Bab-6

215 50 1
                                    

[Buah Aneh]

Boleh jatuh cinta kepada siapa saja, tapi tidak punya hak memaksakan orang lain mencintaimu.

11-12-2020

_________________________________________

Setelah satu jam mengukur luas tanah yang akan di pergunakan. Kini mereka mulai mematok kayu di tempat-tempat yang sudah diukur sebagai batas-batasnya. Lumayan lelah, terlihat dengan jelas bahwa kini banyak keringat yang ada di wajah mereka bertiga.

Matahari sudah terik memancarkan sinarnya. Keberadaannya sudah di atas langit, lurus di atas kepala mereka.

Tidak disangka, terlihat seorang gadis dari arah utara sedang membawa teko air dan tiga cangkir plastik. Mengapa cangkir plastik? Ya... karena agar mudah membawanya dan meminimalisir gelas pecah yang sering dipecahkan oleh adik laki-laki Sekar di rumahnya.

Sekar semakin dekat ke arah mereka bertiga. Dan memanggil ayahnya.

"Ayah, ini diminum dulu. Mari kak Sano dan Hiro."

Tuan Sutarji mengerutkan dahinya merasa bingung. Mengapa panggilan Sano dan Hiro berbeda.

"Sekar, ayolah berbicara yang sopan terhadap nak Hiro. Dia juga usia nya lebih tua daripada kamu!"

Sekar menatap Hiro dengan tatapan jengah. Diam-diam dia membuang nafas nya dengan mendengus kesal.

"Iya iya, baiklah. Maaf ya kak Hiro." Diam-diam Hiro tersenyum tipis, namun berusaha untuk tetap memasang raut wajah yang datar sama seperti tadi.

Lalu tuan Sutardji mengambil cangkir dan menuangkan air putih dari dalam teko. Dan diikuti juga oleh Sano dan Hiro.

Mereka berempat kini sedang berteduh di bawah sebuah pohon rambutan yang rindang. Lalu Hiro melihat ada pohon yang sedang berbuah lebat.

"Paman saya merasa aneh dengan buah itu, jika disini buah itu disebut apa?", tanya Hiro pada tuan Sutarji.

"Itu?", ucap tuan Sutarji sambil menunjuk dengan jari jempol tangan sebelah kanan.

"Namanya buah sirsak, atau bisa disebut durian belanda juga."

"Apakah rasanya enak? paman", tambahnya lagi.

"Rasanya enak, tapi asam-asam seger. Apakah kamu ingin mencobanya?", ucap tuan Sutardji menawari.

"Boleh, saya ingin mencoba buah aneh itu", tunjuknya kembali, menggunakan jari jempol tangan sebelah kanan. Mengikuti tuan Sutardji.

"Tapi paman tidak tau, jika ada yang matang. Tapi jika masih mentah bagaimana?"

"Yasudah tidak jadi paman, saya siap menunggu buah itu sampai matang, dan saya siap untuk mencicipinya", ucap Hiro lantang dengan logat bahasa Jepangnya yang khas.

"Benarkah? kamu yakin ingin menunggu buah itu sampai matang?"

"Saya yakin paman, karena saya penasaran dengan rasa buah itu. Di kampung halaman saya tidak ada buah yang seperti itu."

"Nak Hiro, bisa memanjat pohon tidak?"

"Saya bisa memanjat pohon, lagi pula pohon itu tidak terlalu tinggi. Menurut saya tinggi pohon itu kurang lebih sekitar tiga meter", ucap Hiro sambil mengamati pohon Sirsak dengan serius.

秋雨 "Hujan Musim Gugur" [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang