SeLisa [END]

By itsmesnrni

58.1K 6.7K 379

Dijodohkan? Oh Sehun sih senang-senang saja. Tapi bagaimana dengan Lalisa? Itu akan jadi hal terburuk di sepa... More

PROLOG
SATU
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
DUA PULUH SATU
DUA PULUH DUA
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH EMPAT
DUA PULUH LIMA
DUA PULUH ENAM
DUA PULUH TUJUH
DUA PULUH DELAPAN
EPILOG
EXTRA PART

SIDE STORY; KAI - JENNIE

406 22 0
By itsmesnrni

Tahun-tahun setelahnya....

Kai memutar knop pintu berwarna putih di hadapannya. Begitu pintu terbuka, pria itu terdiam sejenak di tempatnya berdiri. Seolah menguatkan perasaannya sendiri sebelum memasuki tempat tersebut.

Langkahnya terayun pelan, jemari miliknya menyentuh benda-benda di sana dengan perlahan. Seolah tiap sentuhannya mampu membuka memori yang telah tersimpan selama bertahun-tahun.

Kai berhenti dan mendudukkan dirinya di atas sofa. Rasanya, ia tak mampu berjalan dan masuk lebih dalam. Sekarang saja dadanya terasa begitu sesak.

Dirinya meraih remot televisi dan sengaja menyalakannya dengan volume pelan. Mencoba membuat kehidupan diantara senyap yang menyelimutinya.

Pria yang berprofesi sebagai dokter itu kembali melangkahkan kakinya. Kali ini, ia menuju ke kamar. Dimana terdapat kenangan-kenangan yang begitu banyak tersimpan di sana.

Ranjang dengan sprei berwarna putih dan selimut abu-abu itu tak banyak berubah. Sofa bulat berwarna coklat yang berada di sudut ruangan, rak buku berukuran kecil yang tidak diisi sepenuhnya dengan buku. Juga, sebuah meja belajar yang tak terlalu berfungsi. Yang lebih banyak digunakan untuk menulis buku harian milik wanita yang menempati kamar ini.

Kai menarik gorden berwarna abu-abu yang terdapat di samping tempat tidur. Cahaya sore menyeruak masuk, menyinari celah-celah kamar yang gelap. Pria itu lantas terduduk pada bingkai jendela yang cukup luas.

Pandangannya terpaku pada lalu-lalang manusia dan kendaraan di luar sana. Hiruk-pikuk jalanan berbanding terbalik dengan suasana apartemen ini. Kai mendesah, rasa sesak itu masih saja bercokol di hatinya.

Langkahnya kembali terayun, kali ini mendekat pada meja belajar berwarna hitam. Dirinya duduk pada kursi yang ada di sana. Perlahan tangannya terulur, meraih sebuah album yang hampir usang dimakan usia.

Ia membuka lembar demi lembar foto di dalamnya. Ada foto Jennie yang masih belia. Tersenyum sumringah menghadap ke arah kamera. Kai ikut tersenyum melihatnya.

Kemudian, foto Jennie dan dirinya ketika Kai baru saja mendapat pekerjaan di rumah sakit. Dirinya memakai jas putih di sana.

Lalu, ada foto Jennie dengan Sehun. Foto lelaki yang dulu sempai Jennie cintai begitu dalam. Mengingat hal itu, Kai tersenyum tipis. Selanjutnya, ada potret Jennie bersama Lalisa. Dua sahabat yang bertemu karena sebuah takdir.

Jika diingat kembali, kisah mereka semua sedemikian pelik. Dunia pun seolah begitu sempit ketika semesta menakdirkan mereka semua dalam satu skenario cerita. Kai menggeleng, tak habis pikir dengan kisah hidupnya.

Lembar demi lembar setelahnya, masih dipenuhi dengan foto Jennie. Foto-fotonya di rumah sakit. Fotonya ketika tengah menjalani pengobatan, dan lain-lainnya. Hingga akhirnya Kai terhenti pada sebuah foto yang diambil tepat dua tahun lalu. Foto pernikahannya dengan Jennie.

Ya. Pada akhirnya, Kai-lah yang menjadi penyempurna separuh hidup Jennie. Kai-lah yang menjadi pelabuhan terakhirnya. Kai yang menjadi tempatnya pulang dan bercerita. Pada akhirnya, Kai yang menerima Jennie dengan seutuhnya.

Jemari Kai mengusap lembut foto tersebut. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyum. Namun, matanya justru berembun, air mata tiba-tiba saja menyeruak dari balik kelopaknya.

Kai terisak pelan. "Bogoshipo, Jennie."

Pria itu mengusap air matanya. Ia lantas tertawa pelan. "Maaf, Jennie, aku malah menangis."

Kai kembali membalik album tersebut. Fotonya bersama Jennie ketika mereka honeymoon. Foto ketika mereka mengunjungi Lotte World. Foto saat berada di sungai Hann. Foto di Namsan Tower, dan masih banyak foto lainnya.

Kai menutup album tersebut. Mengembalikannya ke tempat semula. Kini netranya justru mendapati sebuah kotak berwarna coklat. Kai meraihnya, lalu dibukanya kotak itu. Di dalamnya terdapat sepucuk surat yang ditulis di sebuah kertas dari buku harian milik Jennie.

Entah kali ke berapa Kai membaca ulang isi surat tersebut. Kai tak pernah bosan. Seolah dengan membacanya, kerinduan Kai pada Jennie dapat terbayarkan.

Kai,
Kau tahu, aku selalu menulis buku harian. Kau juga tahu bukan, aku banyak menulis tentangmu di buku milikku.

Tapi, kali ini aku menulisnya pada selembar kertas. Sengaja memisahkannya, untuk kau baca ketika aku sudah tak ada.

Aku tak banyak menulis di sini. Aku hanya ingin menyampaikan rasa terima kasihku.

Terima kasih karena sudah menemaniku sejak dulu. Menemaniku di saat-saat paling sulit di hidupku. Menemaniku di setiap sakitku. Menemaniku berjuang, menemaniku menangis, menemaniku bahagia.

Kai, terima kasih untuk semua waktumu. Terima kasih atas semua perjuanganmu. Terima kasih untuk semua kasih sayangmu.

Kai, terima kasih karena telah menguatkanku. Terima kasih karena telah membuatku semangat menjalani hidupku. Terima kasih, karenamu aku percaya, bahwa cinta sejati benar-benar ada.

Kai, terima kasih karena kau bersedia menjadi temanku. Jadi sahabatku. Jadi dokterku ... dan menjadi suamiku.

Kai, sayangku ...
Terima kasih sudah menguatkanku.
Terima kasih, sudah mau menerimaku.
Terima kasih, sudah mau menyempurnakan separuh hidupku.

Kai, sayangku ...
Terima kasih, karena padamu aku temukan rumah.

Kai, sayangku ...
Kau tahu, rupanya, sejauh manapun langkah mengantarku, kau adalah tempat yang aku tuju.

Kai, sayangku ...
Maaf, aku tak bisa lama-lama menemanimu.
Maaf, aku tak bisa bertahan seperti yang selalu kau katakan.
Maaf, karena seperti yang dulu kubilang, aku hidup hanya untuk menghitung waktuku.

Kai, sayangku ...
Jangan bersedih.
Tersenyumlah, masih ada hari-hari yang harus kau lewati.

Kai,
Berjanjilah,
Meski tanpaku, kau akan tetap menjalani hidupmu.

Kai, jika kau merindukanku, kau boleh membaca surat ini.
Karena itulah tujuannya, setelah aku tak ada, kau bisa menemukanku pada surat yang kau baca.

Kai, aku bingung harus menulis apa lagi.
Selebihnya, perasaanku, akan tetap tersimpan di sini, bersamaku.

Kai, sayangku, untuk yang terakhir kalinya ...
Terima kasih karena telah mencintaiku.

Kai, sayangku ...
Jangan menangis

Aku pamit.

With love,
Jennie

Kai yang sejak tadi berkaca-kaca kembali terisak. Ia menumpahkan tangisannya. Membaca surat Jennie rupanya tak selalu berhasil menyembuhkan rasa rindunya. Justru, terkadang surat itu selalu membuat hatinya kembali terluka.

Jennie, wanita itu memilih pergi meninggalkan Kai saat usia pernikahan mereka baru menginjak delapan bulan. Wanita itu menyerah dengan dirinya sendiri. Bahkan, Kai yang dengan seluruh dayanya pun tak mampu menahan Jennie lebih lama lagi.

Kini, yang tersisa dari Jennie hanyalah kenangan-kenangan yang ia tinggalkan. Tempat ini, album foto, dan suratnya untuk Kai.

"Jennie ... maaf karena aku menangis."

Kai mengusap air mata di wajahnya. Ia menyimpan kembali surat tersebut. Tangannya kini mengambil sebuah pigura yang berisikan foto Jennie.

"Jennie, kau tahu ... sejauh manapun langkah mengantarku, tempatku pulang tetaplah padamu."

Kai mengusap foto Jennie lembut. "Kau tahu, membaca suratmu tak pernah berhasil mengobati rinduku, Jennie."

Setelah puas mengamati foto Jennie, Kai menyimpan pigura tersebut. Ia bangkit dari posisinya dan melangkah menuju tempat tidur.

Kai memilih untuk merebahkan diri di atasnya. Memuaskan rasa rindu yang tak pernah benar-benar tuntas. Ia meringkuk, membelakangi jendela. Membiarkan mentari sore menyinari tubuhnya.

Kai harap, Jennie berada di sini. Di sampingnya. Memeluknya dan mengobati rindu miliknya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

672K 32.4K 38
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
46.4K 4.4K 35
Slice of life about Jisoo & Haein
584 87 8
"bang Shu, lu pernah gak?" -Reiji. "gak pernah." -Shu. "Belom selesai ngomong.." Kehidupan vampir yang mulai bosan memburu darah dan lebih memilih un...