35 - Perasaan Aditya

2.6K 387 33
                                    

Selepas subuh, Yusuf berdiri di bawah atap gazebo. Ia memilih untuk tidak duduk, dan hanya menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar penyangga. Beberapa kali ia menarik nafas panjang. Mencoba merasakan sejuknya udara pagi.

Beberapa suara anak-anak kecil mengeja alquran terdengar semayup dari beberapa pengeras suara musholla-musholla yang memang lumayan banyak terbangun di desanya. Suara dering sepeda onthel yang dipakai ibu-ibu paruh baya menuju pasar juga sesekali terdengar. Belum lagi kokok ayam dan cuitan burung tentang pertanda bahwa hari sibuk akan kembali di mulai.

Yusuf menutup matanya. Sedikit mengurai kembali apa yang dikatakan eyangnya kemarin. Mengenai keberangkatannya menuju Maroko.

"Bagaimana bisa kamu ke Maroko harus dengan status belum beristri? Lalu Hasna mau kamu tinggal, begitu?"

Suara eyang yang tak biasa meninggi, hari itu terdengar tak biasa. Seolah benar-benar tengah menahan emosi. Yusuf hanya bisa menundukkan kepala sambil meremas jemarinya.

"Eyang, ndak setuju kalau kamu harus ninggalin Hasna."

Yusuf memejamkan matanya. Bagaimana ia harus menjelaskan pada eyangnya, bahwa sekalipun mereka sudah menikah, Yusuf sama sekali masih belum berkewajiban untuk menjaga dan menafkahi Hasna. Karena Hasna masih belum menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri.

Jika dia bersikeras menjelaskan pada eyang saat itu, mungkin yang terjadi, eyangnya akan semakin sedih. Tekanan darah tingginya bisa kambuh, dan itu makin memperumit keadaan.

"Coba ditanya bener-bener! Eyang itu maunya, Hasna harus terus sama kamu. Walau bagaimanapun, dia itu sudah tanggung jawab kamu. Harusnya Hasna itu sudah ndak tinggal sama orang tuanya, toh? Harusnya Hasna itu wes tinggal sama kamu. Cuma karena dia masuk pondok aja, makanya kamu masih bisa leluasa bertindak kayak masih belum beristri."

"Astaghfirullah hal adzim ...."

Yusuf makin menundukkan wajah. Bacaan istighfar ia rapal sebanyak mungkin dengan lirih. Ucapan eyangnya begitu menusuk hati.
Bagaimana bisa ia tidak tahu, kewajiban apa saja yang harus ditanggungnya saat ia memutuskan untuk menikahi Hasna. Lalu, kenapa eyangnya masih tega mengucapkan perkataan yang begitu memojokkannya.

Salahkah keinginannya untuk memperdalam keilmuannya? Salahkah impiannya untuk memperluas pengalaman di negara lain? Atau haruskah ia cukup puas dengan apa yang sudah dia dapatkan di pesantren sekarang? Bahkan impian itu bukannya baru datang setelah ia menikahi Hasna. Melainkan jauh sebelum ia mengetahui bahwa ia mempunyai sepupu cantik bernama Hasna.

"Besok, kalau kamu jadi ke Surabaya, tanyakan lagi yang bener! Boleh tidak kalau kamu bawa istri ke Maroko? Kalau tidak boleh, mending kamu tidak usah berangkat. Di sini saja, cukup!" putus Eyang Wiji.

Yusuf tak membantah sedikitpun. Karena sepintar apapun dirinya, jika itu di depan eyang atau orang tuanya, ia akan memilih untuk meletakkan ilmunya. Lalu menyerap sebanyak mungkin ilmu yang ia dapat kembali dari nasihat-nasihat mereka. Ia pamit keluar dengan wajah lesu.

Kekesalannya bertambah saat mendapati Hasna yang malah sibuk bercanda dengan Amar. Bagaimana bisa Hasna setenang itu, sementara dirinya harus berjuang melawan pilihan yang mencekiknya. Dasar anak kecil, rutuknya dalam hati.

Hasna yang masih belum melepas mukenanya, sedikit berjinjit menuju halaman belakang. Ia sengaja menyusul Yusuf setelah beberapa menit memperhatikannya. Alih-alih memanggil Yusuf atau menepuk lengan Yusuf, Hasna memilih untuk langsung berdiri di sampingnya. Mengambil sudut pandang yang sama dengan Yusuf.

"Astaghfirullah ...!"

Yusuf berseru kaget sambil mengelus dadanya saat mendapati Hasna yang tiba-tiba saja berdiri di sampingnya. Gadis dengan tinggi 150an itu menarik sudut bibirnya saat melihat ekspresi Yusuf yang terkejut melihatnya. Pandangannya kembali beralih pada deretan bunga di depannya. Begitu juga dengan Hasna.


"Kak Yusuf, mau jalan-jalan?" ajak Hasna ragu.
Yusuf yang masih meletakkan tangan di dadanya itu menoleh pada Hasna.

"Ke mana?" tanyanya kemudian.

Hasna sedikit menaikkan alis, bibirnya juga terlihat mengerucut ke atas. Ekspresi tak percaya langsung ia sodorkan di depan Yusuf. Tumben Kak Yusufnya tak menolak, atau bahkan mendebat ajakannya terlebih dahulu.

"Sekitaran sini aja, ke sawah di belakang rumah, mungkin. Hasna sudah lama gak ke sana."

"Ganti mukena kamu! Kak Yusuf tunggu di sini."

Kali ini Hasna sedikit mengulum senyum. Lagi-lagi ia dibuat terkejut dengan ucapan Yusuf. Yusuf memanggil dirinya sendiri dengan sebutan Kak Yusuf? Bukan aku dan kamu seperti biasa? Jelas itu membuat hati Hasna sedikit berbunga.

Cepat ia memutar tubuh, bergegas menuju kamarnya. Melipat mukena seadanya, dan terburu-buru mengambil bergo abunya. Hasna memastikan tidak ada satupun kotoran di wajahnya.

Kacamata tanpa kaca ia pakai untuk sekedar menambah manis penampilannya. Satu kuasan cairan berwarna pink dari lipgloss juga ia gunakan di bibir mungilnya. Berharap, Yusuf akan benar-benar melunak kali ini padanya.
Namun, kenyataan memang sangat jarang sesuai dengan ekspektasi. Yusuf malah menatap heran dengan penampilannya. Bahkan terlihat seperti akan menyemburnya dengan kata-kata pedas lagi.

"Kamu mau kondangan?"

Dahinya mengernyit sambil melontarkan pertanyaan itu. Hasna sedikit menggigit bibir, ia menoleh ke arah cermin yang juga terletak di ruang tengah. Melirik penampilannya yang terlihat biasa saja menurutnya.

Yusuf menarik selembar tisu yang nangkring di atas meja. Menyodorkannya pada Hasna. Lalu memberi kode agar Hasna mau menghapus warna pink di bibirnya.

Hasna sedikit mengerucutkan bibir. Niat baiknya untuk tampil cantik di depan suami sendiri malah tak disambut baik. Ia menghapus warna itu tanpa banyak bertanya lagi.
Beruntung, warna itu tak sepenuhnya hilang.

"Ayo!" Yusuf berjalan lebih dulu. Diikuti oleh Hasna kemudian.

***

Aditya menimang hapenya, menatap nama kontak Hasna. Ia juga belum melepas peci dan sarungnya sedari subuh tadi. Sengaja menunggu hingga waktu dhuha datang.

Kabar dari Ismi tentang alasan Hasna pulang, sedikit mengganggunya. Dari semalam ia berfikir untuk menjenguk, tapi pasti akan canggung rasanya jika tiba-tiba saja ia ke sana. karena selain itu untuk pertama kalinya, ia juga belum pernah bertamu ke rumah seorang wanita seorang diri. Apalagi Hasna.

Dia tahu, sewaktu SMP, Hasna begitu menyukainya. Bahkan, kabar bahwa Hasna menyukainya pun sudah ia dengar langsung dari sahabat Hasna. Namun waktu itu, dia memilih untuk tidak menggubris hal-hal berbau cinta seperti itu, karena ada target yang masih ingin ia capai. Menjadi juara fotografer terbaik tingkat SMP mewakili sekolahnya di salah satu ajang bergengsi di provinsinya.

Aditya bermaksud untuk menemui Hasna setelah ia menyelesaikan kompetisinya. Namun nyatanya, seusai kompetisi dia masih harus disibukkan dengan berbagai macam les dan try out.

Siapa yang tidak tahu Hasna di sekolah. Gadis mungil, berwajah oval, berkulit bersih dengan gingsul di setiap senyumnya. Tidak pernah terlihat sedih, selalu rame dan bersemangat setiap ada kegiatan di luar sekolah.

Gadis yang terlihat tak pernah ada capeknya itu juga tak pernah tahu, bahwa ia sering sekali menjadi objek dari bidikan kamera Aditya. Ia juga tak pernah tahu, bahwa yang membuat Aditya selalu bersemangat di setiap bangun tidurnya adalah, foto-foto wajah cerianya yang terpampang tepat di depan tempat tidurnya.

Aditya menekan tombol panggil di hapenya. Ia sudah memutuskan untuk tak ingin kehilangan momentnya lagi. Dengan berdebar, ia menunggu notifikasi memanggilnya untuk diterima. Percobaan pertama gagal. Hasna tak menjawab telepon.

Tak putus asa, ia mencoba dipercobaan kedua. Suara notifikasi masuk berbunyi tiga kali dan diterima.

"Halo!" suara di seberang. Tapi bukan suara Hasna. Melainkan suara seorang laki-laki yang mungkin usianya tidak jauh berbeda dengannya.

-----

Rahasia [Terbit]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora