Bab-5

281 56 2
                                    

[PENDEKATAN]

Perjuangan tanpa pengorbanan, itu omong kosong. Perjuangan tanpa do'a itu sombong.

10-12-2020

_________________________________________

Setelah terjadinya peristiwa Perjanjian Kalijati, Hiro Ryuu dan Sano kembali ke Banten. Namun paman Hitoshi berpesan padanya untuk menyiapkan segala keperluan, membangun rumah sederhana untuk belajar bahasa.

Hiro dan Sano melajukan mobilnya lalu berangkat ke Bogor untuk melihat lokasi akan dibangun rumah tempat belajar bahasa.

"Sano, kira-kira dimana ya tempat yang menjual kayu di Bogor, kota itu kan luas. Apalagi dengan kondisi seperti ini, apakah ada orang pribumi yang masih membuka toko kayu nya?", ucap Hiro menggunakan bahasa Jepang, sambil berpikir.

"Hmm, menurut ku ada. Toko kayu tidak hanya ada satu, pasti banyak. Semoga saja ada yang menjualnya sekarang-sekarang ini", ucap Sano menggunakan bahasa Jepang, sambil menebak-nebak keadaan.

"Semoga saja ya, kalau pun tidak ada lalu mau bagaimana?, apa yang harus kita sampaikan pada paman Hitoshi?", ucap Hiro yang mencari-cari jawaban dari ekspresi Sano yang masih terfokus ke depan karena sedang menyetir.

"Lebih baik kita melihat kondisinya dulu, urusan kayu nomor dua. Jika sudah semua, baru beritahu paman."

"Betul juga ya, mengapa saya tidak kepikiran begitu!?", ucap Hiro sambil terkekeh dan kembali menikmati pemandangan di pinggir jalan.

"Kau tidak merasakan pusing Hiro?"

"Tidak, memangnya mengapa? kau sakit!?" ucap Hiro pada Sano cemas.

"Ya, aku merasa sedikit pusing hari ini."

"Di depan berhenti sebentar, saya yang akan berganti menyupir!"

"Baiklah", ucap Sano yang wajahnya sudah dibanjiri oleh keringet dingin, wajahnya kini pucat, mungkin kelelahan.

Saat sudah berhenti.
Hiro keluar dari mobil, dan berjalan ke arah tempat setir. Dan mereka berdua bertukar posisi. Giliran Hiro hari ini yang membawa mobil.

"Wajah mu semakin pucat, Sano." Hiro memalingkan wajahnya ke arah Sano, yang sudah sangat lemas dan menutup matanya.

"Aku ingin tidur sebentar ya. Bangunkan aku jika sudah sampai!"

"Baiklah, aku akan secepat mungkin sampai ke sana", ucap Hiro yang mulai menaikan kecepatannya menjadi agak kencang.

Sesampainya di pelataran rumah tuan Sutardji. Hiro melihat rumah itu sepi. Lalu ia keluar dari dalam mobil dan memapah Sano yang sedang sakit, karena kelelahan. Hiro memapah Sano sampai di teras rumah tuan Sutarji, dan sedang mendudukan Sano di salah satu kursi tamu rumah itu.

Lalu Hiro mengetuk pintu.
"Toktoktok... permisi, toktoktok permisi."

Tidak ada yang menyahut dari dalam. Lalu Hiro mengetuk pintunya lagi.
'Toktoktok'... "permisi, tuan Sutardji..."

Tak lama ada yang menyahut.
"Iya tunggu sebentar ya", terdengar suara perempuan yang menyahut. Dan mendekat ke arah pintu.

Lalu pintu itu terbuka. 'Ceklek'
"Kamu lagi?", ucap Sekar bingung.

"Iya, saya kemari ingin bertemu dengan tuan Sutardji lagi. Apakah beliau ada di rumah?", tanya Hiro pada Sekar dengan serius.

"Ayah ku sedang ada urusan, sudah lama sih berangkatnya, mungkin sebentar lagi pulang."

秋雨 "Hujan Musim Gugur" [END]Where stories live. Discover now