtua saya— saya harus berprestasi, saya wajib menang di segala bidang demi ngecover kebutuhan orang tua saya. Saya terstruktur, serba disiplin, saya tunduk terus patuh atas perintah orangtua saya. Saya mengalah, ngebebasin orangtua saya setting saya, mesti ke kiri, ke kanan. And then ..., Navella dateng, ngubah saya dalam sekejap, kayak anomali, yang ngebuat jalan saya yang semestinya lurus, jadi banyak tanjakan, belokan dan turunan. Sayangnya, enggak ada orang yang paham.”

Haryanto bukannya enggan menanggapi. Namun, ia mengerti, bahwa Alam hanya ingin didengarkan—Alam yang selama ini senantiasa mendengarkan orang lain, kini butuh pendengar isi hatinya. Alam si paling bijak dalam menemukan jalan keluar problem orang-orang sekitarnya, terjebak jalan buntu sampai bingung mengambil sikap.

Impact Navella luar biasa, sewaktu Alam menjalin hubungan dengan adiknya bertahun-tahun. Alam tak sebegininya.

Alam tidak berbohong.

“Saya takut, Ry. Saya takut ditinggalin sebelum saya kasih tau perasaan saya ke beliau. Sebenernya, saya benci akuin fakta—saya udah setua ini, malah kacau balau karena perempuan yang usianya se-muda istri saya.”





*🍉🍉🍉*




“Nave, sorry! Aku pamit undur diri!”

Sandiana menghilang dalam sekejap mata. Navella mematung, ia menatap jari-jari bapak dokter yang memegang erat daun pintu.

Hush—” usirnya kepada Alam.

“Jangan gini, izinin saya masuk, ya, Nduk?”

Mbuh! Enggak mau!” Navella menarik pintu, agak heran—ia menduga Alam menahan pintu, rupanya sebatas memegang pintu saja. “Pergi ....”

“Saya enggak bakal pergi, kecuali kamu ikut saya,” ujar Alam.

“Aku jepit, nih, tangannya!” ancam Navella, semisal Alam menahan pintu dengan tenaga, dijamin 100% dirinya akan terjembab, untung suaminya tidak begitu. “Pindahin cepetan, dr. Alam! Aku enggak boong!”

Please, saya pengen ngomong. Saya minta maaf, Nduk.”

“Enggak! Sono, sama mbak Nina, aja!”

“Nonave,” panggil Alam, nadanya sangat pelan.

Navella menulikan pendengaran, ia menarik paksa daun pintu. Akibat ulahnya, jari-jari Alam hampir terjepit, tetapi herannya—pria tersebut tak sedikit pun menggerakan tangan, seolah tidak perduli— mau tangannya terluka atau tidak, selama ia dapat menahan pintu supaya tak tertutup rapat.

“Aku jepit betulan! Sumpah! Ih!”

“Iya, enggak apa-apa. Hati-hati, nanti jari kamu yang kejepit,” peringat Alam.

“Pak De! Ish! Pala batu!” Navella memajukan bibir, ia mode ngambek, tetapi tidak tega, ia benar-benar tak mau menyakiti suaminya. “Yaudah! Aku kasih password, kalau Pak De bisa jawab pertanyaanku, aku bolehin masuk.”

Alhamdulillah, makasih—apa pertanyaannya?”

“Di suatu kota, ada dua orang pengedara mobil—karena lampu merah, kedua mobil itu berhenti.”

“Iya,” sahut Alam.

“Pertanyaannya, cewek yang mau nyeberang pake baju warna apa?”

Refleks, Alam ber-syahadat. Di situasi genting pun, Navella selalu melakukan tindakan yang di luar ekspektasinya. Bahkan, seorang Albert Eistein pun, takkan mampu menjawab soal yang diajukan oleh Navella. Bagaimana dengan Alam yang kepintaran dirinya tak menyentuh 1% otak jeniusnya Albert?

Tolong, lah—

Ini lebih mustahil daripada teori Bumi itu datar.

Clue, Sayang,” pinta Alam.

Wait a minute.

Wait a minute ....

Barusan Alam memanggil Navella Sayang! Garis bawahi, suaminya memanggil Sayang! Bibir sang nona artis kontan berkedut, ia menahan senyum yang hendak mengembang. Sempat-sempatnya, ia salting.

Ah!

Roh Navella serasa keluar dari tubuhnya sebatas untuk menari Jonggrang, saking senangnya.

Nonave?”

Babi ngepet! Baru juga diterbangkan ke langit ke tujuh! Alam sudah mengoreksi panggilannya. Ish! Navella geram! Apakah tadi sekadar typo mulut? Ia sakit hati.

Dan ..., ingin menangis.

Pergantian mood yang sangat drastis.

“Enggak tau! Enggak ada clue!”

“Oke, saya buat akun baru buat jadi haters kamu, gimana, Nduk?” bujuk Alam.

Sip!

Navella auto membuka pintu, mempersilakan sang suami memasuki penthouse Maves. Dirinya teramat mudah tergiur jika diberikan tawaran seperti itu.

“Janji, ya? Ngehujat aku?”

Gusti Nu Agung, Alam tidak ikhlas, tetapi demi istri, ia rela melakukannya.

“Iya, saya janji, Nduk.”

“Ayo, masuk.”

Alam menyusul langkah Navella yang melangkah menuju ruang tamu. Istrinya duduk di sofa, lantas ia buru-buru mendaratkan bokong tepat di sebelah si nona artis.

“Maaf.”

Ekor mata Navella melirik suaminya. “Ng.”

“Saya salah, Nduk.”

Ng.”

“Saya harus apa biar kamu mau maafin saya?”

“Aku juga salah, sih,” cicit Navella.

“Enggak, wajar kamu marah, kok. Orangtua saya mungkin boleh bersikap, gitu. Tapi, sebagai suami kamu, saya semestinya lebih aware sama perasaan kamu, Nduk.”

Navella mengepalkan tangan, perasaan dirinya tak pernah divalidasi siapa-siapa sepeninggal keluarga. Ia senantiasa tidak diberi ruang meluapkan emosi yang ia alami selain ketika acting. Tetapi, Alam tak menyalahkan sudut pandangnya.

Sungguh ..., Navella terharu.

Dan ..., lagi-lagi ingin menangis.

“Lagian! Pak De, sih! Aku tuh iri sama mbak Nina.”

Alam menjangkau kedua tangan Navella. “Saya ngewakilin orangtua saya minta maaf ke kamu, ya? Saat mereka udah legowo sama pernikahan kita— saya bakalan minta mereka minta maaf ke kamu.”

Navella menelisik retina Alam, ia hendak bertautan pandangan. Sayangnya, Alam terkesan menghindar dengan membidik objek lain di wajahnya.

“Enggak apa-apa, enggak usah. Aku cuma kesel— tapi maklum, kok. Mbak Nina udah kayak anak dan adik bagi kamu, Pak De. Di sini, aku yang orang asing.”

“Salah, istri saya bukan orang asing. Kamu bagian diri saya. Orangtua saya juga enggak sebaiknya semena-mena. Sekalipun mereka enggak setuju, mereka tetap wajib ngehargain esensi kamu. Toh, saya milih kamu, untuk sementara ..., sabar, ya?”

Navella manggut-manggut, Alam menghela lega—ia mengulum senyum, memajukan wajah. Kemudian, menangkup pipi istrinya, mengecup lama kening Navella.

“Saya kangen ...,” bisiknya, tepat di telinga Navella, yang membuat sang empu merinding.

Navella mengulurkan tangan, memeluk erat Alam— ia memejamkan mata. Melampiaskan perasaan rindu yang menyelimuti dirinya, menghirup aroma wangi Alam yang kian hari menjadi candu.

Oh iya ..., Pak De, kamu di-santet, ya?”

“Hah?”

Alam sukar menyembunyikan kebingungan usai mendengar pertanyaan Navella.

“Iya, sama fans-ku?”

“Oalah, diteror, Nduk! Ngeri banget kalau di-santet, kamu yang bener, dong.”

Navella memukul manja dada Alam. “Cemana, sih! Kudunya, ngomong sama aku! Aku bakal negur fans aku yang kurang ajar! Mereka enggak boleh, gitu! Suamiku enggak boleh diusik!”

Alam terkekeh gemas. “That's not a big deal, Nduk—masih sanggup saya atasi, kok. Saya enggak mau kamu ngebebanin kamu.”

Jengkel dengan pemilihan kosa-kata Alam, Navella spontan menyentil bibir Alam, pria itu terlonjak.

No no no! Pak De, bukan beban! Beban apaan! Ish! Bego!”

Alam bersedekap tangan. “Kamu kenapa enggak bilang ke saya? Tentang kamu yang dengerin gosip temen arisan mami?”

Upsie!” Navella mengatup bibir. “Masalah, itu, ya? Aku enggak pengen ngebeba—”

Eh? Jika dirinya kesal ketika Alam menganggap apa yang ia alami merupakan beban. Berarti berlaku sebaliknya ....

“Apa? Kamu ngebebanin saya?”

“Cih!”

Tidak punya pembelaan apapun, Navella tidak merespons ucapan Alam. Ia kepalang tersudut.

“Mau ciyom, dong!” pinta Navella.

“Belum, jangan alihin pembahasan dulu, Nduk.”

Hehehehehe~”

Si nona artis ketawa karir.

“Mulai sekarang, kamu enggak usah khawatirin omongan orang lain. Kamu istri saya, kewajiban kamu ngehabisin uang nafkah yang saya kasih— adapun orang mikir kamu menikahi saya karena kamu incer harta saya, udah biarin, aja. Saya udah tua, selain background orangtua saya yang tajir, saya enggak punya apa-apa buat dibanggain. Jadi, tutup telinga,” tutur Alam, menutup telinga istrinya dengan telapak tangan. “Terima hak dan kewajiban kamu sebagai istri saya. Pakai uang saya, nikmatin fasilitas yang saya sediakan, tabung penghasilan kamu sebaik mungkin. Stop mikirin Nina, saya ijab kabul nyebut nama kamu, saya tandatangan berkas  dengan nama kamu. Pasangan buku nikah saya itu nama kamu. Perempuan yang saya lamar adalah kamu. Bukan orang lain, dan enggak bakal ada selain kamu.”

“Tapi ....”

“Navella, bukan Anjanina, oke? Omongan siapapun enggak bisa nandingin absahnya kekuatan hukum dan agama, yang paling penting—saya milih kamu. Orang-orang cuma pengen ngehancurin hati kamu, percaya ke saya dan cukup dengerin saya. Navella, Nonave-nya saya, bojo-nya saya, saya satu-satunya orang yang enggak pernah berniat nyakitin kamu. Misal saya nyakitin kamu, saya enggak sengaja—sedangkan orang di luar sana berlomba pengen nyakitin kamu secara sadar. Ayo saling percaya, ayo saling bergantung sama lain, ayo menguatkan diri satu sama lain. Saya janji cerita semua masalah saya ke kamu tanpa mikir akan membebani kamu dan sebaliknya.”

“Aaaa~” Netra Navella berkaca-kaca. “Aku terharu, pengen nangis, deh!”

Si perempuan mengalungkan tangan ke leher Alam, ia mencuri kecupan di bibir suaminya. Untungnya, Alam masih mengendalikan diri, kalau tidak—ia sudah menerkam Navella.

Jemari Alam menelusuri kulit Navella perlahan—ia mengamati wajah istrinya yang terlampau dirinya rindukan dengan sentimental.

Pria tersebut kembali mencium kening Navella.

“Ayo pulang bareng, ya? Ke rumah kita, Nduk,” ajaknya.

Spam emot subak alias semangka kalau kamu pengen cerita ini cepet up! 🍉🍉🍉🍉🍉

Target maratus komen + maratus votes! Besok up, yeaaa!


Kalau naksir cerita saya, jangan lupa follow akun wattpad dan akun IG saya: @alphaawordl

Tysm🔥❤ See you🖤 Hopefully, kelen enjoy ya!

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 41.4K 29
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
1.3M 10.6K 6
SEBAGIAN PART SUDAH DI HAPUS!! Gara-gara permainan TOD, membuat Vira harus mengatakan sesuatu yang membuat harga diri Zidan tersinggung! Membuat Zida...
1.7K 253 7
Rate : 18+ 21+ Cover : ambil dari Pinteres Aruna terpaksa menerima perjodohannya dengan Bre, cucu dari sahabat Eyang Putrinya. Hal itu ia lakukan dem...
692K 44.1K 32
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...