RavAges

By E-Jazzy

1.1M 110K 44.4K

[Completed Chapter] Pada kepindahaannya yang ke-45, Leila kabur dari rumah. Dia melihat kacaunya dunia, serta... More

Keset Kaki
#1
#2
Guide to RavAges
#3
#4
#5
#6
#7
#8
#9
#10 - #29
#30
#31
#32
#33
#34
(~‾▿‾)~Check Point~(‾▿‾~)
(~‾▿‾)~Worldbuilding~(‾▿‾~)
#35
#36 - #51
#52
#53
#54
#55
#56
#57
#58
#59
#60
#61
Kalian Question, Saya Answer
Kalian Masih Question, Saya Tetap Answer
#62
#63
#64
#65
#66
#67
#68
#69
#70
#71
#72
#73
#74
#75
#76
#77
#78
#79
#80
#81
#82
#83
#84
#85
#86
#87
#88
#89
#90
#91
#92
#93
#94
#95
#97
#98
#99
#0
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- Tiga Tahun di RavAges -
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- QnA yang Terlambat 7 Bulan -
- ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ ˎ₍•ʚ•₎ˏ -
- PO Buku & Readers' Gallery & Fun Facts -
ˎ₍•ʚ•₎ˏ MARI WAR ˎ₍•ʚ•₎ˏ
ˎ₍•ʚ•₎ˏ MARI WAR LAGI ˎ₍•ʚ•₎ˏ

#96

3.3K 739 238
By E-Jazzy

| RavAges, #96 | 4329 words |

"KADANG MANUSIA punya cara untuk melewati batas kemampuan mereka demi mendapatkan sesuatu," kata ayahku suatu malam sebelum kami pindah ke Kompleks 8. "Aku tidak ingin, kau, anak gadisku, melanggar batas itu untuk sesuatu yang egois dan jahat. Tidak. Karena anakku bukan orang jahat."

Kuratapi ingatan itu lama-lama hingga aku menghafal tiap kata dari kalimatnya. Aku mengingat jeda yang Ayah ambil saat dia menarik dan mengembus napas dengan gemetar. Aku memerhatikan detail kecil seperti kerut di alisnya, matanya yang memerah karena kurang tidur, tulang rahangnya yang menonjol, dan jari-jari tangannya yang berkedut gelisah—Ayah seakan-akan tidak memercayai ucapannya sendiri.

Kututup pintu kenangan itu dan berjalan menuju pintu lainnya.

Di balik pintu kedua adalah Pascal, berdiri dalam kekacauan kertas-kertas dalam ruang bekas kantor yang gelap dan dindingnya retak-retak. Namun, seluruh tubuh Pascal memancarkan kehangatan dan cahaya temaram.

"Ayahmu pahlawan, Leila." Pascal berkata pelan. Matanya menatapku lembut. "Ayahmu menyelamatkan nyawaku saat keluargaku dibantai. Aku tidak akan bisa membalas jasa itu padanya, tapi aku bisa melakukannya padamu. Aku bersumpah, ke mana pun kau pergi, aku—"

"Aku melihat ayahmu membunuh keluargaku." Memori yang lebih baru menimpanya di depan mataku. Dibanding sebelumnya, Pascal tidak lagi tampak hangat atau pun bercahaya, tetapi dia benar-benar terbakar. Matanya goyah saat menatapku. Bisa kulihat campuran kemarahan, kebingungan, dan penyangkalan di sana. "Aku sudah tidak tahu lagi apa yang benar. Pasti ada yang salah dengan kepalaku! Ayahmu tidak mungkin membunuh mereka! Dia menyelamatkanku!"

Apa pun yang kulakukan kala itu saat melihat memori masa lalunya—saat aku menyeka dinding penyekat dan menyingkap kenyataan bahwa ayahkulah yang menghabisi keluarganya—telah berimbas langsung ke kepala Pascal. Memorinya menjadi jelas akibat perbuatanku dalam ruang benak ini. Terbetik penyesalan di benakku karena telah membersihkan ingatannya dari pengaruh Brainware Ayah, lalu aku menyesal lagi karena perasaan busuk itu. Pascal tidak seharusnya ditipu ingatan palsu. Dia tidak seharusnya menganggap pembantai keluarganya adalah penyelamatnya.

Aku membayangkan diriku berada di posisinya—andai Komandan Binta berani-beraninya mengubah ingatanku dan membuatku menyangka dia menyelamatkanku tepat setelah dia membunuh ayahku ... aku pasti takkan sanggup juga hidup dengan membawa-bawa ingatan menjijikkan macam itu. Bahkan tanpa dia melakukan tindakan itu pun, aku tak pernah ragu-ragu menginginkan untuk menghabisi Binta dan anaknya sekalian.

Namun, sampai akhir pun Pascal masih berusaha menyelamatkan nyawaku.

Aku keluar dari ruang ingatan tersebut. Ketika berbalik, kudapati diriku kembali ke dalam bangunan istal. Sir Ted terduduk dengan kain yang dipenuhi bercak darah, membebat torsonya. Saat kupikir wajahnya tidak mungkin bisa jadi lebih gelap dan pucat lagi, aku salah.

"Sir Ted," kataku seraya berlutut di hadapannya. "Kau masuk ke ruang benakku lagi."

Pria itu mengangkat kepalanya. Matanya menunjukkan kelelahan seperti orang yang belum tidur seminggu dan hanya hidup dengan belasan cangkir kopi sehari.

"Ah, aku pasti melamun lagi ..." lirihnya. "Karena terluka aku tidak bisa apa-apa selain melamun. Kadang, saat aku melamun di dunia nyata, aku tersasar ke ruang benak orang lain. Seringnya, aku tersasar ke ruang benak Seli. Anak itu butuh teman."

"Sir Ted," kataku lagi seraya duduk bersila di hadapannya. "Benarkah X bisa melihat masa depan? Seli mengatakan sesuatu padaku ...."

"Aku tidak bisa mengonfirmasi apa-apa," jawabnya sambil mengerjap lemah. "Kadang aku pun melihatnya—seperti potongan gambaran yang tidak berkaitan, dan kalau aku mencoba menyusunnya, mereka seperti potongan puzzle yang tidak sesuai satu sama lain. Aku tak pernah memahaminya sampai ia terjadi. Tapi Seli memang memiliki kelebihan pada X-nya. Semua Relevia seperti itu—selalu ada satu atau dua Fervor yang paling menonjol meski kami menguasai semuanya."

"Anak itu bilang akan ada yang mati; Pascal mati. Lalu dia bilang akan ada yang berkorban; percaya atau tidak, Op baru saja melakukan itu, dan dia adalah orang terakhir yang kupikir bakal melakukannya. Seli kemudian mengatakan akan ada yang hilang juga; Alatas lenyap sekarang." Kuembuskan napas yang seakan menyayat paru-paruku. "Kalau yang hilang tidak ketemu, akan ada yang mati lagi karena keempatnya berhubungan. Aku tak bisa mengenyahkan pikiran bahwa yang dia bicarakan adalah kami berempat—Erion, Alatas, Truck, dan aku. Apakah maksudnya ... salah satu dari kami bertiga pun akan—"

"Leila,"—Sir Ted menepuk bahuku. Tangannya seolah tinggal tulang dibungkus kulit kusam. "Coba lihat dengan cara ini: semua manusia pasti mati . Tak peduli Seli mengatakan 'seseorang akan mati' atau tidak, pasti ada yang mati tiap hari. Dan saat Seli mengatakan akan ada yang berkorban ... Leila, tiap detik, kita semua membuat pengorbanan. Embre sudi mengotori tangannya untuk keluarga Calor-nya, Neil mundur demi kelangsungan koloninya, ibumu melepasmu agar kau bisa pulang utuh-utuh, bahkan aku—" Sir Ted berhenti. Lalu, dia memutuskan untuk tidak melanjutkan itu. "Maksudku, Op membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar Teleporter terbaik; dia juga bisa menjadi yang terbaik sebagai manusia."

"Alatas pernah bilang padaku bahwa Kompleks 1 berbahaya, dan dia kira dirinya takkan bisa keluar hidup-hidup." Kutangkup wajahku dengan menyesal. "Tapi, saat kami bersama-sama, kukira tidak akan terjadi apa-apa. Truck bakal melindungi kami, Erion bisa mengatasi apa pun, Alatas selalu jadi penengah kami, dan aku mungkin bisa membantu mereka. Aku ... meremehkan keadaan."

"Ayahmu dan aku pernah meremehkan Binta." Tangan Sir Ted berpindah ke puncak kepalaku, menepuk-nepukku seperti yang dulu dilakukannya tiap kali aku mengambek pada Ayah. "Dan kami menyesal."

Kalau dipikir lagi dari ingatan mereka, NC selalu menyebut Binta sebagai produk cacat, tapi kini malah mengangkatnya sebagai Komandan. Binta bahkan tidak pernah mengotori tangannya sendiri. Bukan dia yang menarik pelatuk hingga ayahku terbunuh—ayahku sendiri yang melakukannya, dikendalikan oleh situasi yang dirancak khusus oleh Binta. Bukan Binta yang menculik semua anak-anak Calor—bawahannya yang melakukan itu. Bukan tangan Binta yang menyeret Truck ke pihaknya kala itu—Truck memutuskan sendiri. Bukan Binta pula yang menyupiri dua Specter yang membunuh Pascal dan Op sekaligus—Binta semata memberi perintah pada anak buahnya untuk membajak pesawat. Bukan dia pula yang membakar pemukiman di Kompleks 1—Pyro dan Embre yang melakukannya.

Namun, segalanya berjalan sesuai yang diinginkannya.

Sang Komandan hanya berada di balik layar dan menonton. Bahkan tanpa Fervor, pria itu selalu dua langkah di depan kami.

Persis seperti anaknya.

"Aku dulu pernah besar kepala, Leila, hanya karena aku selalu menjadi yang yang paling pintar di antara saudara angkatku. Sampai akhirnya aku bergabung dengan NC dan melihat Binta."

Tangan Sir Ted melambai ke samping. Bangunan istal tergantikan dengan ruangan yang sepuluh kali lebih luas dan dua kali lebih tinggi, serba putih dan terang-benderang. Di samping kami, berdiri dua orang pria yang mengenakan setelan hitam-putih sedang memandangi lemari kaca tinggi. Salah satunya adalah Sir Ted—barangkali 5 tahun yang lalu, masih lebih berisi dan cerah dibandingkan dengan pria sekarat yang ada di hadapanku.

Aku nyaris tak mengenali yang satu lagi. Tanpa codet bekas luka bakar di separuh wajahnya dan seragam serba hitam yang selalu dikenakannya seolah pria itu tidak punya baju lagi, Binta hampir tampak seperti orang biasa. Hampir. Tingginya tidak jauh berbeda dari Sir Ted, tetapi perawakannya sama tegapnya seperti Truck dengan bahu lebar dan dada bidang. Pembawaannya juga mirip. Kurasa memang seperti inilah wujud orang yang pernah sekolah militer.

"—koleksi yang tidak terlalu berguna." Binta melambai ke seisi ruangan. "Kecuali gagak ini."

Ruang benak membentuk ingatan ini lebih utuh perlahan-lahan. Meja-meja panjang bermunculan, tersusun di tengah-tengah ruangan. Di atasnya, berbaris kotak-kotak kaca pajangan yang mengurung sesuatu ... apa itu tengkorak manusia? Dan yang mirip potongan kentang busuk itu—apakah itu jari telunjuk?! Lalu yang merah muda dan berkerut-kerut dalam tabung penuh cairan hijau itu apa?!

"Hu, uuh ...." Aku memegangi perutku dengan mual. "Ini tempat apa ...?"

"Museum, barangkali." Sir Ted memandang barang-barang menjijikkan itu dengan tatapan nostalgia. "Sayang sekali, tempat ini ditutup tak lama kemudian."

Aku tak percaya dia senang benda-benda begini. Namun, yah, siapalah aku menghakiminya—aku juga pernah berpikir mengoleksi gigiku yang copot itu keren saat umurku 6 tahun, tetapi itu gara-gara Ayah membodohiku bahwa gigiku bakal tumbuh miring kalau yang copot tidak dirawat.

Sir Ted dan Binta dalam memori ini masih berdebat perihal gunanya koleksi-koleksi sampel Fervent yang sudah mati. Di hadapa mereka, sebuah lemari kaca tinggi memajang ... ih, apa-apaan mereka—memajang mayat burung dan kepalanya secara terpisah!

Badan burung gagak itu tampaknya dibaut ke kaca bawahnya, sayapnya yang terentang juga dijalin dengan paku kecil-kecil dan benang tipis ke papan putih yang menjadi latarnya. Di sisi badannya, kepalanya menghadap ke samping membelakangi badannya, dengan bola mata kelabu palsu yang tampaknya dipasang oleh tangan manusia ke rongganya, dan paruh yang dijahit menutup rapat.

"Gagak ini." Binta mengetuk-ngetuk kaca etalase. "Umurnya lebih dari dua ribu tahun. Saat ditemukan di pedalaman hutan oleh tim ekspedisi pertama NC, gagak ini masih hidup dan mengucapkan sesuatu."

"Mengucapkan sesuatu? Seperti meniru bahasa manusia?" Sir Ted menelengkan kepalanya. Matanya mengamati kepala gagak dengan tatapan tertarik. "Apa yang diucapkannya?"

Binta mengedikkan bahu. "Aku tak tahu jelas. Kau bisa tanya pada tim riset bahasa kita nanti—mereka mungkin masih memiliki dokumen terjemahannya. Yang membuatku tertarik adalah tempat gagak ini ditemukan—logam asing di mana-mana, jejak gelombang radioaktifnya masih cukup kuat untuk membuat beberapa personel tim ekspedisi yang menemukannya muntah darah, dan tumbuhan di sekitarnya tampak ... berubah."

"Seperti kita sekarang—mutan?" tegas Sir Ted. "Jangan bilang, gagak ini pun ...."

"Yap." Binta menatap kepala gagak dengan tatapan memuja. "Susunan fisiologisnya berbeda dari unggas mana pun yang pernah hidup. Awalnya periset mengira burung ini bahkan bukan gagak sama sekali meski secara morfologinya jelas-jelas gagak. Lalu, setelah berbagai percobaan dan pengambilan sampel, mereka akhirnya meneliti logam-logam asing itu juga, melihat reaksi sampel di dekatnya. Dan ... yah, setelah sepuluh hari, ada perubahan pada jaringan selnya. Tampaknya logam-logam asing itu mengubah susunan partikel organik yang terpapar olehnya. Barangkali, itu pula yang terjadi pada gagak malang ini. Dan itu hanya 0,05 miligram dari pecahannya. Bayangkan kalau kita memiliki benda utuhnya—apa pun materi asing itu dulunya sebelum menjadi pecahan."

"Kalau begitu, saat kalian bilang ingin membuat tiruan dari benda asing tersebut ...."

"Oh, kami sudah membuatnya," ujar Binta girang. Binar di matanya mengingatkanku pada Raios saat pemuda itu beruasha membujukku mengikuti rencananya. "Terima kasih pada T. Ed Company—kakak laki-lakimu yang membantu kami mewujudkannya—kami akhirnya dalam tahap penyempurnaan tiruan materi asing itu: PF13. Aku punya firasat bagus penelitian kali ini akan membuahkan hasil. Materi itu menarik sekali. Ia tak hanya logam. Terakhir aku terlibat, kami mengekstraknya dan merendam jamur ke dalamnya. Komposisi jamur itu jadi identik dengan materi asing tersebut. Kita bisa mengubahnya dari bahan satu menjadi bahan lainnya tanpa batasan."

Sir Ted menyentuh kaca etalase dengan jarinya. Alisnya mengerut. Bibirnya terbuka sedikit dan gumaman kecil lolos darinya, "Rasanya aku pernah melihat gagak ini. Sepertinya ... saat sedang dalam trans karena malapraktik malam itu. Kurasa, Aga melihat hal yang sama."

Binta mengangkat alisnya tinggi. "Aku juga."

Sir Ted mengernyitkan alisnya. "Ke mana kau malam itu, omong-omong? Saat polisi muncul, mereka cuma menemukan kami berdua. Kau tidak ada. Kami sampai mengira kau mati."

"Tentu saja pulang ke rumah—aku harus memperlihatkan pada ayahku yang berengsek kalau aku sudah melebihi ekspektasinya." Binta kemudian sibuk dengan ocehannya sendiri lagi. Jari-jari tangannya terentang pada kaca etalase seolah pria itu mencoba mengambil kepala gagak di dalamnya. "Nah, jadi, tiruan-tiruan materi asing tadi mengeluarkan gelombang dalam frekuensi yang selalu sama, tak peduli ia menjadi logam, batuan, tumbuhan, zat cair, atau apa pun. Ada tim periset sedang mencoba menerjemahkan gelombang yang dihasilkannya karena mereka bilang seperti ada gelombang suara manusia dari sana, tapi menurutku mereka belum mendapat sesuatu yang berguna."

"Aku bagian dari tim itu." Sir Ted tampak tersinggung.

Binta berpura-pura tak mendengarnya dan masih mencerocos, "Kalau aku sendiri sebenarnya lebih tertarik pada hasil tim sebelah. Mereka mencobanya pada sampel organik. Sampel yang terpapar gelombang itu mengalami hal yang sama dengan si gagak: mutasi. Perubahan warna mata, kerusakan organ dalam, hingga perubahan susunan tulang dan lahirnya sel baru, tapi tak satu pun memiliki kekuatan super. Baru beberapa generasi kemudian, dari keturunan subjek-subjek cacat yang terpapar mutasi itulah, lahir anak-anak Fervent. Itu, menurutku, mutasi adaptif yang sesungguhnya."

"Tunggu, mereka sungguhan mengujikannya pada manusia?!"

"Hanya untuk mengetahui asal-usul Fervent." Binta mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Tapi tentu saja hasil dari pecobaan itu tak ada yang bertahan lama. Yah, setidaknya sekarang kita tahu bahwa Fervent memang sudah ada sejak dulu sekali. Tapi hanya generasi tertentu saja yang kekuatannya terbangun. Tapi belakangan ini nama Fervor jadi lebih populer gara-gara ledakan di lab bulan lalu."

"Aku pernah mendengar salah satu kasusnya," ujar Sir Ted seraya masih memandangi si gagak dalam kotak kaca. "Lab Ferventia-vortex di cabang Nether mengambil langkah revolusioner dengan mengaplikasikan sejumlah PF13 kepada Icore dan Phantom, mereka mengujicobakannya untuk pembuatan partikel akselerator. Sebuah kecelakaan terjadi, menghasilkan ledakan. Di saat bersamaan, fasilitas penampungan Calor terdekat terbakar. Eksistensi mutan mulai tersebar sekarang, dan mereka menamainya Ledakan Fervor."

Sir Ted terlalu sibuk memuja gagak dan tidak melihat senyum yang terukir di wajah Binta. "Aku sudah mengurus kasus itu. 'Ledakan Fervor' bakal jadi awal-mula kebangkitan NC di bawah kepemimpinanku."

"Apa?" Sir Ted mengerjap. "Tunggu, kau sudah diangkat—"

"Belum resmi." Binta berdeham seperti merendah. "Tapi pelantikanku bakal segera dilakukan. Dan tentu saja agenda pertama yang bakal kujalankan adalah memperbaiki Proyek Arasy Raven. Kita tak pernah tahu kapan dan kenapa mutasi adaptif yang melahirkan generasi Fervent ini hanya terjadi dalam kurun waktu tertentu. Kita tak pernah bisa memprediksinya sampai sekarang—karenanya Proyek Arasy Raven yang bekerja di bidang ini tengah di ambang kehancuran. Mereka gagal mengkalkulasi kedatangan pria aneh itu—si Raven. Mereka tak pernah berhasil menemukan atau menahannya ... benar-benar tak menghasilkan apa-apa yang berguna. Penyandang dana mulai beralih ke penelitian PF13, padahal yang satu itu menurutku sudah sempurna. Yah, aku bakal mengubah itu."

"Dengan apa?"

Binta tersenyum lagi. "Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Kau cukup tahu saja bahwa dari percakapanku dengan Raven, aku mendapatkan sesuatu yang bisa memerangkapnya di sini."

Memori itu mengabur, luntur, lalu menghilang. Sir Ted yang berada di hadapanku menurunkan pandangan matanya, wajahnya diliputi penyesalan. "Tak lama setelah itu, dia mengerjakan Proyek Artificial Night dan menjadikannya proyek gabungan dengan Arasy Raven. Bersamaan dengan itu, dia juga menjalankan serangan besar-besaran ke penduduk sipil—entah bagaimana caranya Binta mendesak negeri ini menurunkan perintah darurat militer, lalu menyekat Garis Merah dan Kompleks. Lima tahun kemudian, seperti yang bisa kau lihat ...." Sir Ted memutar-mutar jarinya ke atas, menunjuk pada langit gelap gulita tanpa bintang, matahari, atau bulan. "Proyeknya sebetulnya membuahkan hasil sesuai yang diinginkan Binta, tapi saat Kompleks Sentral menganggap ini sebagai kekacauan, Binta menyalahkan Proyek Arasy Raven hingga ribuan orang yang pernah berkontribusi untuk proyek itu kehilangan pekerjaan."

"Dan saat ayahku memaksa kami terus pindah-pindah dari satu Kompleks ke Kompleks lain ...?"

"Karena ayahmu tahu rencana Binta. Sejak itu Binta melakukan segala cara buat membungkam ayahmu."

"Tapi kalau ayahku tahu, kenapa dia tidak langsung—" Lalu aku tersadar alasannya. Ayahku tidak bisa berbuat apa-apa, tidak mampu bergerak leluasa di NC, tidak bisa menentang Binta terang-terangan, tidak bisa menarik perhatian langsung ke arahnya ... karena dia sendiri berbuat kesalahan. Dia sendiri harus menutupi kesalahan itu. "Karena aku lahir?"

"Anak-anak yang terlahir dari Relevia wajib diserahkan ke NC." Sir Ted menatapi buku-buku jarinya yang bertonjolan. "Dan anak-anak itu tak ada hidup sampai sekarang ... kecuali kau, Raios, dan Seli."

Aku mencengkram lututku. "Kalau saja aku tidak ada, ayah pasti bisa melakukan sesuatu tentang Bintara, ya? Kalau tidak menyembunyikanku, kau dan ayah pasti bisa melakukan sesuatu ...."

Kurasakan setetes demi setetes air mataku berjatuhkan.

"Leila." Sir Ted mengusap puncak kepalaku lagi. "Bukan salahmu. Tidak ada anak yang salah karena lahir."

"Tapi kau sendiri tidak pernah menikah pasti karena kau menganggap punya anak itu kesalahan." Aku mencerocos. Baru sedetik kemudian aku sadar kalau yang kukatakan itu bisa saja hal sensitif buatnya. "Maaf ...."

"Tidak, tidak. Aku tidak menganggap punya anak itu kesalahan." Untunglah dia tidak terdengar tersinggung. "Leila, aku ... dulu pernah terjebak dalam pemikiran yang sempit juga. Aku marah pada orang tua kandungku, yang bahkan tidak pernah kuketahui nama atau wajahnya. Aku marah karena, apa pun alasan mereka, aku merasa tidak seharusnya mereka membuangku ke panti asuhan. Aku bersikeras bahwa kesusahan yang kuderita sekarang terjadi karena mereka tidak menginginkanku sampai aku berakhir di tangan Dokter Timothy. Bahkan saat aku harus mengubah ingatanmu, aku marah pada ayahmu. Saat aku melihat temanmu—Truck—aku marah para saudariku yang memasukkannya ke PFD. Aku selalu merasa bahwa ini tidak adil—saat orang tua berbuat salah, kenapa anak-anak mereka yang harus membayarnya? Jadi, kuputuskan aku tidak bakal punya anak ... dan rupanya tiap kesalahanku tetap saja memberi dampak pada kalian."

Aku menyeka air mata dan menyedot ingus. Di sekitarku, aku bisa melihat beragam ingatan yang tumpang tindih. Erion di dalam kurungan, Alatas yang diborgol dalam mobil jip untuk dibawa ke Herde sementara ibunya berlari mengejar-ngejarnya, dan Truck yang diseret turun dari dalam bak truk setelah kehilangan Aria. Aku bahkan melihat sosok Giok, begitu ceking dengan kaus putih robek-robek menggantung lemas di bahunya, berdiri menantang seorang Pemburu dan berkata, "Kau bisa bawa aku ke Herde dan palsukan isi dataku sebagai Detektor untuk memenuhi kuota penangkapan Fervent-mu, tapi sebagai gantinya aku ingin kau mengurus pengembalian surat tanah rumah ayahku di Kompleks 18."

Ingatan-ingatan lainnya berseliweran. Ryan yang pulang ke rumahnya dan diabaikan sama sekali oleh orang tuanya. Irene, sahabatku dari Kompleks 44, yang tampaknya menangisi kematian orang tuanya setelah Kompleks diserang oleh segerombolan Icore. Pascal yang digandeng oleh ayahku untuk dibawa ke hadapan Binta. Raios yang berbaring miring menghadap ibunya tanpa menyadari bahwa wanita itu sudah jadi jasad dalam tidurnya. Meredith di dalam kamarnya, meringkuk ketakutan saat akar-akar gemuk bertumbuh dari segala tempat, meremas orang tuanya sebelum kemudian gadis itu hilang kendali dan meledakkan seisi rumah. Neil, umurnya barangkali 15, dan orang tuanya menerima segepok uang dari seorang Pemburu di depan matanya sebagai ganti menyerahkan anak mereka.

Lalu, kulihat Op, barangkali 12 tahun, masih bersinglet dan celana pendek, diseret keluar oleh ibunya keluar dari kamar. "Tidak mau! Aku tidak mau masuk tempat penampungan aneh!"

"Mereka akan menyembuhkanmu!" Ibunya menamparnya satu kali. "Aku sudah tidak tahan lagi melihat keadaanmu seperti ini!"

"Seperti apa?! Maksudmu seperti ini?" Anak itu menghilang, membuat ibunya menjerit histeris. Hal yang selanjutnya terjadi adalah mobil polisi yang terparkir di depan rumahnya, meraungkan sirene dan melaju. Dari jok pengemudi, Op mengeluarkan kepalanya lewat jendela. Dia melambai pada ibunya yang tergopoh-gopoh mengerjarnya bersama dua orang pria berseragam hitam. "Seperti ini, 'kan, maksud Ibu?!"

Mobil itu menghilang, begitu pula dengan semua ingatan di sekitar kami.

"Bukan salah mereka karena terlahir, 'kan?" tanya Sir Ted padaku, membuatku tertunduk malu. Kudengar Sir Ted terkekeh pelan. "Bisa dikatakan aku menyesal karena dulu berpikiran picik. Andai saja ... jika suatu hari aku punya anak—"

Lalu, ucapannya terhenti karena suara deru air ... mirip suara hujan. Kami berdua menoleh dan melihat satu lagi ingatan terputar. Seorang anak laki-laki, kira-kira umurnya 7 tahun, kebasahan di depan pintu rumah yang terkunci. Kakinya yang telanjang kotor oleh lumpu. Air hujan menetes-netes dari baju, dagu, rambut, hidung, dan ujung-ujung jari tangannya.

"Ah ... ya." Sir Ted seperti tersadar. "Aku hampir lupa pernah menyimpan ingatan yang ini juga."

Dalam ingatan itu, muncul seorang gadis remaja seumuranku, mengenakan baju kaus berlapis kardigan dan rok panjang semata kaki serta sandal jepit. Satu tangannya memegang payung, tangan lainnya menenteng tas belanjaan. Gadis itu buru-buru menghampiri si bocah lelaki, memayunginya. Dia mengeluarkan kunci rumah dan membuka pintu, lalu menggiring anak itu, yang barangkali ada adiknya, masuk ke dalam.

"Ayah," kata si gadis remaja takut-takut pada seorang pria yang tiduran dengan majalan lama menutup wajah di atas sofa. "Binta sejak tadi di luar ...."

Pria di atas sofa mungkin dulunya pernah punya masa-masa kejayaannya dengan tubuh tinggi atletis, perut berotot, rahang kokoh, deret gigi sempurna, dan kulit kecokelatan. Kini, saat majalah itu tersingkap dari wajahnya, hanya ada bekas luka melintang vertikal dari alis sampai ke bawah mata kanannya yang terpejam, mata kirinya merah, giginya menguning karena rokok, rambutnya gondrong dan lepek seolah pria itu hidup pada zaman saat sampo belum ditemukan, perutnya membundar, dan sebelah kakinya memiliki bekas luka jahit besar. Di sekitarnya, botol-botol minuman menggelimpang, mangkuk kotor dan piring-piring berlalat berserakan di atas meja, asbak penuh abu dan puntung rokok yang masih menyala.

"Ya." Si pria di atas sofa bangun dari posisi berbaringnya. "Aku lupa tadi menyuruhnya beli rokok. Mana rokoknya?"

Tangan Binta mencengkram ujung celananya. "Tidak ada. Tokonya tutup."

"Sejauh mana kau mengecek?" Ayahnya mendengkus. "Anak manja. Kakak-kakakmu dulu, kalau tidak dapat barang yang Ayah suruh mereka belikan, mereka tidak akan pulang. Lihat mereka sekarang—tentara terbaik, kakak tertuamu malah sudah diangkat jadi jenderal besar angkatan darat! Kalau kau tidak bisa jadi seperti kakak-kakakmu, kau bakal berakhir jadi seperti kakak perempuanmu ini—tidak bisa apa-apa. Inilah kenapa aku tidak mau menyekolahkan anak perempuan!"

Pria itu membuka kembali majalah lamanya, kedua kakinya naik ke atas meja, menjatuhkan mangkuk-mangkuk dan piring di atasnya. Si gadis remaja buru-buru memunguti peralatan makan itu seperti robot yang bergerak otomatis.

"Kau belum membuat kopinya?" tanya pria itu lagi. "Dan anak itu masih menetes-neteskan air hujan di keset kaki! Cepat bawa dia ke belakang!"

Si gadis remaja, masih menggigit tas belanja dan membawa setumpuk piring kotor di satu tangan, buru-buru menarik Binta dengan tangan lainnya.

"Tunggu di sini." Setelah melempar handuk ke kepala Binta, kakak perempuannya buru-buru ke dapur dan menjerang ketel, lalu berlari lagi ke depan untuk membereskan meja.

Sementara kakak perempuannya membongkar tas belanjaan, ayahnya berteriak lagi, "Mana kopinya?"

Binta kecil buru-buru mengangkat tangan untuk menahan kakaknya. Anak itu menyunggingkan senyum dan mematikan kompor, lantas mengangkat ketel yang masih panas dengan kedua tangannya begitu kecil. Terhuyung-huyung, anak itu menuangkan air ke dalam gelas dan menyeduh kopi. Binta kecil melebarkan cengiran saat kakak perempuannya terkikik geli seraya mengelus puncak kepalanya.

Dari sudut matanya, ayah mereka melihat itu, lantas berkomentar, "Salahkan ibu kalian yang pergi meninggalkanku hanya karena aku veteran cacat. Wanita itu yang harusnya ada di situ menyeduhkan kopi buatku, bukan kau, Binta."

Pada saat itu aku melihat sesuatu seperti terputus di dalam kepala Binta kecil. Tatapan matanya menjadi kosong. Binar kekanakannya hilang dari sana, hanya menyisakan kemarahan.

"Kenapa bukan Ayah sendiri? Artinya yang tidak bisa apa-apa itu, 'kan, Ayah, bukan Kakak."

"Apa kau bilang?" Ayahnya menegakkan punggung. Tangannya mengambil asbak di atas meja, lantas melemparkannya, nyaris mengenai kepala kedua anaknya. "Kau ajari apa adikmu, hah? Mulutnya persis perempuan!"

Binta membuka mulutnya lagi, tetapi kakaknya buru-buru membekapnya, lantas menggeleng-gelengkan kepala dengan ngeri.

Binta kecil menurunkan tangan kakaknya, lantas meraih gelas kopi untuk kemudian membawanya ke hadapan ayahnya. Ayahnya sendiri sudah kembali berbaring dan masih mengomel dari balik majalahnya, tidak menyadari anak laki-lakinya yang berdiri tepat di sampingnya.

Kakak perempuan Binta menoleh tepat saat adiknya mengangkat gelas kopi tinggi-tinggi. Binta memiringkan gelasnya, mencoba menumpahkan air panas di dalamnya ke atas wajah yang tertutup majalah.

Gadis itu lantas melesat, menangkap gelas yang sudah tertumpah, dan mendorong Binta sampai punggungnya menghantam meja. Harum kopi menyebar.

Sang pria veteran melompat kaget. Bajunya basah, kotor, dan berasap. Dengan ekspresi wajah yang bisa saja membuat balita jadi sawan, pria itu mengaum. Satu tangannya mencengkram rambut anak perempuannya. Kakinya menyepak anak lelakinya di lantai.

"Kalian mirip sekali dengan ibu kalian!"

Aku memalingkan wajah, memohon pada Sir Ted untuk menghentikan kenangan itu. "Aku tidak mau bersimpati padanya!"

"Tidak masalah jika kau bersimpati, Leila." Sir Ter melambaikan tangannya, dan lenyaplah kenangan itu. "Bersimpati bukan berarti kau membenarkan tindakannya sekarang. Aku hanya ingin memperlihatkan bahwa bukan salahnya pula Binta terlahir demikian. Segalanya memang berasal dari keluarga, tapi bukan berarti hal itu membenarkan semua tindakan Binta. Ada seseorang yang membiarkan masa lalunya mendefinisikan dirinya sekarang—seperti yang terjadi pada Binta. Dia melakukan persis apa yang ayahnya dulu lakukan. Tapi, Leila, ada pula orang-orang yang, meski mengalami hal seberat apa pun, tetap mampu membuat keputusan yang tepat."

Pemandangan di sekitarku berubah. Sofa-sofa mengepung meja kopi, dinding logam ... kami berada di dalam bungker Raios. Mulanya aku menyangka Sir Ted hendak menunjukkan memori Raios padaku, tetapi ternyata yang dia tunjukkan adalah memori Alatas, Truck, dan Erion saat kami pertama kali ke sana. Aku berbaring di atas sofa, masih ketiduran setelah digendong Alatas berjam-jam.

Aku mengerjap. "Dari mana kau dapat ingatan ini?"

"Saat kami menemukan lagi di Kompleks 12 ... yah, itu pertama kali aku bertemu teman-temanmu. Jadi, aku merasa harus masuk ke kepala tiga anak ini untuk memastikan mereka tidak berbuat buruk padamu selama berbulan-bulan belakangan." Sir Ted meringis sembari menggosok tengkuknya seperti merasa tidak enak. "Setidaknya dugaanku salah. Mereka orang-orang baik."

Sosok Sir Ted mulai mengabur dari sisiku. "Akan kutinggalkan ingatan ini buatmu. Cepatlah kembali ke dunia nyata jika kau sudah menguatkan dirimu lagi."

Pria itu pun keluar dari ruang benakku, meninggalkanku bersama kenangan lawas di mana saat itu aku merasa hari-hariku amat berat, tetapi kini aku mulai bertanya-tanya, Bisakah aku kembali ke hari-hari sederhana itu saat kami berempat cuma berusaha bersama-sama, mengais makanan dan baju bersih?

Duduk di lantai berlapis karpet, Alatas menumpu dagunya dengan sebelah tangan. Bibirnya mengulum senyum, matanya memerhatikan wajah tidurku, sampai Truck menyentakkannya, "Alatas, berhenti bertingkah menjijikkan seperti itu!"

"Tapi, Leila lucu sekali waktu tidur." Alatas mendesis berbisik. "Dan kau harus kecilkan suaramu, Truck! Nanti dia terbangun!"

"Kalau kau terus memandanginya begitu terus, dia bakal terbangun sendiri karena merasa wajahnya mengelupas!"

Alatas melakukan gerak mengibas seperti menampik omongan Truck. "Kalau dia melek, aku tidak bisa memandanginya lagi, Truck. Dia bakal mencolok mataku. Kau lihat waktu kita di koloni Teleporter waktu itu? Waktu Op memandanginya saja, Leila memelotot sampai-sampai kukira bola matanya bakal keluar buat meninju muka Op." Alatas mendesah seraya menatapku lagi. "Dia seram dan cantik banget."

Dari dapur, Meredith mencondongkan badannya dan memasang wajah cemberut. "Kalian bertemu para Teleporter? Aku tidak pernah menyukai mereka."

"Yah, tapi mereka yang paling banyak menolong kita selama ini." Truck bersandar ke sofa dekat kakiku. "Meski beberapanya memang sakit jiwa."

"Eh, kudengar Paul mati di tangan Raios?" tanya Alatas seraya menegakkan lehernya dan menatap Meredith. "Katanya gara-gara cowok Teleporter itu mencoba kurang ajar padamu?"

Meredith memucat seolah kenangan buruk itu berbentuk foto dan baru saja ditemplokkan Alatas kembali ke mukanya. "Iya."

"Aku tidak bakal bisa melupakan apa yang Paul lakukan ke kucing liar yang kesasar di Herde." Alatas bergidik. "Bukannya aku menyukuri kematiannya, tapi aku lega waktu kita ke koloni Teleporter dan dia tidak ada."

"Apa yang dia lakukan?" tanya Meredith.

"Dia mengurung kucing dalam kotak," ujar Truck. "Bersama botol racun. Lalu, dia memaksa teman kami yang seorang X untuk menerawang apakah kucing itu bakal mati atau tidak. Seperti eksperimen pikiran Schrödinger. Paul bilang dia mau membuktikan teori Giok kalau X bisa jadi kemampuan precognition atau membaca masa depan—"

"Tapi dia harusnya tahu waktu itu kita semua teredam Arka 24 jam sehari! Dia cuma penyiksa kucing!" Alatas memberengut. "Siapa yang tega-teganya melakukan itu ke kucing?!"

Meredith berjengit. "Lalu, kucingnya?"

"Alatas mengamuk dan membebaskan kucingnya." Truck memelototi pemuda di hadapannya. "Dan keributan itu bikin kita semua dapat tugas laundry seminggu penuh."

"Setidaknya kucingnya selamat." Alatas mengangkat bahu. "Aku tidak pernah paham apa hubungannya kucing dalam kotak dan X memprediksi masa depan."

"Inti dari eksperimen itu memang bukan memprediksi masa depan, tapi tentang mekanika kuantum." Truck berucap. Di sebelahnya, Erion menguap lebar-lebar. "Schrödinger memikirkan kalau dia mengurung kucingnya dalam kotak, bersama suatu bom yang 50% bakal meledak, maka kucing itu dalam keadaan hidup dan mati secara bersamaan selama kotaknya tidak dibuka, alias berada dalam superposisi, seperti halnya sistem dalam skala kuantum. Jika kotaknya dibuka, maka dia akan melihat: kemungkinan pertama, bomnya meledak dan kucingnya mati; atau kemungkinan kedua, bomnya tidak meledak dan kucingnya hidup. Tapi selama kotaknya tidak dibuka, kucing itu hidup dan mati bersamaan."

Alatas menatap kosong pada Truck. "Aku masih tidak mengerti kenapa ada orang yang melakukan itu ke kucing."

Meredith mencondongkan badannya lagi melewati sofa, mengajak Erion mencicipi masakannya. Anak itu pun melesat cepat, menumbuk wajah Truck pakai lutut, melangkahi badanku, dan melompati sofa seperti kelinci.

"Anak itu tidak punya tata krama," komentar Raios saat dia lewat. Dia menghampiri Meredith dan merangkulkan sebelah tangannya ke bahu gadis itu, lalu menciumi pipinya, mengabaikan Erion yang menonton mereka dengan risi.

"Dia bicara tentang krama," bisik Alatas pada Truck, "saat dia sendiri mencumbu pacarnya di depan dua jomblo dan anak 10 tahun."

"Siapa yang kau sebut jomblo?" Truck mendesis tidak terima.

"Yang jelas, sih, kau. Aku tidak bakal jomblo lagi kalau nanti Leila mau denganku."

"Kau sadar, 'kan, dia ini Brainware?" Truck menuding wajah tidurku. "Sama seperti mereka yang mengubah memori keluargamu dan mengambil adikku?"

"Itu lagi!" Alatas mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Yang pertama itu salahku, Truck. Aku yang meminta Kea untuk menghapusku dari ingatan keluargaku. Aku tidak ingin mereka hidup dengan beban mengingatku. Yang kedua, para Pemburu yang mengambil adikmu itu bukan hanya Brainware, ada Fervent lain di sana. Kau kebetulan jadi sangat membenci si Brainware karena dialah yang berhasil memisahkan kalian, padahal niat para Pemburu itu sama."

Aku mendekati ingatan itu, tanganku terulur untuk menyentuh wajah Alatas, tetapi gambaran itu tembus seolah aku menyentuh air beriak. Kutarik kembali tanganku, tidak ingin merusak memori itu sama sekali. Lalu, terpikir olehku ....

Aku bisa memodifikasi ingatan di sini. Seperti Raios yang memodifikasi ingatannya sendiri, atau ayahku yang membuat ingatan Pascal menyimpang. Aku bahkan sudah pernah melakukannya, 'kan ...? Kalau—

Kalau aku menghapus Alatas dari ingatanku ... bisakah aku pulang pada ibuku dengan tenang? Tidakkah hari-hariku akan jadi lebih damai tanpa patah hati? Aku mungkin tidak akan menangisinya tiap malam. Aku tidak akan kesulitan tidur atau melek sambil berduka kehilangannya. Aku bisa ....

"Tapi, tentu saja aku akan jadi pembohong besar kalau aku bilang bahwa aku tidak resah sama sekali waktu tahu Leila Brainware."

Tanganku yang telah terulur berhenti di tengah jalan saat Alatas mengatakan itu.

Truck mengangkat alisnya. "Jadi? Kau juga gelisah, 'kan, pada kemampuannya?"

Alatas melipat kedua lengannya di depan dada, punggung nya bersandar ke ujung sofa dekat kepalaku. "Sedikit. Biar bagaimana pun juga, aku tidak mau dilupakan dua kali."

Pemuda itu memiringkan kepalanya menyentuh ubun-ubunku. Sepasang matanya yang berbeda warna menatap hangat, lembut, memantulkan warna-warna logam yang paling indah.

"Tapi, bukan salahnya dia terlahir sebagai Brainware," kata Alatas lagi. "Ibuku sering mengatakan itu padaku—bukan salahku terlahir dengan kemampuan membuat tempelan kulkas melayang-layang. Selama aku tidak membuat keputusan buruk dan menyalahgunakannya, tidak apa-apa."

Kuturunkan tanganku. Tanpa bisa kuhentikan, air mataku berjatuhan. Sesenggukan, aku menatap wajah Alatas lagi.

"Alatas ..." lirihku. "Tidak akan ada yang melupakanmu lagi. Aku tidak bakal melupakanmu. Aku—" Kutelan tangisanku. Kuseka air mata dari wajahku. Lalu, aku berdiri. "Aku akan menemukanmu. Kau akan pulang pada kami. Aku janji."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan




Fanart Leila nan badass, big thanks to NataTheChoco_ (ノ◕ヮ◕)ノ*:・゚✧





Continue Reading

You'll Also Like

668K 51.1K 45
(Diharapkan follow terlebih dahulu sebelum membaca🙏) Kisah seorang gadis bernama FEBYANA(Ana) yang bertransmigrasi ke dalam novel yang dia baca keti...
12.2K 897 20
Harap maklumi cara mengetik cerita pertama💁‍♀️
34.8K 207 21
𝘾𝙀𝙍𝙄𝙏𝘼 𝙈𝙀𝙉𝙂𝘼𝙉𝘿𝙐𝙉𝙂 𝙐𝙉𝙎𝙐𝙍 18+, 𝘿𝘼𝙉 21+, 𝘽𝙊𝘾𝙄𝙇 𝘿𝙄 𝙇𝘼𝙍𝘼𝙉𝙂 𝙈𝘼𝙈𝙋𝙄𝙍!!! 🔞🔞🔞 menceritakan seorang pria bernama A...
7.6K 108 9
Saya ganti akun lanjutin cerita nya disini aja