Bilangnya sayang, bilangnya cinta, tapi gak ada bukti. Cuma bilang doang mah gue juga bisa.
^Renaya Kalila^
________
Wajah kusut juga murung yang di tunjukkan oleh perempuan dengan piyama tidur bermotif beruang kecil itu, kini terpatri sejak tadi.
Renaya Kalila. Ya, pelaku dengan wajah murung itu dia. Duduk di tepi kasur sambil memegang ponsel, tak lupa juga serentetan umpatan yang di ucapkan-nya.
"Ilih bilingnyi siying, cinti, tipi gik idi bikti. Bulshit anjir!"
Entah sudah berapa kali ia mengumpat dalam beberapa jam. Bahkan rasa kesalnya mendominan di bandingkan perut keroncongnya, yang sejak tadi belum di isi.
"Rere, kamu kok gak ke bawah?"
"Hah?"
"Hah heh hah heh. Itu loh, temen kamu ada di bawah. Dari tadi bahkan Bunda manggil-in kamu, tapi kamu nya gak ada respon, ya udah Bunda ke sini aja."
"Emang iya, ya?" Rere meringis tak enak pada bundanya. Kemudian ia membanting ponselnya ke tengah kasur, lalu berjalan menyusul langkah Gina--- bundanya--- yang tepat berada di depan.
Gina membelokkan langkahnya ke dapur, sedangkan Rere berjalan menuju sofa.
Ketika sampai di sana, ia di buat terkejut akan kedatangan seseorang.
"Hai, Re. Maaf gak ngabarin kalo mau ke sini," ujarnya di sertai cengiran khasnya.
"Tumben banget lo ke sini, ada apa?"
"Kok kayanya lo kesel ya gue ke rumah lo? Muka lo juga suram banget lagi, kenapa?"
Rere memutar bola matanya malas. Ia bertanya bukannya di jawab malah menyangkal dengan membalikkan pertanyaan.
"Mario Cleova Aglean. Apa maksud kedatangan anda ke sini?"
Rio terkekeh mendengar penuturan Rere yang menurutnya lucu, karena bahasa yang formal. Kalo lagi kesel ya seperti ini tingkahnya, bikin Rio gemas sendiri.
"Gue ke sini cuma mau main doang, pengen ngobrol banyak sama lo. Dari kemarin no time for you to talking me." Rio berbicara dengan nada lesu, entah itu hanya perkiraan Rere saja atau memang begitu adanya.
Rere mendesah pelan. Padahal kan sama dengannya, sama-sama tidak ada waktu. Seorang Mario juga sedang sibuk gencar mendekati gebetan, Disha Friyanti---seangkatannya--- juga kelas mereka bersebelahan. Tapi sampai detik ini, belum ada tanda-tanda mereka jadian.
"Lo bilang gue begitu, padahal lo nya sendiri juga sama. Gak nyadar diri ya, mas-nya."
Rio hanya cengengesan saja saat Rere menyindirnya. Sudah biasa mendengar respon Rere yang seperti itu.
Setelah itu mereka larut dalam obrolannya, juga di selingi canda tawa. Tadi Gina juga tidak lupa untuk menyediakan camilan kering dan minuman di meja.
Sedikit cerita, ternyata Mario sudah menembak Disha, tapi ... masih di gantung. Mungkin Disha ragu akan keseriusan seorang Mario, karena mungkin selama bertahun-tahun berteman, bahkan kelas mereka bersebelahan, baru ini Rio mendekati Disha karena pakai rasa. Jadi wajar saja jika Disha masih ragu akan keseriusan Rio.
"Terus gimana hubungan lo sama Farhan, udah ada kemajuan?"
Raut wajahnya kembali lesu juga cemberut. Mendengar nama Farhan di sebut, membuatnya kesal.
"Gitu deh," jawab Rere seraya mengangkat bahunya.
"Gak beres ni. Emang Farhan udah ngomong apa aja sama lo, sampe lo kesel kaya gitu?
"Kepo!"
"Woah woah, ngeselin lo ya." Mario mendekati Rere yang ada di sofa sampingnya. Mulai memiting leher Rere juga mengacak rambutnya.
"Ishh, Rio. Rese banget si lo, ini berantakan rambut gue."
"Bodo, bwlee." Mario menjulurkan lidahnya juga memberi cubitan di kedua pipi Rere dengan gemas. Tapi setelah itu, ia di beri hadiah kelitikan maut oleh Rere, hingga membuatnya tertawa dengan terbahak.
***
"Jelasin!"
"Apa yang harus gue jelasin?"
"Apa yang bikin lo benci sama Fathur, terlebih pas dia membisikkan sesuatu ke lo. Kenapa tiba-tiba lo pukul dia?"
Bagas bergeming untuk beberapa saat. Entah harus dari mana ia menceritakan semuanya. Pun kalau di ceritakan, ia takut jika Rasya tidak akan percaya. Terlalu panjang urusan jika seperti itu, terlebih ini sudah malam hari.
"Nanti gue cerita, tapi gak sekarang. Dan lo lebih baik masuk, Tante Inka kasihan nungguin lo." Bagas mengucapkan itu dengan nada lembut, tanpa ada sorot tajam juga otot di setiap ucapan-nya.
"Kenapa lo berkilah? Kenapa gak lo ceritain saat ini juga. Sekarang, mending kita masuk dan lo ... cerita semuanya!"
Ketika tangan Rasya menarik Bagas untuk masuk, tapi Bagas mulai menurunkan tangannya dengan pelan.
Menggelengkan kepala juga tersenyum hangat pada Rasya. Mengelus surai cokelat itu dan mengecup keningnya cukup lama.
Mata mereka bertemu, saling bertatap. Sampai akhirnya, Bagas membawa ke-dua tangan Rasya ke pipinya. Bagas memejamkan netra sejenak, untuk merasakan kehangatan yang ada pada telapak tangan milik Rasya.
Rasya sejak tadi sudah sangat gugup. Apa yang di lakukan Bagas membuatnya salah tingkah, jantung pun berdetak dengan cepat.
Bagas membuka matanya dan mulai berbicara. "Lo percaya kan sama gue? Kalau gue akan berusaha untuk melindungi lo dari siapapun yang ingin mencelakai lo atau keluarga lo. Dan lo harus percaya, kalau Fathur ialah orang yang berbahaya, lo harus hati-hati sama dia. Satu lagi, orang yang dulu pernah singgah di hati lo, Mike Tan Deandra. Dia ingin merebut lo dari gue, meskipun dengan cara licik sekalipun. Ingat ucapan gue baik-baik dan hati-hati sama mereka."
Rasya tahu, jika Mike memang kurang ajar akhir-akhir ini padanya. Tapi jika Fathur ... mengapa bisa? Apa yang sebenarnya di sembunyikan dari balik topeng Fathur Geofahri, dengan kelembutan juga bukan dari kalangan cowok nakal? Bahkan Bagas tahu itu semua, tapi tak ada yang ingin dia ceritakan padanya, karena belum tepat waktunya.
Kini Rasya harus hati-hati dengan orang yang ada di sekitarnya. Ia harus lebih waspada, jangan sampai hubungannya dengan Bagas hancur. Ia tidak ingin, sangat tidak ingin.
Rasya menganggukan kepala, tanda meng-iyakan apa yang di katakan Bagas.
Bagas memeluk Rasya selama beberapa detik. Setelah itu, Rasya di titah masuk. Sebelum akhirnya ia pamit dari kediaman Damian.
***
"Kamu dari mana Bagas? Kok mukanya kaya kusut gitu?" tanya Wanda saat Bagas baru saja memasuki pintu utama.
Bagas menatap wajah wanita berkepala tiga itu, kemudian tersenyum dan menggeleng.
"Bagas mau ke kamar ya, Mah." Tanpa menunggu jawaban dari mulut Wanda, Bagas sudah melangkah menuju kamarnya dengan cepat.
"Mah, Bagas kenapa?" tanya Frans yang datang dari arah ruang keluarga.
"Gak tau, Pah. Tapi wajahnya murung gitu loh, seperti ada yang di sembunyikan dari dia."
"Apa tentang, Rasya?"
Seketika Wanda langsung menoleh dan menatap suaminya dengan intens.
"Pah, bagaimana kalau pernikahan mereka di percepat. Mamah sangat ingin mempersatukan mereka."
Frans mengusap ke-dua bahu istrinya, lalu tersenyum dan mengangguk. Ia sangat tahu apa yang di khawatirkan oleh istrinya itu, terlebih sampai mengecewakan sahabatnya--- Marinka.
"Papah setuju, nanti kita akan bicarakan pada Marinka dan Damian juga." Sehabis membicarakan hal itu, Frans dan Wanda segera melangkahkan kakinya ke kamar. Karena sudah waktunya mereka istirahat, menanti hari esok tiba.
________
Don't forget to vote 😊
And see you in the next part ...
Thank you ❤